Melupakan Juergen Klopp Bersama Lucien Favre

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Melupakan Juergen Klopp Bersama Lucien Favre

Borussia Dortmund kembali sulit bersaing dengan Bayern Muenchen sejak tidak lagi dilatih Juergen Klopp. Muenchen kini sudah meraih enam juara Bundesliga secara beruntun. Terakhir kali Bayern tidak juara memang terjadi saat Dortmund dilatih Klopp. Gara-gara Klopp, Bayern gagal juara selama dua musim.

Klopp mengantarkan Dortmund juara Bundesliga musim 2010/11 dan 2011/12. Sempat menguntit di posisi kedua pada dua musim berikutnya, Klopp akhirnya dipecat pada 2015. Dortmund sempat kembali menjadi runner-up bersama Thomas Tuchel pada 2015/16. Namun dalam dua musim terakhir, Dortmund gagal menjadi pesaing juara.

Sekarang harapan untuk kembali menjadi juara Bundesliga mulai muncul kembali. Saat artikel ini ditulis, Dortmund masih belum terkalahkan selama 12 pekan dan berhasil mencetak 35 gol (terbanyak di Bundesliga). Menang 9 kali, imbang 3 kali. Mereka memuncaki klasemen sementara dengan unggul empat poin dari Borussia Moenchengladbach serta sembilan poin dari Bayern Muenchen. Semua itu terjadi berkat Lucien Favre.

Favre Sebagai Jaminan Sukses

Favre sebelumnya menukangi OGC Nice di Ligue 1 Perancis. Kehebatannya langsung teruji di musim pertamanya. Pada 2016/17, Nice menempati peringkat ketiga klasemen akhir. Mendapatkan tiket bermain di Liga Champions, itu merupakan prestasi terbaik karena Nice sebelumnya selalu berkutat di zona degradasi sejak kembali promosi pada 2001/02.

Jauh sebelum itu, Favre memang sudah dicap sebagai jenius taktik karena prestasi-prestasi yang mampu dipersembahkan untuk kesebelasan yang dilatihnya. Echallens untuk pertama kalinya promosi ke divisi dua Swiss berkat kemampuan Favre. Yvrden-Sport berhasil dibawanya promosi dari divisi dua ke divisi satu Swiss, bahkan mencatatkan peringkat terbaik sepanjang sejarah (peringkat lima di divisi satu).

Di Servette, kesebelasan yang lama dibelanya sebagai pemain, Favre mempersembahkan gelar juara Piala Swiss. Di Zurich, pelatih yang kini berusia 61 tahun itu menjuarai Piala Swiss dan juara Liga Super Swiss, di mana itu merupakan kali pertama bagi Zurich setelah absen mengangkat piala liga selama 25 tahun.

Waktu menangani Moenchengladbach pun Favre menunjukkan magisnya. Saat pertama kali datang pada 2011, Gladbach adalah kesebelasan kandidat degradasi. Tapi saat ditinggalkan pada 2015/16, Gladbach telah menjadi salah satu pesaing papan atas yang berebut tiket Liga Champions dan Liga Europa. Prestasi terbaiknya adalah pada 2014/15 di mana Favre berhasil membuat Gladbach menempati posisi ketiga dan bermain di Liga Champions.

Hanya di Hertha Berlin karier Favre tidak dihiasi prestasi. Walau begitu, pencapaiannya menempati posisi empat klasemen Bundesliga 2008/09 cukup mengejutkan mengingat Hertha ketika itu sedang dilanda krisis finansial. Bajet transfer mereka saat itu merupakan yang terendah ke-13 (dari 18).

Spesialis Memaksimalkan Talenta Pemain (Muda)

Hampir di setiap kesebelasan yang dilatihnya, Favre selalu berhasil mengorbitkan pemain-pemain muda. Blerim Dzemailli, Gokhan Inler, dan Granit Xhaka adalah para pemain Swiss hasil polesan Favre yang berhasil direkrut kesebelasan asing dan kemudian bermain di timnas. Marc-Andre Ter Stegen, Cristopher Kramer, dan Marco Reus merupakan "produk" Favre selama melatih kesebelasan-kesebelasan Jerman.

Saking menyukai pemain muda, Favre beberapa kali bermasalah dengan pemain senior di kesebelasan yang dilatihnya. Ketika mulai muncul pemberontakan dari para pemain senior, saat itu pula Favre dipecat atau memilih mengundurkan diri.

"Di samping hasil-hasil bagus, Favre punya masalah dengan manajemen Servette, juga dengan sejumlah pemain seperti pemain senior, Sebastien Fournier," ujar kolumnis Mundo Futbol, Roberto Brambilla. "Dia (Favre) dipecat pada akhir musim 2001/02 dan kemudian mengatakan, `Kamu tidak bisa dicintai semua orang, khususnya di sepakbola`."

Favre bukan tanpa alasan menyukai pemain muda. Menurutnya, para pemain muda yang kemampuannya masih mentah itu memudahkannya dalam menerapkan filosofi permainan yang diinginkannya. Berbeda dengan pemain senior yang sudah punya banyak pengalaman dan cocok-cocokkan dengan gaya permainan tertentu.

"Saya senang mulai melatih dengan para pemain muda agar pemain-pemain saya mengerti apa yang hendak saya ajarkan pada mereka," katanya pada TV RTS, ketika mengawali kariernya sebagai pelatih tim U14 Echallens.

Karenanya tak heran Dortmund saat ini dihuni oleh banyak pemain muda. Musim 2018/19 ini Dortmund menjadi kesebelasan dengan skuat termuda keempat dengan rataan usia pemainnya 24,7 tahun.

Favre memang tak ragu memainkan pemain-pemain seperti Dan-Axel Zagadou (19 tahun), Achraf Hakimi (20), Jadon Sancho (18), Jacob Bruun Larsen (18), Manuel Akanji (23), Christian Pulisic (20), Abdou Diallo (22), dan Mahmoud Dahoud (22) sejak menit pertama. Di Nice, Malang Sarr (18), Allan Saint-Maximin (20), Bassem Srarfi (20), Wylian Ciprien (22), dan Patrick Burner (20) adalah pemain muda andalan Favre.

Bukan hanya pemain muda, pemain yang dianggap telah habis pun bisa kembali bersinar di bawah asuhan Favre. Di Nice dia menyelamatkan karier Mario Balotelli, Mathieu Bodmer, Hatem Ben Arfa, dan Dante. Di Dortmund, ada Marco Reus, Paco Alcacer, dan Axel Witsel yang kembali jadi pemain top.

"Aku pernah dilatih sejumlah pelatih dan di antara mereka, dia (Favre) sepertinya jadi pelatih terbaik yang pernah melatihku," ujar Reus pada laman resmi federasi sepakbola Jerman. "Tentu sudah banyak hal kami lewati sejak kami bekerja sama di Gladbach. Senang kembali melihat seberapa detailnya dia bekerja sebagai pelatih."

Fondasi Favre di Skuat Dortmund

Favre mengajak Dortmund move on dari Juergen Klopp. Filosofi permainan yang diterapkan Favre disebut-sebut merupakan anti-taktik dari gegenpressing khas Klopp. Ian Holyman, kolumnis Bundesliga, menyebut, jika filosofi permainan Klopp bergenre "Heavy Metal" maka gaya permainan Favre cenderung "Modern Jazz".

"Ada banyak ruang untuk para pemain berimprovisasi dan para pemain individu dibebaskan mengekspresikan kelebihannya. Tapi semua itu dibungkus dengan potongan-potongan yang membuat keharmonisan tim ketika bermain," ujar Ian Holyman lewat Bundesliga.

Sebenarnya, jika melihat gaya permainan Dortmund saat ini, tetap ada gaya permainan warisan Klopp: seperti mengandalkan skema serangan balik atau transisi dari bertahan ke menyerang sebagai senjata utama. Namun di sejumlah aspek memang berbeda.

Gegenpressing ala Klopp mengharuskan setiap pemainnya stick to the plan atau tetap pada skema utama. Setiap pemain harus menekan pemain lawan yang sedang menguasai bola selama 90 menit. Satu pemain tidak boleh terlambat ketika pressing dilakukan dengan garis pertahanan tinggi. Setelah menguasai bola, serangan balik harus sesegera mungkin menghasilkan peluang.

Favre`s Way, sementara itu, mengharuskan kesebelasannya untuk tetap mampu menciptakan peluang lewat build up attacking. Jadi, meski skema serangan balik menjadi senjata utama, skema serangan dari kiper pun tetap harus memiliki kualitas penyerangan yang sama baiknya.

"Tentu saya ingin kami bisa bermain dengan mengandalkan semua pemain, dimulai dari penjaga gawang, kemudian mencari cara pintar untuk mengincar gol. Kami juga ingin bermain dengan garis pertahanan tinggi, kemudian kami pun harus bisa melakukan serangan balik. Sebuah tim yang tidak bisa mengandalkan serangan balik bukanlah tim yang bagus," tutur Favre.

Jika Klopp mengandalkan skema dasar 4-3-3, Favre mengandalkan pola dasar 4-2-3-1. Ketika bertahan, para winger akan berusaha sejajar dengan double pivot sementara gelandang serang dan penyerang tunggal bertugas memberikan tekanan pada pemain lawan yang menguasai bola. Itu berbeda dengan gegenpressing Klopp di mana kedua sayap terdepan akan bekerja sama dengan penyerang tunggal sebagai barisan pertahanan pertama.

Adaptasi filosofi bermain Favre dengan para pemain Dortmund terbilang cepat karena sejumlah pemain memudahkan pelatih asal Swiss itu. Akanji, Roman Burki, dan Marwin Hitz (baru direkrut musim ini) merupakan tiga pemain yang berkebangsaan Swiss. Sedangkan Reus, Lukasz Piszczek, dan Dahoud adalah eks pemain Gladbach dan Hertha BSC yang pernah dilatih Favre. Pengalamannya melatih Nice pun memudahkannya berkomunikasi dengan pemain berkebangsaan Perancis seperti Zagadou dan Diallo.

Namun keputusan vital Favre di Dortmund adalah memainkan Reus di posisi gelandang serang, di belakang penyerang tunggal. Biasanya, Reus bermain di salah satu sayap dalam formasi 4-2-3-1 atau 4-3-3. Reus yang kini berstatus kapten Dortmund menjadi pemain yang paling punya peran di skema Favre. Reus, yang musim lalu berkutat cedera, menjadi satu-satunya pemain yang selalu bermain selama 90 menit (tak pernah diganti) di skuat Dortmund saat ini.

"Kamu bisa melihat aku bermain lebih baik ketika aku bermain di posisi gelandang serang. Aku bukan penyerang tengah [seperti di Timnas Jerman]. Di Dortmund, Alcacer dan Maximilian Philipp adalah dua penyerang utama. Aku suka bermain di belakang mereka," ujar Reus pada wawancara dengan Bundesliga.

Reus saat ini sudah mengoleksi 8 gol dan 4 asis dari 12 kali bermain di Bundesliga. Di Liga Champions, dia sudah menyumbang satu asis dan satu gol. Pemain berusia 29 tahun ini berpotensi mengulang catatan impresifnya seperti pada 2011/12, di mana ia mencetak 18 gol dan 9 asis. Torehan terbaik Reus itu terjadi ketika ia masih bermain untuk Gladbach, yang ditangani Favre.

foto: Bild

Komentar