Pemikiran-pemikiran Guru Guardiola

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Pemikiran-pemikiran Guru Guardiola

Hanya karena Pep Guardiola pernah bermain di bawah asuhan Johan Cruyff, Sir Bobby Robson, dan Louis van Gaal, orang-orang memandang ketiganya sebagai guru dari pelatih tersukses Barcelona tersebut. Jika bukan ketiganya, orang-orang menyebut guru Pep adalah Marcelo Bielsa. Tidak banyak yang mengenal Juanma Lillo, guru Pep yang sebenarnya.

Lillo, pelatih termuda di La Liga, adalah penemu 4-2-3-1. Jauh sebelum Pep dikenal sebagai pemikir ulung, Lillo sudah banyak merenung. Pep sendiri yang minta diangkat murid oleh pemikir sepakbola asal Tolosa ini.

Banyak hal berharga dalam kepala Lillo. Itu semua, digabungkan dengan pengalaman dan kecerdasan yang tergambar dalam setiap pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan oleh Sid Lowe, menghasilkan wawancara yang luar biasa. Wawancara ini dimuat dalam The Blizzard edisi pertama. Kami menerjemahkannya untuk Anda.

Anda pernah berkata bahwa Anda mengerti mengapa Presiden memecat pelatih. Yang tidak dapat Anda mengerti adalah, mengapa sejak awal presiden mempekerjakan pelatih. Sudahkah Anda memahaminya sekarang? Apa fungsi pelatih? Apa tugas Anda?

Pertama-tama, ada pertanyaan mengenai tugas formal seorang pelatih. Di tingkat yang sangat dasar, pelatih memilih siapa yang bermain dan yang tidak bermain. Jika bukan pelatih, siapa yang akan melakukannya? Namun lebih dari itu, saya tidak akan mencoba menetapkan tugas pelatih, mengingat kami memiliki arti penting yang terbatas.

Sepakbola adalah permainan yang dimainkan oleh pemain-pemain. Para pelatih yang menunjukkan bahwa mereka penting, tampak ingin menuntut protagionisme personal atau status lewat orang lain. Tugas kami lebih sedikit dari apa yang disadari atau diinginkan oleh banyak pelatih. Walau demikian, di dalam batasan-batasan tersebut, ada hal-hal yang dapat Anda uraikan. Bagaimanapun, pertama-tama, kita harus membicarakan perbedaan antara lingkungan profesional dan formatif. Kita harus bertanya apa sebenarnya seorang pelatih itu. Beberapa pelatih cenderung didaktik, beberapa memiliki hasrat protagonisme, beberapa kolot, beberapa tidak. Beberapa dirangsang oleh persaingan, lainnya oleh pertandingan sepakbola itu sendiri.

Anda sendiri?

Ingatlah bahwa saya mulai saat masih sangat muda. Ketika berusia 16 tahun saya sudah menjadi pelatih. Saya bukan pemain dan itu memaksa saya untuk lebih dekat dengan para pemain saya, mencari segala cara untuk terlibat. Saya ingin menjadi pemain, intinya itu. Vocación (pekerjaan) saya adalah menjadi pemain; bocación saya [dari kata boca, mulut] adalah menjadi pelatih: saya menjadi pelatih untuk menghidupi diriku sendiri.

Semua pelatih adalah gabungan dari banyak hal, namun saya memandang diri saya didaktik. Saya ingin mempermudah para pemain mendapatkan kesadaran mengenai siapa mereka dan apa yang mereka lakukan. Ini bukan hanya tentang sepakbola; ini tentang orang-orang. Ini tentang segalanya. Tidak ada yang dapat dipisahkan dari konteksnya. Bagaimana kita hidup, apa kita ini, kepentingan apa yang kita berikan kepada hubungan, kepada sikap, kepada interaksi... semua itu mempengaruhi cara bermain sebuah kesebelasan.

Dalam masyarakat kita, ada banyak guru, namun keberadaan pendidik dan fasilitator sedikit. Sebagaimana dikatakan [filsuf dan penulis Spanyol] Francisco Umbral, setiap hari orang-orang semakin mahir, namun semakin tidak terdidik. Orang-orang menyandang gelar MBA, atau MBB, atau MBC – namun mereka tidak dapat menyeberangi jalan. Orang-orang yang memiliki empati dan kemauan untuk melihat dari sudut pandang juga masih sedikit.

Academia mencoba mengubah kita menjadi mesin. Dalam pekerjaan saya, empati itu vital. Seseorang menunjukkan performa yang lebih baik dalam lingkungan kerja mana pun di dalam atmosfer yang baik dan bukan yang buruk. Kita harus membuat para pemain menyadari hal-hal yang barangkali tidak ia sadari. Bukan semata karena belakangan ini, bermain di sebuah kesebelasan jauh lebih sulit.

Mengapa?

Karena masyarakat tidak disiapkan seperti demikian; masyarakat mengarahkan kita ke arah individualisme. Sepakbola adalah olahraga kolektif; kita harus memperlakukannya sebagai olahraga kolektif. Setiap orang memiliki cara mereka sendiri untuk bersikap, kita mendorong hubungan, asosiasi. Untuk melakukan itu, kita harus memastikan sesedikit mungkin perbedaan antara apa yang kita lakukan dan apa yang kita katakan. Kita harus mampu menyerap: dapatkah kita mendengarkan? Dapatkah kita mengarahkan?

Ada tiga jenis otoritas: otoritas formal, otoritas teknikal, dan otoritas personal. Saya tidak menginginkan otoritas formal, lewat kekuasaan seseorang, posisi ‘coach’ atau ‘boss’. Otoritas bukanlah sesuatu yang kita paksakan; itu adalah sesuatu yang diterapkan pada kita oleh orang-orang yang berinteraksi dengan kita.

Saya ingin mendorong penemuan diri di antara para pemain, dialog dan pemahaman. Ini rumit dan tidak tetap. Kita mengarahkan orang-orang daripada memerintah mereka. Kita menyeimbangkan, beradaptasi dan mendengarkan. Manusia bersifat terbuka; tidak ada jawaban yang menutup debat secara mutlak. Ini bukan hanya soal apa yang berlaku kepada satu pemain tidak berlaku kepada pemainlainnya; ini adalah tentang sesuatu yang berlaku pada seorang pemain. Namun perlu diingat, ia tidak berlaku pada pemain yang sama dalam waktu dan situasi yang berbeda.

Dalam istilah praktis, apa yang diperlukan dalam pekerjaan Anda? Pada hari pertama Anda di sebuah kesebelasan, apa yang Anda lakukan?

Hal pertama yang saya lakukan adalah menggelar pertemuan pribadi dengan setiap pemain. Saya menemui mereka dengan banyak informasi dan data tentang mereka. Saya ingin mengonfirmasi informasi tersebut, memeriksanya dan menegur mereka dengannya. Apa yang ia pikirkan ketika mendengarnya? Kita tidak dapat lebih terbuka atau lebih jujur daripada memberi tahu pemain mengenai apa yang kita dengar tentangnya.

Saya dapat menyimpan informasi tersebut untuk diri saya sendiri dan membangun prasangka, namun saya tidak mau. Tidak ada kejujuran yang lebih besar daripada memberi tahu pemain tentang prasangka dan pemikiran apa yang telah ada sebelum kita menemuinya, atau apapun yang saya miliki tentangnya.

Kita semua memiliki prasangka – yang baik dan yang buruk. Saya tunjukkan prasangka saya sambil menatap mata mereka. Hari berikutnya, saya memberi tahu kesebelasan secara keseluruhan. Saya menunjukkan kepada mereka apa yang mereka pikirkan mengenai diri mereka sendiri dan mengenai kesebelasan. Saya ibarat orang yang memegang sebuah cermin. Seringkali kita memetik pelajaran paling banyak dari persepsi diri. Saya berbicara kepada orang-orang yang mengenal para pemain, yang berbagi ruang ganti dengan mereka dan yang pernah melatih mereka. Jika saya dapat berbicara kepada orang tua mereka, itu jauh lebih baik. Setelahnya kita harus tahu untuk apa informasi tersebut.

Dalam sepakbola itu sendiri, bagaimana Anda menyiapkan kesebelasan Anda? Hal yang jelas dan sederhana mengenai apa yang harus dilakukan seorang pelatih terhadap kesebelasan adalah: siapa bek kananku, siapa bek kiriku, siapa gelandang tengahku, dan seterusnya?

Dalam kasus saya tidak demikian. Ketika kita mendapat sebuah kesebelasan, 80% atau lebih darinya sudah terbentuk; kita harus melihat apakah kita akan banyak bertentangan dengan apa yang sudah ada di sana. Kita harus belajar dari pemain, bukan sebaliknya. Semuanya harus bekerja sama, saling bekerja sama. Mentalitas saya adalah interaksi dan hubungan. Jika Anda mengatakan, “mari kita evaluasi bek kiri”, saya akan mengatakan; “Siapa yang ada di sampingnya? Siapa yang ada di depannya? Siapa yang paling dekat dengannya?”

Anda pernah mengatakan bahwa tidak ada yang namanya serangan dan pertahanan?

Benar. Bagaimana bisa ada serangan dan pertahanan jika kita tidak memiliki bola? Bagaimana satu hal ada tanpa yang lainnya? Orang-orang butuh berkomunikasi, jadi ada reduksi konsep, sebuah penyederhanaan. Saya mengerti itu. Intinya, kita harus mampu mengurangi tanpa memiskinkan. Ini berlaku untuk segala hal.

Kita tidak dapat memisahkan beberapa hal dari konteksnya hanya karena mereka bukan lagi hal yang sama, bahkan jika kita berniat untuk menyatukan segalanya kembali. Kita tidak dapat mengambil lengan Rafa Nadal dan melatihnya secara terpisah. Andai jika kita bisa melakukannya pun, ketika kita memasang kembali lengannya, akan terjadi ketidakseimbangan. Ini namanya sebuah penolakan dari organisme.

Bagaimana bisa kita memperoleh kekuatan sepakbola di luar sepakbola? Jika kita berlari ke arah sana, kita melatih kemampuan kita berlari ke arah sana, bukan bermain sepakbola. Jika kita berlari kita akan lebih sehat karena, fuck, berlari itu menyehatkan. Namun tidak berarti berlari akan membuat kita menjadi pemain sepakbola yang lebih baik jika kita mendekatinya di luar konteks.

Tapi apakah berlari memiliki manfaat?

Dengan membuat kita lebih sehat, ya. Dan jika itu membantu kita secara psikologis, luar biasa. Mungkin jika kita merasa lebih baik,  kuat dan cepat, kita akan berhubungan lebih baik dengan para pemain lain di lapangan. Sepakbola bersifat asosiatif, kombinatif. Namun berlari saja tidak serta merta membuat kita lebih baik.

Tentunya seorang pemain cepat akan berguna dibanding dengan jika ia tidak secepat dirinya sekarang?

Jika ia tahu cara menggunakan kecepatannya. Dan apa sih kecepatan dalam sepakbola? Kita bisa menghabiskan berjam-jam menjawab pertanyaan itu. Konsep kecepatan yang orang-orang miliki tentang sepakbola sebenarnya adalah sebuah konsep dari olahraga individu. Ini adalah konsep transisi – mengenai sesuatu, dalam hal ini pemain sepakbola, yang bergerak dari sini ke sana. Usain Bolt berlari dengan cepat... Jadi ia seharusnya fenomena sepakbola?

Namun bukannya itu sebuah argumen yang dengan sengaja menghalangi? Betul, ia tidak memiliki talenta sepakbola. Namun dalam dunia sepakbola, seorang pemain cepat dapat berguna. Anda menempatkan bekas pemain Anda di Almería, Albert Crusat, di samping Carles Puyol dan membuat mereka berlomba mencapai bola, contohnya, dan Crusat akan menang...

Tentu, namun apakah Crusat tahu bagaimana ia dapat berlari ke arah bola pada waktu yang tepat? Ada pergerakan sebelum umpan; kita tidak dapat secara sederhana memisahkan adu cepat di antara keduanya. Crusat memiliki kualitas yang membuatnya unggul saat melawan Puyol. Namun untuk memanfaatkan keunggulan tersebut, ia harus tahu bahwa ia memilikinya dan tahu bagaimana cara menggunakannya. Ia juga harus memiliki rekan satu kesebelasan yang dapat memfasilitasinya. Kalau ia sendirian, ia bukan apa-apa.

Kita semua membutuhkan orang lain. Analogi Bolt bukan bodoh. Karena kecepatan sendiri – yang dinyatakan dengan kecepatan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain – tidak berguna, tidak ada yang seperti itu. Ada banyak parameter taktikal, konsep permainan, dan semua itu dikondisikan oleh kesadaran akan kualitas yang kita miliki, interaksi para pemain, interaksi terhadap lawan.

Apakah contoh dari hal tersebut adalah Cristiano Ronaldo? Ia sangat cepat, namun banyak kesempatan di mana kesebelasan-kesebelasan membuatnya tidak memiliki kesempatna untuk menggunakan kesempatan tersebut, mencegahnya berhadapan satu lawan satu dengan pemain tertentu, atau menutup ruang yang dapat digunakannya untuk berlari...

...Ah, tapi Anda membangun hubungan sebab-akibat. Itu tidak ada, jadi...

Kenapa itu tidak ada? Itu ada, kan? Setidaknya di tingkat konseptual, dalam metodologi? Tentunya semua kesebelasan sepakbola setidaknya berusaha melakukan sesuatu untuk memicu hal lain. Jika kita melakukan ini – sebab – kita berusaha menciptakan sebuah tujuan – akibat? Bukankah membantah keberadaan hubungan sebab-akibat pada akhirnya adalah sebuah cara untuk mengatakan, “Sial, ini semua keberuntungan”? Pekerjaan Anda mencoba menciptakan  situasi tertentu, bukan?

Ya, ya. Saya berusaha membangun sebuah kesebelasan yang membentuk diri sendiri...

Bukankah itu sebab-akibat?

Tidak. Jika saya bergerak dari sini ke sana, saya berpikir untuk bergerak dari sini ke sana. Namun itu saja. Saya tidak tahu apa yang akan saya temukan dalam perjalanan. Dalam dirinya sendiri, sebab dan akibat itu tidak ada. Kita tidak dapat mengotak-kotakkannya seperti itu; orang-orang mengelak dari teori kerumitan, namun itu benar. Bagaimana kita tahu bahwa sebab bukanlah sebuah akibat dari sesuatu  yang sebelumnya, dan akibat itu tidak akan menyebabkan sesuatu yang lain – dalam konteks variabel-variabel lain yang tak terhitung?

Saya rasa masalahnya, orang-orang selalu ingin memisahkan hal-hal. Kita selalu berpikir jika kita memisahkannya, orang-orang akan mampu melihatnya. Hal-hal yang kadang disengaja. “Saya melakukan ini karena itu”? Tidak.

OK, jadi dalam istilah sepakbola yang murni...

Tidak ada yang benar-benar murni... Tidak ada.

OK, berbicara mengenai sisi permainan dari pertandingan, apa yang terjadi kepada bola di lapangan? Apa yang Anda cari? Anda memperjuangkan jenis sepakbola yang sangat spesifik...

Saya mempertahankan jenis permainan yang membawa saya paling dekat dengan kemenangan.

Tentu, namun Anda berusaha memenangi pertandingan dengan gaya yang dibangun di sekitar bola...

Tentu. Tanpa bola tidak akan ada pertandingan. Itulah sepakbola.

Namun banyak pelatih yang tidak memandang bola sepenting itu...

Ya, namun mereka tetap membangun kesebelasan mereka di sekitar bola. Dalam sepakbola, kita harus melakukan segalanya berdasarkan bola; itu aktor utamanya. Tanpa bola tidak ada apa-apa. Bola adalah ibu, sumber kehidupan dalam sepakbola. Apa gunanya gawang? Untuk dimasuki bola. Tanpa bola tidak ada yang memiliki arti. Namun ya, ada beberapa pelatih yang tidak membangun kesebelasan mereka di sekitar penguasaan bola.

Orang-orang menyebutnya pragmatis. Namun Anda akan membantah bahwa pendekatan Anda juga pragmatis. Anda juga ingin menang...

Juga? Tidak. Di atas segalanya. Jika berhubungan dengan memenangi pertandingan, apa yang dilakukan seorang pelatih adalah meningkatkan indeks kemungkinan. Sebagai seorang pelatih yang dapat Anda lakukan adalah menyangkal keberuntungan sebisa mungkin. Sepakbola telah menunjukkan banyak waktu di mana bahkan tanpa harus melewati batas lawan sekali saja, kita dapat tetap menang 1-0. Kedudukan pertandingan Arsenal melawan Barcelona adalah 1-1 dan mereka tidak memiliki satu pun tembakan ke gawang. Kita bekerja dalam aktivitas yang memilik banyak variabel dan peluang adalah salah satunya. Kita dapat bertahan mati-matian dan melepas tembakan setiap kali memiliki bola, namun itu semua hanya tembakan. Tidak ada permainan.

Anda menyebut menang 1-0 tanpa melepas tembakan: tidak adil?

Kata keadilan adalah kata yang sulit saya gunakan dalam nyaris semua area kehidupan. Tidak layak, iya. Mustahil, sangat mustahil – namun itu bisa terjadi. Kata keadilan terlalu kuat.

Namun haruskah sepakbola memiliki sesuatu di luar hasil pertandingan? Adakah komponen moral?

Setiap aktivitas manusia memiliki komponen moral. Ketika kita mengatakan yang penting adalah hasil, itu  bohong. Ada pelatih-pelatih yang hanya membicarakan kepentingan hasil akhir yang membuat alasan ketika mereka tidak menang. Kita dapat dengan mudah melihat para pembuat alasan. Seseorang yang menjual hasil, menjual asap [vender humo dalam bahasa Spanyol berarti menyembunyikan kenyataan dengan ‘menjual’ produk imajiner, dengan berbicara tanpa substansi, dengan menjadi dukun klenik].

Jadi apakah keberadaan pelatih-pelatih seperti itu membuat Anda merasa sebal?

Tidak. Apa yang membuat saya sebal adalah ketika mereka menjual dusta. Itu membuat saya kesal karena kawan mereka ada di media, bahwa jurnalisme menganalisis segalanya berdasarkan kesuksesan – dan hasilnya, jurnalisme selalu menang. Analisis, laporan, disampaikan melalui kesuksesan sehingga mereka selalu benar. Tidak ada yang melihat proses kecuali lewat prisma hasil akhir. Itu sangat oportunis. Dan salah.

Bukankah itu wajar? Kita menyuguhkan hasil dan berusaha menjelaskannya...

Menurut saya, itu adalah hal normal dalam masyarakat yang sakit. Lihatlah apa yang Anda lakukan sekarang, yang jauh lebih sehat: Anda menghargai apa yang Anda lakukan sekarang jauh lebih besar daripada berapa banyak cetakan yang akan Anda jual. Adalah kegiatannya yang menggerakkan Anda, bukan hasil akhir. Anda harus mendengarkan saya, mencatat apa yang saya katakan, mengurusnya, mengetiknya, menyuntingnya... Anda akan melakukan banyak hal dalam perjalanan sehingga perjalanannya adalah tujuannya. Itulah salah satu hal yang berusaha saya tonjolkan kepada para pemain: perjalanan adalah tujuan, sasaran.

Tapi Anda bilang tujuan Anda adalah menang...

Namun tujuannya adalah perjalanan, proses; pekerjaan-pekerjaan yang berarti. Dalam sebuah lomba kita dapat menjadi yang pertama, bermil-mil di depan orang lain dan, satu meter dari garis akhir, jatuh. Dan? Apakah Anda akan menyerah? Anda berlari dengan hebat. Dan itu jauh lebih rumit daripada mengatakan: menang, bagus; tidak menang, buruk.

Pada abad ke-18, ilmuwan menemukan kerumitan dalam sejumlah hal dan menemukan bahwa banyak hal yang telah mereka sederhanakan dan pahami ternyata tidak demikian. Hal-hal sulit dibuktikan, sehingga mereka mulai bunuh diri. Variasi terkecil dapat mengubah semuanya, itu adalah teori kekacauan. Kita tidak dapat mengetahui setiap rincian atau memiliki jawaban pasti. Tidak ada yang sangat jelas. Tidak ada yang sepenuhnya jelas. Kenyataannya, tidak ada yang nyata.

Namun jika tujuannya adalah untuk menang...

Ya, namun apa yang membuat Anda kaya adalah pertandingan, bukan hasil akhir. Hasil akhir adalah sebuah data. Angka kelahiran meningkat. Apakah itu memperkaya? Tidak. Tapi proses yang mengarah kepadanya? Itu baru memperkaya. Pemenuhan datang dari proses. Kita mendebatkan pertandingan, bukan hasil akhirnya. Hasil akhir tidak dapat didebatkan, pertandingan, ya. Apakah Anda membeli surat kabar pada Senin pagi seharga satu euro dan satu-satunya hal dalam surat kabat itu hanya daftar hasil akhir? Apakah Anda datang ke stadion sepakbola di menit akhir pertandingan, melihat papan skor, dan pergi? Anda menonton 90 menit. Dan 90 menit itu adalah proses.

Jadi apakah kita salah karena menilai proses berdasarkan hasil akhir, walau proses bertujuan mencapai hasil?

Kita tidak dapat mengesahkan proses berdasarkan hasil akhir. Manusia cenderung memuja apa yang berakhir dengan baik, bukan apa yang dikerjakan dengan baik. Kita menyerang apa yang berakhir buruk, bukan apa yang dilakukan dengan buruk. Media melakukannya. Dan di balik kemungkinan kita tidak memiliki kapasitas untuk menilai apakah proses metodologisnya benar, kita rusak karena menghakimi. Proses yang sama dapat menghasilkan efek yang sangat berbeda; dan kadang efek yang sama datang dari ‘sebab’ yang sama sekali berbeda.

Bayern München adalah sebuah kesebelasan yang hebat pada menit 90 [di tahun 1999] ketika mereka memenangi Champions League dan pada menit 92, mereka berubah menjadi sampah. Bagaimana mungkin itu terjadi? Momen tersebut, mengingat dimensi segala hal yang mengiringinya, ada untuk menggambarkan hal ini dan banyak lagi di sampingnya.

Saya ingat ofisial keempat condong ke kanan untuk menahan para pemain Bayern yang siap berlari ke lapangan dan merayakan kemenangan... dan seketika, ia condong ke kiri untuk menahan para pemain United yang siap berlari ke lapangan dan merayakan kemenangan. Semuanya terjadi dalam satu menit. Intinya, después del visto todo el mundo es listo: semua orang adalah jenius setelah kejadian. Saya menyebutnya nabi masa lalu. Dan walau demikian bahkan mereka salah karena mengevaluasi proses dengan hanya melihat bagaimana sesuatu berakhir dan, di atas semuanya, terus memaksakan tuntutan.

Apakah lingkungan di sekitar pertandingan telah berubah?

Ya, hiasan telah mengalahkan makanan utama. Lebih banyak tekanan, lebih banyak hal yang seharusnya berada di sekeliling kini berada di tengah. Masyarakat berubah dan ini terasa dalam segala hal. Semakin hari, orang-orang menghabiskan semakin sedikit waktu dalam kehidupan mereka dan lebih banyak waktu dalam kehidupan orang lain, karena kehidupan mereka sendiri menakutkan. Teknologi baru membuat khayalan memiliki jalan yang lebih mudah daripada sebelumnya.

Mari secara spesifik membicarakan persiapan sepakbola Anda. Anda menciptakan 4-2-3-1 di Cultural Leonesa di awal 90-an. Mengapa?

Kita melihat masa lalu melalui masa kini, jadi saya tidak yakin bahwa saya sekarang sedang menggambarkan apa yang coba saya capai dahulu dengan akurat. Saya tidak dapat mengingat apa yang saya rasakan saat itu, namun saya ingin para pemain berada di depan bola agar memiliki pergerakan yang lebih baik dan lebih dekat ke gawang lawan. Saya menginginkan empat penyerang, namun dalam cakupan ruang yang rasional. Kami menekan sangat, sangat tinggi, merebut bola dekat dengan gawang lawan.

Pada dasarnya, saya menginginkan tiga media puntas. Saya mencoba menciptakan distribusi spasial, yang dipengaruhi oleh para pemain yang saya miliki. Hal ini dapat dilakukan. Dan selama bertahun-tahun orang-orang memang melakukannya. Saya rasa ini adalah sistem yang bagus. Namun saya yakin, jika kita lebih melihat sikap pemain daripada nama yang diterapkan pada sistem, seseorang telah mencobanya dengan sukses ratusan tahun sebelumnya – mungkin 4-4-2 dengan seorang penyerang yang sedikit lebih dalam dan pemain-pemain sayap yang lebih menekan terlihat sama. Intinya, ada obsesi untuk menciptakan nama bagi hal-hal, penanda. Jadi saya menamaninya 4-2-3-1.

Anda menyebut disbtribusi spasial. Bagi Anda, kuncinya adalah penempatan diri, bukan? Hal apa yang diperlukannya?

Ya. Saya mempercayai penempatan diri karena itu memperkuat hubungan antarpemain di lapangan. Itu berarti, contohnya, memperbaiki posisi para pemain lawan, berusaha mendapatkan keunggulan jumlah di area-area kunci dalam lapangan, menyingkirkan area-area tertentu, memfasilitasi aksi-aksi tertentu, melengkapi diri agar memiliki solusi dan alternatif. Saya suka pemain menerima bola di kaki mereka di titik terjauh, untuk membuka lapangan, untuk melihat jalur umpan.

Apakah pekerjaan tersebut dikerjakan secara pribadi? Apakah Anda berpikir: ‘baiklah, saya akan membuat sayap kiri saya berhadapan satu lawan satu dengan bek sayap mereka’?

Tidak. Jika orang-orang memberikan gambaran seperti itu, sama saja dengan berbohong. Karena kita tidak bermain secara individu, kita bermain dalam konteks sebuah kesebelasan. Jika seorang pemain mendapat bola di areanya sendiri, semua pemain lawan duduk di lapangan dan ia menggiring bola sepanjang lapangan dan mencetak gol... itu tetap bukan aksi individu karena jika mereka tidak duduk, ia tidak akan bisa melakukannya. Apa yang dilakukan para pemain lain adalah, apa yang mempengaruhi keputusan ini atau itu. Orang-orang mengatakan “aksi individu” namun tidak ada yang namanya aksi individu.

Namun bukankah sebuah kesebelasan bekerja agar memperkuat sifat individu tertentu di area tertentu di lapangan dan pada pemain tertentu? Bukankah Barcelona bekerja untuk membuat ruang yang dapat, misalnya, Messi gunakan untuk berlari menghadapi bek sayap yang sudah Guardiola tandai sebagai titik lemah sebuah kesebelasan?

Sampai titik tertentu, ya. Namun kita tidak dapat memprediksi tingkah laku manusia. Kita dapat melihat Messi menjadi sosok yang berbahaya saat menerima bola di area tertentu. Namun itu tergantung kondisi dari siapa Messi menerima bola dan kapan. Apakah pergerakan terakhirnya berhasil atau tidak, apa konteks emosionalnya, bagaimana lawan bereaksi? Permainan yang berdasarkan posisi, yang saya kerjakan, membantu kita memancing situasi tertentu. Namun jauh lebih penting untuk memiliki kecerdasan, budaya, dan kemampuan untuk menginterpretasi apa yang terjadi, untuk beradaptasi, untuk mengerti, dan mampu mencari solusi yang memberi rekan-rekan kita keunggulan terbesar.

Jadi, pemain terbaik adalah yang paling cerdas.

Dalam area kehidupan apapun, tanpa kecerdasan, hal-hal lain tidak memiliki arti. Seringkali lebih penting di mana kita menitikberatkan tekanan daripada kekuatan itu sendiri, contohnya.  Jika kita mencoba mengangkat batu dengan linggis, dapat atau tidaknya kita mengangkat batu tergantung kepada di mana kita menitikberatkan tekanan, bagaimana kita mengungkitnya, bukan seberapa kuat kita. Jika kita tidak tahu di mana kita harus menempatkan linggisnya, seberapa kuat kita tidak akan berguna.

Namun apakah Anda melatih gerakan tertentu?

Selalu. Namun lebih dari gerakannya, kita membentuk serangkaian hubungan melalui pengulangan. Kita berusaha menciptakan situasi di mana para pemain menyadari pilihan-pilihan mereka. Pergerakannya tidak selalu sama, lawan-lawan berganti. Itulah mengapa saya membicarakan kebudayaan; kita harus mengerti. Kita tahu bahwa untuk cairan, mangkuk bulat dan juga sendok. Untuk steak, kita membutuhkan piring datar, pisau tajam dan garpu. Namun pertama-tama kita harus tahu apakah yang mereka letakkan di depan kita itu sup atau steak. Kita harus menyadari apa yang kita hadapi sebelum kita dapat menentukan peralatan mana yang digunakan.

Contoh lain: Orang-orang menyalahartikan peta dengan wilayah. Saya tahu ke mana saya harus pulang; saya bahkan menggunakan SatNav untuk membantu saya pulang. Namun itu peta, bukan wilayah. SatNav tidak memberi tahu saya jika ada pekerjaan jalan, atau jika seekor anjing berlari di depan saya. Itu yang saya maksud budaya: Kita harus tahu cara bereaksi, kapan harus menginjak rem, kapan harus mengelak. Peta menunjukkan kita ke mana kita bergerak, rute yang dapat dilalui, namun tidak bagaimana untuk sampai ke tujuan. Jika kita menabrak anjing dan pekerja di jalan, lalu bagaimana? Yang penting adalah hubungan ruang dan waktu.

Jadi, bagaimana Anda melengkapi para pemain dengan itu?

Di antara kami, kami membangun sebuah bahasa umum yang dapat kami gunakan untuk mengerti apa yang kami lakukan. Seringkali bahasa tersebut bahkan tidak jelas; itu adalah sebuah pemahaman. Namun bahkan tanpa seorang pelatih itu dapat terjadi. Ketika kita masih kecil, kita belajar bahwa ketika situasi tertenti terjadi, kita sebaiknya melakukan hal-hal tertentu. Ini hal yang interaktif, selalu begitu. Dan ini seringkali lambat, tidak disadari: perubahan yang nyata adalah perubahan yang tidak terasa. Lihatlah foto Anda 10 tahun lalu – Anda berbeda, namun Anda tidak tahu bahwa perubahan sedang terjadi. Anda sekarang berbeda dengan Anda ketika wawancara ini dimulai, namun Anda tidak mengetahui dan tidak dapat mengenali perubahannya.

Saya sebenarnya berusaha memastikan bahwa seorang pemain tidak memiliki rencana sebelumnya, karena bisa saja itu tidak berguna. Jika kita memisahkan variabel dan memaksimalkan satu hal, kita meminimalisir yang lainnya. Jika kita fokus kepada kecepatan seorang pemain, kita melemahkan kemampuannya untuk melakukan hal-hal lain, yang sebenarnya juga sama pentingnya. Itu bukan ide yang bagus: manusia dibentuk sebagai hubungan jaringan yang saling melengkapi, bukan piramida kemampuan yang hierarkis.

Jadi, apakah Anda tidak pernah melakukan pekerjaan yang bertujuan, misalnya, untuk memperkuat pemain?

Jika mereka memerlukannya, iya. Namun selama ia mengerti bahwa ia melakukannya untuk membuat dirinya sendiri bermain lebih baik, bukan menjadi lebih kuat secara fisik. Ia harus memiliki kekuatan untuk bermain sepakkbola, bukan kekuatan saja. Untuk apa saya peduli seberapa banyak ia dapat melakukan bench press? Saya peduli jika ia dapat bermain. Saya melatih orang-orang agar mereka dapat bermain lebih baik, bukan agar mereka dapat berlari lebih baik. Ini persiapan sepakbola.

Mari kita coba beri nama kepada gaya Anda, kalau begitu. Siapa pemain yang paling Anda sukai saat ini?

Pemain terbaik adalah mereka yang menafsirkan permainan paling baik dan dapat menawarkan solusi yang menguntungkan kesebelasan. Bagi saya, tidak ada yang seperti [Andrés] Iniesta. Ia menerima, mengumpan, menafsirkan, mengevaluasi kebutuhan kesebelasan dan secara konstan beradaptasi. Ia dapat menjadi penjaga gawang karena ia memiliki kesadaran yang sangat baik. Messi memiliki jugadas [pergerakan] terbaik di dunia, namun Iniesta adalah jugador [pemain] terbaik. Dan itulah kata-katanya: bermain, ini adalah permainan yang melibatkan banyak orang; kemampuan kita bergantung kepada hubungan dengan mereka. Pemahaman adalah intinya. Ini bukan daftar kemampuan: cepat, kuat, apapun.

Pasti ada kasus pemain yang dapat mengerti namun tidak dapat bermain? Pemain yang dapat melihat peluang umpan namun tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya? Lalu apa?

Itu tidak benar-benar terjadi. Kualitas saling berdampingan. Secara alami, kita melihat peluang umpan yang dapat kita buat. Jika kita tidak dapat melakukannya, kita berhenti melihatnya. Kita menyebutnya kemampuan, namun apa yang kita maksud sebenarnya adalah ‘dilakukan dengan baik’.

Jika seorang pemain mengumpan dengan buruk, kemampuannya melihat peluang menurun; tubuhnya menyadari hal tersebut. Ronald Koeman dapat melihat rekan satu kesebelasan, [Hristo] Stoichkov, sejauh 70 meter. Anda pikir kenapa ia dapat melihatnya? Hanya karena ia melihatnya atau karena ia pikir dengan kakinya ia dapat mengirim bola? Seseorang yang tahu ia dapat mengumpan bola sejauh 75 meter, membuka perspektifnya untuk melakukan itu. Itu bahkan bukan sebuah kesadaran. Bagaimanapun, itu adalah hasil dari apa kita ini, apa yang telah kita alami, evolusi kita, dan konteks kita.

Kita berpikir bahkan ketika kita tidak mengetahui, kita berpikir. Orang-orang berkata Hugo Sánchez, yang biasa mengakhiri peluangnya dengan satu sentuhan, melakukan penyelesaian “tanpa berpikir”. Namun ia telah menghabiskan seluruh hidupnya memikirkan permainan seperti itu! Itu alami, bagian dari dirinya secara keseluruhan. Sebagaimana telah saya katakan, ini bukan tentang daftar kualitas. Jika kita ‘penggiring bola’ yang sangat hebat namun kita tidak tahu kapan harus menggiring bola, kita sebenarnya bukan penggiring bola yang hebat.

Orang-orang melihat sepakbola seperti Jack the Ripper: Mari selesaikan ini bagian per bagian. Kita telah kehilangan kemampuan sinkretisme. Namun kenyataan  bersifat sinkretis. Pelatih-pelatih ‘modern’ membagi-bagi sepakbola dan menyatukannya kembali, namun ini sama saja dengan menentang sifat alamiah. Tanpa konteks kita, kita bukanlah kita. Kita bukan daftar kemampuan. Tujuan saya adalah untuk tidak memecah belah dan memisah-misah apa yang seharusnya menyatu, tidak memisahkan konteks. Dan itu adalah pendekatan tertua di dunia.

Komentar