Piala Dunia Qatar 2022 dan Kesempurnaan yang Memakan Korban

Cerita

by redaksi

Piala Dunia Qatar 2022 dan Kesempurnaan yang Memakan Korban

Setiap gelaran Piala Dunia selalu memiliki ceritanya sendiri. Seperti saat digelarnya Piala Dunia 2006, ketika Italia terkait skandal calciopoli tapi mereka tetap saja tampil dan akhirnya menjadi juara dunia. Adapula kisah di Piala Dunia 1978 ketika banyak anggapan bahwa pemerintahan junta militer Argentina ikut terlibat dalam pengaturan pertandingan Piala Dunia, utamanya pertandingan timnas Argentina. Lalu, saat Piala Dunia 2014 ketika Brasil ditentang oleh masyarakatnya sendiri karena mengeluarkan biaya besar tetapi lupa akan keadaan masyarakatnya sendiri yang bergelimang kemiskinan. Piala Dunia yang akan digelar di Qatar tahun 2022 nanti pun ternyata sama saja.

Piala Dunia 2022 sudah bermasalah sejak awal, terutama karena kecurigaan kasus suap dan korupsi dalam penunjukkan. Kasus lain yang hadir adalah para pekerja yang diperlakukan tidak sebagaimana mestinya oleh pemerintah Qatar yang mempekerjakan mereka.

Berdasarkan data Amnesty International, lembaga yang membawahi tentang hak asasi manusia, terdapat banyak sekali terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam pengerjaan venue Piala Dunia 2022 Qatar. Lembaga HAM yang berbasis di London ini mendapatkan fakta adanya pelanggaran hak asasi manusia setelah melakukan wawancara terhadap 132 orang pekerja yang ikut terlibat dalam renovasi Stadion Khalifa dan juga 102 orang yang ikut terlibat dalam pengembangan Aspire Zone, kompleks olahraga terbesar yang ada di Qatar yang sering digunakan oleh klub-klub besar Eropa sebagai tempat pemusatan latihan saat jeda kompetisi.

Amnesty International melakukan wawancara mulai dari Februari 2015 dan sudah mengunjungi Qatar sebanyak tiga kali sejak Februari 2015. Laporan pelanggaran HAM ini menurut mereka dilakukan dalam berbagai macam bentuk, seperti tingginya biaya hidup, gaji yang kerap dipotong, paspor yang ditahan, dan tempat tinggal yang tidak memadai. Lebih mengejutkan lagi, yang mengalami pelanggaran HAM ini adalah para pekerja imigran yang didatangkan oleh pemerintah Qatar dari berbagai negara di dunia.

Para pekerja ini diiming-imingi gaji yang besar, tempat tinggal yang nyaman, dan juga kehidupan yang menjanjikan oleh pemerintah Qatar. Namun, saat mereka mulai bekerja di sana, mereka malah menerima beragam perlakuan yang tidak mengenakkan dari pemerintah. Janji-janji pemerintah Qatar yang akan memberikan para pekerja imigran kehidupan yang nyaman di Qatar hanya omong kosong belaka.

Pada akhirnya, mereka tetap mendapatkan perlakuan yang tidak pantas. Hal ini diakui oleh salah satu pekerja di Qatar kepada pihak Amnesty International. Ia mengaku bahwa ia seperti dipenjara di Qatar dan dipaksa untuk tinggal di Qatar.

"Hidup saya di sini seperti berada di penjara. Pekerjaan yang sulit, dan saya beserta pekerja yang lain harus mengerjakannya di bawah terik sinar matahari. Ketika saya mengeluhkan hal ini kepada manajer saya, ia malah mengatakan sesuatu yang buruk. Ia berkata,'Kamu bisa mengeluhkan keadaan kamu di sini, Tapi nanti akan ada konsekuensi yang akan kamu terima. Kalau kamu ingin tinggal di Qatar, diamlah dan tetap bekerja'. Sampai sekarang, saya terus dipaksa untuk tinggal di sini," ujarnya kepada Amnesty.

Setelah mencermati hasil wawancara yang mereka dapatkan, pihak Amnesty International mengakui kalau ini merupakan hasil dari sebuah tuntutan akan kesempurnaan sebuah Piala Dunia. Brasil pun sempat melakukannya pada Piala Dunia 2014. Demi sebuah tuntutan kesempurnaan Piala Dunia, Brasil melupakan keadaan warga negaranya sendiri hanya demi terlihat "wah" ataupun "keren" di mata pecinta sepakbola dunia. Rumah sakit dan sekolah yang terlantar ditinggalkan demi sebuah kesempurnaan Piala Dunia.

"Bagi kebanyakan orang dan pemain, bermain di Piala Dunia ataupun menonton di stadion yang sedang mempertandingkan ajang Piala Dunia itu seperti sedang menjalani sebuah mimpi. Namun, para pekerja yang bekerja dalam membangun venue Piala Dunia, menganggap bahwa Piala Dunia itu tak ubahnya seperti sebuah neraka. Mereka harus menjawab tuntutan sebuah kesempurnaan dalam ajang Piala Dunia," ujar Direktur Jenderal Amnesty International, Salil Shetty.

Selain mengacungkan telunjuknya kepada Piala Dunia, Shetty juga mengacungkan telunjuknya kepada FIFA yang dianggap menutup mata akan hal ini. "Harus saya akui, janji FIFA akan perubahan sepakbola itu omong kosong. Toh, FIFA saja tidak bisa menghentikan pelanggaran hak asasi manusia bagi para pekerja dalam proses persiapan menuju Piala Dunia," ujarnya.

Akibat mulai munculnya kasus kekerasan terhadap para pekerja Piala Dunia 2022 di Qatar, selain Amnesty International beberapa orang juga sudah mulai melakukan sebuah pergerakan. Di Jerman, dua aktivitis wanita FEMEN melakukan aksinya dengan menginterupsi sebuah acara talkshow di Jerman. Mereka masuk ke dalam acara dengan setelan topless, dengan payudara yang tertutup body painting gambar bola, mereka menyerukan, "Boikot FIFA mafia, boikot FIFA mafia,"

Markus Lanz, pembawa acara dalam acara talkshow tersebut, awalnya mengira bahwa kedua wanita itu merupakan bagian dari acara talkshow. Tapi, ketika melihat bahwa kedua wanita itu digiring keluar oleh pihak keamanan, ia sadar bahwa kedua wanita itu adalah aktivis dari FEMEN. Lalu, Lanz pun memberikan kesempatan kepada aktivitis pria yang masuk untuk menjelaskan tujuan dari aksi tersebut.

"Para pekerja di Qatar telah diperlakukan seperti seorang budak. FIFA harus mulai melakukan sesuatu dan mencegah Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia!" ujar aktivitis pria FEMEN yang juga turut hadir dalam acara tersebut.

Menanggapi hal ini, FIFA pun langsung berkomentar. Melalui Federico Addieschi, yang menjabat Kepala Pemeliharaan Hak Asasi Manusia, FIFA mengatakan bahwa mereka akan selalu berusaha menjaga kesejahteraan para pekerja yang terlibat dalam persiapan Piala Dunia.

"FIFA memang tidak bisa langsung turun untuk mengecek kesejahteraan para pekerja yang terlibat dalam persiapan Piala Dunia itu. Tapi, kami bisa menjamin bahwa kami akan menjaga para pekerja itu jika suatu saat kesejahteraan mereka ataupun hak asasi manusia mereka tak terpenuhi," ujar Addieschi.

Memang, kesempurnaan Piala Dunia harus merenggut banyak korban, dan sekarang Qatar mulai melakukan hal itu dengan mengorbankan para pekerjanya demi kesempurnaan Piala Dunia.

Sumber: The Guardian, VIVA

(sf)

foto: worldbulletin.net

ed: fva

Komentar