Peranan Red Star dalam Perang Balkan

Backpass

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Peranan Red Star dalam Perang Balkan

Pamor Fudbalski klub Crvena Zvezda (dunia lebih mengenalnya dengan nama Red Star Belgrade) kesohor sebagai kesebelasan tersukses di Serbia. Sepanjang sejarah klub, Red Star sudah mengoleksi 51 trofi (27 di kompetisi dan 24 di turnamen) di ajang domestik – tercatat sebagai yang terbanyak di antara tim-tim Serbia. Di panggung Eropa, Red Star juga mencatatkan namanya sebagai kesebelasan Eropa Timur terakhir yang meraih gelar Liga Champions, di tahun 1991.

Prestasi Red Star begitu menyilaukan, tak berlebihan bila status sebagai kesebelasan besar disandang mereka. Namun di balik prestasi tersebut, klub yang didirikan pada 4 Maret 1945 itu memiliki sejarah kelam.

Adalah rahasia umum bahwa Red Star pernah menjadi tunggangan politik Slobodan Milosevic. Pria yang pernah menjabat sebagai Presiden pertama Serbia dan Presiden ketiga Republik Federal Yugoslavia tersebut menjadikan Red Star sebagai alat untuk mendongkrak popularitasnya di panggung politik Republik Sosialis Serbia.

Tak hanya itu, Red Star juga memiliki kaitan erat dengan perang saudara Balkan.

***

Kondisi politik Yugoslavia terguncang setelah Marsekal Josip Broz Tito meninggal pada Mei 1980. Kepergian Tito menimbulkan luka mendalam bagi seluruh masyarakat Yugoslavia. Selama 30 tahun kepemimpinannya, Tito mampu menyatukan seluruh etnis yang ada di Yugoslavia. Tito berhasil meredam dendam antaretnis Yugoslavia yang sempat memanas saat Perang Dunia II berkecamuk. Di bawah kepemimpinan sosok komunis karismatik itu, perasaan dendam di masa lalu ilegal di Yugoslavia.



Namun ketika Tito meninggal, Yugoslavia mulai dipimpin secara kolektif oleh suatu badan Presidensi berjumlah delapan orang. Hal tersebut malah menimbulkan gesekan antargolongan. Perpecahan antaretnis Yugoslavia mulai terlihat, dendam lama etnis-etnis yang pernah bertikai di masa lalu pun kembali menganga.

Franklin Foer dalam bukunya yang berjudul How Soccer Explains the World, mengungkapkan bahwa ketegangan antar etnis di Yugoslavia semakin memanas ketika Kroasia menunjuk Franjo Tudjman sebagai pemimpin pada 1990.

Tudjman mencoba membangunkan kembali semangat nasionalisme bangsa Kroasia yang lama tertidur, dengan membangkitkan ikon-ikon Ustache – simbol fasisme Kroasia. Pada Perang Dunia II, kelompok fasis Kroasia berafiliasi dengan Nazi dalam pembantaian ratusan ribu etnis Serbia. Tak hanya itu, di bawah kepemimpinan Tudjman, bangsa Serbia tak pernah dianggap dalam konstitusi Kroasia.

Keributan antara etnis Serbia dan Kroasia pecah pada awal 1990-an. Pertandingan sepakbola yang mempertemukan Dinamo Zagreb melawan Red Star di Stadion Maksimir, 13 Mei 1990, diwarnai kericuhan antar suporter. Masing-masing kelompok mewakili dua etnis yang berbeda: Zagreb etnis Kroasia, sementara Red Star Serbia.

Zvonir Boban menendang aparat kepolisian dalam kerusuhan di Stadion Maksimir. Sumber: The False 9

Chant saling menyudutkan etnis Kroasia dan Serbia saling bersahutan dari tribun penonton sampai satu ketika, para pendukung Red Star berteriak: “Akan kami bunuh Tudjman.” Teriakan tersebut membuat emosi para pendukung Zagreb semakin tak terkendali. Mereka mulai menyerang tamunya itu dengan lemparan batu. Para pendukung Red Star mencabut bilboard di pinggir lapangan untuk melindungi diri dari serangan tersebut.

Kondisi kala itu sudah tak lagi kondusif. Peperangan antarsuporter di tribun penonton meluber ke lapangan. Pihak kepolisian bertindak, namun tindakannya dirasa terlalu represif kepada para pendukung Zagreb. Zvonir Boban, pemain Zagreb, tersulut emosinya. Ia sampai menendang perut seorang polisi yang tengah menghajar salah satu pendukung Zagreb.

Situasi kala itu tak lagi bisa dikendalikan, para pemain kedua kesebelasan dievakuasi dengan helikopter. Tragedi yang terjadi di Stadion Maksimir merupakan keributan antaretnis pertama dalam 50 tahun terakhir yang terjadi di Yugoslavia.

Hubungan panas antara etnis Kroasia dan Serbia semakin memanas di pertengahan tahun 1991. Slobodan Milosevic, Presiden Republik Sosialis Serbia, melancarkan retorika sosialis kepada pemimpin Kroasia dan Slovenia. Aksi tersebut dibalas Kroasia dan Slovenia dengan memproklamirkan kemerdekaan dan kedaulatannya secara sepihak pada 25 Juni 1991.

Keputusan Kroasia dan Slovenia memisahkan diri dari Yugoslavia direspon sinis Serbia. Nahas, Serbia tak memiliki bala pasukan tentara yang memadai. Pemerintah mulai memberlakukan kebijakan wajib militer, guna menambah pasukan dalam upaya penyerangan ke Kroasia. Namun kebijakan tersebut berakhir sia-sia. Pemberontakan terhadap sistem wajib militer menjadi ritus akil balig pemuda Serbia kala itu.

Tak hilang akal, Pemerintah Serbia menyusun rencana lain. Mereka membentuk pasukan paramiliter. Suporter Red Star Belgrade, dipandang sebagai rekrutan terbaik dalam pembentukan paramiliter Serbia. Cukup masuk akal, karena Milosevic tercantum dalam jajaran direksi Red Star. Jadi, tak sulit bagi Milosevic untuk menggerakkan para suporter untuk dijadikan paramiliter Serbia.



Belum lagi, sejak 1989, kelompok suporter Red Star dipimpin seorang kriminal kawakan dan militan Red Star – Zeljko Raznatovic, lebih tenar dengan nama panggilan Arkan. Sebelum Arkan memimpin kelompok suporter Red Star, kelompok suporter tersebut awalnya terpecah menjadi beberapa faksi yang saling bertikai. Milosevic beserta para petinggi klub menyadari bahwa faksi-faksi yang saling bertikai di kalangan suporter menjadi simbol disintegrasi masyarakat Serbia.

Arkan, yang merupakan sosok sentral dibalik meningkatnya popularitas Milosevic di panggung politik Serbia, ditunjuk untuk mengemban tugas mempersatukan seluruh kelompok pendukung Red Star. Bukan tugas yang berat bagi Arkan, reputasinya memudahkan misi tersebut. Kelompok suporter Red Star bersatu di bawah komando Arkan. Dilije, yang dalam Bahasa Turki berarti pahlawan, dipilih sebagai identitas baru kelompok suporter Red Star.

“Kami sebagai suporter berlatih pertama kali tanpa senjata. Sejak awal saya menuntut disiplin. Para suporter ini rusuh mereka ingin mabuk dan main-main. Saya memutuskan menghentikan semua ini dengan sekali tembak. Saya suruh mereka memotong rambut, bercukur teratur, dan berhenti mabuk-mabukan,” kata Arkan.

Arkan dan pasukan Tigers. Sumber: Aljazeera

Sebelum perang berkecamuk, kelompok suporter Red Star mendapat pelatihan militer di markas polisi dengan biaya dari pemerintah kota Erdut. Jangan heran bila mereka bisa mendapat fasilitas latihan militer memadai di markas polisi. Dalam sejarahnya, Red Star merupakan kesebelasan bentukan kepolisian Yugoslavia.

Setelah didaulat sebagai pasukan paramiliter Serbia, Dilije merubah identitas menjadi Tigers. Pada 1991-1992 Tigers memulai serangan hingga membuat perang saudara di Balkan pun pecah. Perang saudara di Yugoslavia tak hanya melibatkan etnis Serbia dan Kroasia, namun juga Muslim Bosnia dan Albania.

Serangan terbrutal Tigers terjadi di Kota Sasina, Bosnia. Di sana Arkan dan pasukannya menculik seluruh pria Muslim Serbia, mengusir sanak keluarga mereka, dan menjarah rumahnya. Para pria yang diculik itu disiksa dan diinterogasi sampai tewas, dan Tigers menguburkan mereka secara masal.

Perang berakhir pada tahun 2000-an, diperkirakan sebanyak 200 nyawa melayang di tangan Tigers selama perang berkecamuk. Arkan dan pasukannya dikecam dunia Barat, mereka dipandang sebagai penjahat perang. Namun itu tidak berlaku bagi masyarakat Serbia, yang menganggap mereka sebagai pahlawan. Arkan pun menjadi sosok yang amat dihormati.

Komentar