English Defence League: Anti-Islam yang Merembes ke Suporter Inggris

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

English Defence League: Anti-Islam yang Merembes ke Suporter Inggris

Ada satu kesamaan antara Hooligans Gegen Salafisten (HoGeSa) yang baru muncul di Jerman belakangan ini dengan English Defence League (EDL), sebuah kelompok anti-Salafi yang lahir di Luton, Inggris, pada tahun 2009. Keduanya sama-sama berperang melawan Islam radikal. Baik HoGeSa maupun EDL sama-sama memusuhi kelompok Muslim garis keras.

Di balik tujuan yang sama itu, HoGeSa dan EDL tetap memiliki perbedaan. HoGeSa diyakini merupakan kedok yang digunakan kelompok Neo-Nazi untuk menghidupkan kembali ideologi fasis yang ditanamkan di Jerman oleh Adolf Hitler. EDL, sementara itu, adalah kelompok "anti-Islam garis keras" yang perlahan-lahan melenceng dari tujuan awal mereka. Dan hal tersebut ada hubungannya dengan sepakbola. EDL dijadikan kendaraan oleh para hooligan untuk menyalurkan nafsu mereka dalam melakukan tindak kekerasan.

Simak cerita kami sebelumnya bagaimana kelompok Neo-Nazi di Jerman menggunakan isu fobia-Islam sebagai kedok untuk memperkuat pergerakan kelompok neo-fasis: Hooligan Neo-Nazi dan Anti-Salafi.

Tidak pernah, pada awal pendirian EDL, Tommy Robinson berpikir untuk mengumpulkan orang-orang rasis yang membenci Muslim dalam sebuah kelompok. Tidak pernah pula para pengikut Robinson berpikir untuk memusuhi orang lain berdasarkan agama yang mereka anut saja.

Mereka benar-benar memegang teguh idealisme yang mereka anut. Jika tidak, tak mungkin ada Abdul Rafiq, seorang muslim asal Glasgow, di dalam EDL. Rafiq adalah Muslim pertama, dan hingga saat ini satu-satunya, yang bergabung dengan EDL. Mereka hanya tidak suka pengaruh kelompok-kelompok ekstrem Islam yang mereka anggap membahayakan karena bisa melakukan apa saja. Mereka tak membenci Islam, tapi memang sangat tidak suka agama digunakan untuk membenarkan jalan kekerasan yang mematikan.

“Jika lebih banyak Muslim seperti Anda, maka dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik,” adalah kalimat yang sering didengar oleh Rafiq dari para pengagumnya, sesama anggota EDL.

Namun itu adalah cerita lama. EDL kini sudah berbeda. Kelompok yang aktivitas utamanya, pada awalnya, adalah demonstrasi jalanan, kini lebih keras dari itu. EDL bahkan kini menyandang label sebagai kelompok Islamophobia. Tak hanya itu, mereka dipandang sebagai kelompok ekstremis sayap kanan.

Jelas ada yang berbeda antara Islamophobia dengan anti-Islam garis keras. Yang pertama, Islamophobia, selalu penuh curiga terhadap apa pun yang berbau-bau Islam. Bagi fobia ini, Islam identik dengan kekerasan, anti-demokrasi, dan serba mengancam. Titik. Sementara yang kedua, yang mulanya menjadi visi awal EDL, diniatkan hanya untuk memerangi kelompok-kelompok Islam garis keras yang siap melakukan apa saja, termasuk melakukan teror-teror kekerasan – sesuatu yang sebenarnya ada juga di setiap agama.

Robinson bahkan sampai terpaksa mengambil keputusan untuk meninggalkan kelompok yang ia dirikan. Robinson merasa bahwa EDL telah melenceng dari ideologi awal. EDL berpotensi menjadi gerakan ekstremis sayap kanan yang berbahaya, dan membayangkan hal tersebut saja membuat Robinson merasa ngeri.

“Saya menyadari bahaya dari aktivitas ekstremis sayap kanan dan apa yang dibutuhkan untuk melawan ideologi Islam garis keras bukanlah kekerasan, namun pemikiran yang lebih baik dan demokratis,” ujarnya dalam konferensi pers saat mengumumkan keputusannya untuk meninggalkan EDL.

Salah satu bukti paling kuat dari penyimpangan ideologi yang terjadi di EDL adalah Anders Breivik. Breivik adalah pelaku dua serangan teror di Norwegia pada tahun 2011. Serangan pertama, teror bom di kantor pemerintahan Norwegia menewaskan delapan orang. Breivik melancarkan aksi kedua tanpa bahan peledak. Ia menggunakan senjata api dan merenggut nyawa 69 orang di kamp pemuda pemuda Det norske Arbeiderparti (Partai Buruh Norwegia). Breivik mengaku bahwa EDL adalah inspirasinya, dan para pemuka EDL terang-terangan memberikan dukungan kepada Breivik.

EDL sendiri merupakan bagian dari kelompok ekstremis internasional yang menjadikan orang-orang Muslim sebagai target serangan mereka. Aktivitas ini dikenal luas dengan nama counter-Jihad, menyerang kelompok ekstrem dengan tindakan ekstrem. Kurang lebih sama dengan strategi Gegenpressing yang dimainkan oleh Jürgen Klopp di Borussia Dortmund.

Pergeseran ideologi yang dialami oleh EDL sendiri sebenarnya adalah buah dari kesalahan-kesalahan mereka pada masa lalu, di awal kemunculannya, EDL mendirikan banyak cabang di kota-kota lain seperti London, Bristol, Portsmouth, Southampton, Derby, bahkan Cardiff. Para pengurus tingkat kota adalah anggota kelompok suporter di kota-kota yang bersangkutan.

Pada akhirnya, semakin banyak saja suporter sepakbola garis keras yang bergabung dengan EDL. Dengan mudah EDL menerima anggota baru karena mereka sendiri memang membutuhkan banyak orang. “Untuk berperang, Anda membutuhkan sebuah pasukan,” kata seorang pemuka EDL yang menolak untuk memberi identitas kepada the Guardian.

Para hooligan pun berbondong-bondong masuk bukan semata karena merasa memiliki pandangan yang sama dengan EDL, namun karena mereka merasa memiliki wadah baru untuk melakukan tindak kekerasan. EDL membutuhkan banyak orang, dan hooligan memerlukan wadah baru untuk melakukan kekerasan. Simbiosis mutualisme ini membuat jumlah anggota EDL terus bertambah dalam waktu singkat.

Ketika aksi serangan terhadap kelompok suporter lawan sudah tak bisa lagi dilakukan karena tingkat penjagaan keamanan begitu tinggi, mereka mencari cara lain untuk menularkan nasfu melakukan kekerasan. Berkedok anti-Salafi, para hooligan terus beraksi.

Komentar