Bagaimana Jika Semua Pesepakbola Tidak Boleh Bermain di Luar Negara Mereka?

PanditSharing

by Pandit Sharing Pilihan

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Bagaimana Jika Semua Pesepakbola Tidak Boleh Bermain di Luar Negara Mereka?

Oleh: Isaiah Thomas

Akhir-akhir ini dunia persepakbolaan Indonesia sedang gempar. Memang kompetisi sepakbola Indonesia tahun 2017 telah usai, dan tahun 2018 masih belum dimulai. Tetapi bukan aksi di atas lapangan hijau yang menggemparkan seluruh pecinta sepakbola Indonesia, melainkan pernyataan yang dilontarkan oleh pemegang kekuasaan tertinggi di sepakbola Indonesia, yaitu ketua umum PSSI, Edy Rahmayadi.

Beliau mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan terkait dengan transfer pemain Bhayangkara FC, Evan Dimas dan Ilham Udin Armaiyn, ke klub Malaysia yang menjadi langganan pemain top Indonesia, yaitu Selangor FA.

Sebelum kedua pemain itu, terdapat nama-nama seperti Elie Aiboy, Bambang Pamungkas, dan juga Andik Vermansyah yang menghiasi susunan pemain Selangor. Edy mengatakan jika pemain yang bermain di luar negeri akan dianggap tidak nasionalis. Apa yang dikatakan oleh Pak Ketum ini, menurutnya (dan ada beberapa pula yang setuju), adalah untuk kebaikan timnas Indonesia ke depannya.

Pertanyaannya adalah, apa yang terjadi jika semua asosiasi pengurus sepakbola di semua negara menerapkan apa yang dikatakan oleh Edy Rahmayadi? Berikut beberapa kemungkinan yang akan terjadi jika memang semua negara menerapkan kebijakan yang sama, yaitu melarang pemainnya untuk bermain di luar negeri.

Membayangkan Ronaldo dan Messi menetap di negara mereka masing-masing

Cristiano Ronaldo asal Portugal dan Lionel Messi asal Argentina. Kita semua tentu mengenal kedua manusiaalien ini bukan?

Keduanya adalah pemain sepakbola terbaik abad ini, bahkan sepanjang masa. Melihat sederet prestasi di klub maupun individu, tentu tidak ada yang bisa memungkirinya. Keduanya telah mencetak lebih dari 1000 gol jika dijumlahkan.

Tetapi semuanya berawal ketika keduanya memilih untuk pindah dari negaranya masing-masing. Kita semua mulai mengenal Cristiano Ronaldo saat ia pindah ke kesebelasan raksasa Inggris, Manchester United, pada tahun 2003.

Pemain Man United sendiri yang meminta pelatih mereka saat itu, Sir Alex Ferguson, untuk memboyongnya ke Old Trafford setelah melihat penampilan ciamik Ronaldo saat bermain ujicoba melawan Sporting Lisbon.

Baca juga: Pertandingan yang Mengawali Takdir Besar Cristiano Ronaldo

Lain pula dengan Lionel Messi. Dia dikontrak Barcelona saat masih muda karena terdapat masalah pada tubuhnya yang mengakibatkan pertumbuhan tubuhnya sedikit lambat, tidak seperti orang kebanyakan. Barcelona bukan hanya melihat permainannya yang magis, namun juga untuk membantu menyembuhkan penyakitnya itu.

Kini Ronaldo bermain untuk Real Madrid dan Messi untuk Barcelona. Jagoan Portugal dan Argentina sama-sama bermain di Spanyol. Keduanya memberikan rivalitas paling sengit yang pernah ada, baik di dalam maupun di luar lapangan, contohnya melalui lima gelar pemain terbaik dunia bagi masing-masing dari mereka dalam rentang waktu 10 tahun terakhir.

Tapi, bagaimana jika Ronaldo dan Messi tetap bermain di negaranya masing-masing? Kemungkinan besar mereka tidak dapat mengembangkan permainan mereka sepenuhnya sampai seperti sekarang ini.

Hal ini terjadi karena persaingan di negara mereka tentu tidak seketat Spanyol. Bahkan Kapten Tsubasa saja pindah dari Jepang ke Brasil untuk alasan yang sama. Mungkin jika mereka terus menetap di Liga Portugal dan Argentina, Ronaldo dan Messi tidak bisa memenangi Ballon d`Or sama sekali karena tidak terdengar namanya.

Refleksi dari peringkat FIFA

Peringkat FIFA terbaru (rilis 21 Desember 2017) menunjukkan bahwa Jerman masih menjadi negara nomor satu di sepakbola dunia, diikuti Brasil, Portugal, Argentina, Belgia, Spanyol, Polandia, Swiss, Prancis, dan Chile.

Apa yang menarik dari deretan negara top tadi? Hampir semua pemain intinya, terutama bintang utamanya, bermain di luar negara mereka sendiri, mungkin kecuali Jerman yang diisi hampir setengahnya dari Bayern Munchen, dan juga Spanyol yang diisi pemain-pemain dari Real Madrid dan Barcelona.

Selain Jerman dan Spanyol yang memang sangat baik di segala aspek tentang sepakbolanya (liga domestik dan tim nasional), dan juga mengedepankan permainan sebagai tim, mungkin kita akan berpikir, bagaimana dengan negara lain yang bergantung pada satu atau dua pemain jika bintang utamanya tetap bermain di negara mereka masing-masing?

Brasil dengan Neymar (bermain di Liga Prancis), Portugal dengan Ronaldo (Spanyol), Argentina dengan Messi (Spanyol), Belgia dengan Eden Hazard dan Kevin De Bruyne (Inggris), Polandia dengan Robert Lewandowski (Jerman), Swiss dengan Xherdan Shaqiri (Inggris), Prancis dengan Paul Pogba (Inggris) dan Antoine Griezmann (Spanyol), Chile dengan Alexis Sanchez (Inggris) dan Arturo Vidal (Jerman), dan masih banyak pemain hebat lainnya yang membantu mereka bermain di luar negara mereka masing-masing.

Bagaimana jika semua andalan negara itu masih bermain di negaranya sendiri? Apakah mereka mampu berkembang dan menjadi pemain sehebat sekarang ini dan membawa negaranya masuk ke peringkat 10 besar ranking FIFA? Mungkin iya, mungkin tidak.

Di setiap negara tentu terdapat pemain yang menonjol atau lebih baik daripada yang lain. Umumnya memang pemain sepakbola mengawali karier mereka di negara mereka masing-masing. Jika semua terasa terlalu mudah, maka mereka akan mencari tantangan yang lebih berat, yang sepadan dengannya. Hal itu bisa ditemukan dengan cara bermain di luar negeri, kecuali jika segala aspek tentang sepakbola di negara tersebut sudah yang terbaik di dunia.

Bahkan para pemain Jerman dan Spanyol (dua negara dengan aspek sepakbola yang baik) juga banyak yang mencari tantangan ke luar negara mereka, umumnya ke Liga Primer Inggris yang menjadi destinasi impian bagi hampir semua pesepakbola dunia.

Sebagai contoh lain, skuat timnas Republik Irlandia pada saat jeda internasional November 2017, memiliki 23 pemain yang semuanya tidak ada yang bermain di Liga Irlandia. Semua pemain mereka bermain di Inggris saat itu. Sementara skuat Irlandia Utara dan Islandia sewaktu Piala Eropa 2016 juga tidak ada satu pun yang bermain di liga domestik mereka sendiri.

Jika melihat ilustrasi di atas, kita juga bisa menyimpulkan satu hal lainnya: Liga Primer Inggris adalah musuh bersama, yaitu musuhnya nasionalisme negara-negara di dunia.


Penulis tinggal di Taman, Sidoarjo. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Komentar