Prestasi dan Revolusi dalam Rivalitas Arsenal dan Chelsea

Cerita

by Redaksi 15

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Prestasi dan Revolusi dalam Rivalitas Arsenal dan Chelsea

Bagi beberapa pihak, laga antara Arsenal dan Chelsea mungkin tak lebih dari sebuah partai bertajuk `big match`. Memasuki milenium kedua, mereka sama-sama menjadi pesaing juara Premier League dan langganan Liga Champions. Fakta bahwa Arsenal dan Chelsea berada di satu kota yang sama adalah faktor ke sekian.

Padahal rivalitas mereka dapat ditelusuri setidaknya dari 1978/79. Ketika itu, Arsenal membuat Chelsea terdegradasi dari divisi utama setelah membantai The Blues 5-2. Kemudian pada 1990/91, giliran Chelsea yang merusak Arsenal. Sebelum Arsene Wenger sukses membuat Arsenal tidak terkalahkan pada 2003/04, The Gunners berpeluang melakukan hal itu 13 tahun lebih awal. Tapi, Chelsea merusak ambisi tersebut dengan kemenangan 2-1 di Stamford Bridge pada 2 Februari 1991.

Sejak awal, rivalitas mereka memang masalah prestasi dan Arsenal jauh lebih dekoratif soal piala. Hal itu membuat kubu London Utara lebih menganggap Manchester United dan Tottenham Hotspur sebagai rival utama mereka.

Chelsea memandang Arsenal sebagai rival utama, tapi mereka dipandang sebelah mata oleh The Gunners. Menurut sensus FootballFanCast (2003), yang menganggap Chelsea sebagai rival utama mereka adalah suporter Queens Park Rangers dan Fulham.

Rivalitas antara kedua kesebelasan tersebut baru hidup kembali pada 2004 setelah Arsenal menjalani musim terbaik mereka di Premier League. Thierry Henry dan kawan-kawan memang mendapatkan piala bermahkota emas di akhir musim 2003/04. Namun, John Terry dan kawan-kawan memperlihatkan kebangkitan mereka sebagai salah satu pesaing juara.

Chelsea mengakhiri musim tersebut di peringkat dua klasemen akhir. Bahkan berhasil melenggang ke semi-final Liga Champions setelah menyingkirkan Arsenal dengan agregat 3-2 pada fase delapan besar. 2004/05, Chelsea menggeser Arsenal dari puncak Premier League, mengakhiri puasa juara liga mereka yang sudah bertahan 50 tahun.

Semua berkat kehadiran miliarder asal Rusia, Roman Abramovich. Pengusaha minyak itu membeli saham mayoritas Chelsea pada 2003, memberi suntikan dana besar dan perlahan membersihkan hutang mereka. Chelsea untuk pertama kalinya mengeluarkan ratusan juta Euro di bursa transfer berkat kehadiran Abramovich.

Kekuatan finansial ini tidak bisa disaingi oleh Arsenal. The Gunners sedang sibuk mengurus pembangunan Stadion Emirates. Rencana pindah stadion memaksa mereka untuk berhemat. Arsene Wenger yang dipersilahkan membuang 50 juta paun di 2000/01 untuk jasa Robert Pires, Lauren, dan lain-lain, harus menunggu 10 tahun untuk bisa mengeluarkan uang sebesar itu lagi.

Anggapan populer bahwa kekuatan finansial akan sejalan dengan prestasi sebuah kesebelasan dapat terlihat dari Arsenal dan Chelsea. Saat Abramovich mendarat di London, Arsenal adalah juara Premier League. Tidak pernah lepas dari dua besar sejak 1997/98. Mulai 2004 hingga 2008, ketika Abu Dhabi Group mengakuisisi Manchester City, mereka hanya satu kali menempati dua teratas liga.

Manchester City dan Paris Saint-Germain kerap kali disebut sebagai biang kerok perubahan sepak bola modern. Kehadiran taipan Qatar dan Uni Arab Emirates dengan aliran dana mereka dianggap menjadi penyebab pasaran harga pemain melambung tinggi. Padahal, hal itu dimulai dari pengusaha minyak asal Rusia: Roman Abramovich.

Abramovich bahkan sempat menawarkan uang ke Arsenal dan Liverpool untuk memboyong Thierry Henry, Patrick Vieira, dan Steven Gerrard ke Stamford Bridge. "Roman Abramovich memarkir tank Rusia miliknya di tanah kami dan mengirim proposal 50 juta paun," ungkap Mantan Wakil Presiden Arsenal David Dein.

Ketiga pemain tersebut pada akhirnya gagal didapatkan Chelsea. Namun dengan dana melimpah, mereka berhasil mendatangkan nama-nama lain untuk mendongkrak prestasi. Prestasi kemudian mengangkat pamor sebuah kesebelasan dan membuat pemain lain tertarik untuk datang.

"Inilah salah satu masalah sepakbola modern. Anda mengeluarkan begitu banyak uang untuk membeli pemain. Pesepakbola yang masih berusia 20 tahun biasanya tidak mendapat uang sebanyak ini. Pada akhirnya mereka datang hanya untuk disimpan di gudang. Lihat saja berapa jumlah pemain yang dipinjamkan, ini tidak benar," kata Wenger.

Abramovich yang awalnya datang dan harus membersihkan hutang Chelsea mulai memetik keuntungan dari investasi yang ia lakukan. Meski tidak semua investasi tersebut berhasil (Torres) dan banyak talenta seperti Lucas Piazon dan Nemanja Matic terbuang, Chelsea berhasil menjadi salah satu kandidat juara setiap musimnya.

Sementara Arsene Wenger harus berhemat selama 10 tahun, terlempar ke peringkat empat klasemen, dan gagal memberikan gelar juara liga tambahan hingga akhir masa baktinya di Arsenal. Masalah ekonomi ini terus berlanjut di tubuh The Gunners. Meski sudah puluhan tahun meninggalkan Highbury dan tidak lagi diasuh Wenger, mereka tetap tidak bisa menyaingi kekuatan finansial Chelsea.

"Arsenal tidak bisa mendatangkan satupun pemain secara permanen. Pihak klub sedang berusaha untuk merekrut pemain dengan cara lain. Setiap hari kondisi selalu berbeda-beda. Saat ini saya tak bisa memberikan informasi tambahan. Kami hanya berpeluang meminjam pemain," kata Unai Emery saat disinggung soal pergerakan transfer Arsenal di bursa musim dingin 2019.

Sedangkan Chelsea sudah berhasil mengikat Christian Pulisic dari Borussia Dortmund, dan melayangkan proposal untuk gelandang Zenit St.Petersburg, Leandro Paredes, serta penyerang Lazio, Ciro Immobile.

Rivalitas Arsenal dan Chelsea berawal dari prestasi tapi sejak Abramovich datang masalah berkembang menjadi revolusi.

"Untuk apa mereka menendang Wenger jika Unai Emery tidak diberi kekuatan dan kebebasan untuk revolusi. Jika Emery tidak mendapat dukungan untuk membawa pemain yang ia inginkan dan mengubah gaya permainan, untuk apa semua ini terjadi?"

- Emmanuel Petit

Komentar