Mengulang Memori Indah Final Liga Champions 1996

Cerita

by Redaksi 41

Redaksi 41

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Mengulang Memori Indah Final Liga Champions 1996

Era 1990-an akan selalu dikenang sebagai masa yang paling indah bagi Juventus dan seluruh Juventini di dunia. Pada masa itu, Juventus tengah berada dalam puncak kesuksesan sebagai sebuah kesebelasan. Juventus pernah merasakan tiga partai final Liga Champions secara berturut-turut: 1996, 1997, dan 1998. Meskipun demikian, Juventus hanya mempu memenangi satu trofi saja pada final 1996. Kemenangan pada final 1996 itulah yang menjadi gelar kedua Juventus di Liga Champions.

Era tersebut bukanlah masa-masa keemasan terakhir Juventus. Mereka pernah menyicip laga final Liga Champions pada 2003. Pertandingan tersebut sekaligus menjadi pertandingan "Derby Italia" karena mempertemukan dengan AC Milan. Lagi-lagi, Juventus gagal.

Pada 6 Juni mendatang, Juventus akan memainkan laga final keempatnya setelah final 1996. Mereka tentu tidak ingin merasakan kegagalan sebanyak empat kali beruntun saat bertanding di final.

Musim 1995/1996 pun sejatinya menjadi era tersukses Juventus di tanah Eropa. Mereka hampir memboyong seluruh gelar bergengsi ke Turin. Selain Liga Champions, I Bianconeri juga sukses menggondol Piala Super Italia (sebelum musim dimulai), Piala Super Eropa, dan Piala Interkontinental.

“Sukses itu benar-benar membahagiakan. Inilah gelar Liga Champions yang sesungguhnya yang bisa kami rayakan hingga ke hati. Sedangkan gelar pada 1984/1985 tidak pernah kami anggap sebagai kemenangan. Sekarang kami baru bisa merasakan kemenangan di tingkat Eropa itu,” kata pejabat Juventus, Roberto Bettega, seusai timnya menjuarai Liga Champions 1995/1996 di Stadion Olimpico, Roma.

Juventus meraih gelar Liga Champions untuk pertama kalinya pada 1985. Namun, tahun tersebut sekaligus menjadi kisah kelam bagi mereka. Sebab, mereka harus kehilangan 39 orang pendukungnya di laga final tersebut, yang dikenal dengan tragedi Heysel. Kala itu Michel Platini menjadi pencetak gol tunggal di pertandingan tersebut melalui titik putih.

Juventus tidak pernah merayakan gelar Liga Champions pertamanya. Justru mereka menjadikan kejadian itu sebagai hari berkabung, bukan sebagai hari yang membanggakan bagi mereka. Maka tak salahlah jika mereka begitu meledak-ledak pada perayaan gelar kedua mereka.

***

Sejak awal turnamen, Ajax dan Juve difavoritkan untuk bertemu di final karena kedua kesebelasan punya banyak pemain berkelas. Kalau Juve lebih banyak didominasi pemain senior, Ajax justru sebaliknya. Kesebelasan yang dilatih Louis van Gaal itu sedang dalam puncak kesuksesan bersama para pemain muda berbakat. Ajax pun berhasil menjuarai Liga Champions musim 1994/1995.  Sebagian besar skuad tersebut masih bertahan di musim berikutnya sehingga mereka masih menjadi kesebelasan favorit juara.

Pada 22 Mei 1996, Ajax dan Juve benar-benar bertemu di final. Bertanding di Stadion Olimpico Roma, Juve yang dilatih Marcello Lippi mengejutkan lawannya lewat gol yang dicetak Fabrizio Ravanelli pada menit ke-12. Ajax kaget karena tidak menyangkan Juve yang biasanya bermain lebih defensif justru menerapkan pola permainan menyerang. Sang juara bertahan pun berhasil menyamakan skor pada menit ke-41 lewat Jari Litmanen. Di sisa pertandingan, kedua kesebelasan saling menyerang. Namun, tidak ada yang berhasil mencetak gol hingga pertandingan harus ditentukan lewat adu tendangan penalti.

Saat adu tendangan penalti, tiga penendang Juventus sukses menceploskan bola ke gawang. Sementara itu, dari kubu Ajax, Edgar Davids (yang selang satu musim kemudian menjadi milik Juventus), gagal.

Juventus pun akhirnya keluar sebagai juara setelah penendang penendang keempat Ajax gagal dan Vladimir Jugovic selaku penendang keempat Juventus sukses mengeksekusi penalti. Skor akhir 4-2 di laga adu penalti pun mengantarkan Juventus meraih trofi Champions kedua mereka.

?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????
Sumber gambar tifosibianconeri.com

Kejelian Marcello Lippi

Sukses Juventus di tahun itu tak lepas dari kehadiran pelatih berbakat, Marcello Lippi. Pada awal, 1994 Juventus mendatangkan pelatih berbakat tersebut, yang kemudian menjadi legenda Juventus. Pada saat itu, banyak kalangan mempertanyakan  kapasitas Lippi sebagi pelatih. Sebelum melatih Juventus, Lippi hanya melatih Cesena, Luchesse, Atalanta, dan terakhir Napoli. Bersama kesebelasan yang terakhir disebut, ia meraih juara UEFA Cup yang merupakan prestasi terbaik Lippi sebelum berlabuh ke Juventus.

Dengan prestasi seperti itu, wajar jika kemudian banyak yang meragukan kapasitas Lippi untuk menukangi Juventus saat itu. Lantas Lippi menjawab semua keraguan itu. Ia lansung membawa Juventus menjuarai Serie A Italia tahun 1994/1995, musim perdananya sebagai pelatih Juventus. Trofi ini sekaligus menjadi rangkaian awal kesuksesan Juventus dibawah asuhan Lippi.

Tapi pasca menjuarai Serie A di musim pertamanya, Lippi melakukan keputusan yang terhitung mengejutkan. Ia berani melepas Roberto Baggio. Hal tersebut pun dinilai para Juventini sebagai blunder.

Namun lagi-lagi Lippi membuktikan jika segala keputusannya tidaklah salah. Setelah melepas Baggio, Lippi pun segera mendatangkan Jugovic dari Sampdoria sebagai pengganti. Dan lagi-lagi keputusan Lippi tersebut, benar. Bahkan Jugovic menjadi eksekutor penalti penentu bagi Juventus dalam meraih gelar Champions kedua mereka.

Tendangan penalti Jugovic pulalah yang membuat Gianluca Vialli menangis sepeti bayi dan membuat seluruh pemain Juventus histeris meluapkan kebahagiaan. Tendangan Jugovic pulalah yang menjadi gerbang hattrick pertama Juventus secara beruntun untuk tampil di final Liga Champions. Meskipun pada akhirnya hanya satu gelar dari tiga penampilan di final secara berturut-turut tersebut.

“Saya selalu mengenang kemenangan waktu itu. Aku ingat Gianluca Vialli menangis seperti bayi, aku melompat-lompat kegirangan. Aku berpikir kala itu adalah mimpi namun itu adalah benar,” ungkap Angelo Di Livio.



Komentar