Annie Zaidi: Perempuan, Muslim, dan Asia yang Mencetak Sejarah di Sepakbola Inggris

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Annie Zaidi: Perempuan, Muslim, dan Asia yang Mencetak Sejarah di Sepakbola Inggris

Soal perempuan di sepakbola Inggris, Chelsea memiliki Sang Perempuan Besi, Marina Granovskaia, dan dokter kesebelasan, Eva Carneiro. Leicester tak mau kalah. Annie Zaidi, salah satu pelatih mereka, adalah pencetak sejarah.

Pemilik lisensi kepelatihan UEFA B ini adalah perempuan Muslim pertama yang menjadi pelatih di kesebelasan profesional Inggris. Perjalanan yang ditempuhnya, bagaimanapun, tidak mudah. Untuk berada di tempatnya berdiri saat ini, Annie melewati jalan panjang yang berliku dan tentunya berat dijalani.

Annie dan sepakbola mulai menjalin hubungan erat ketika Annie, anak pertama dari lima bersaudara, menderita penyakit eksema. Annie tidak memiliki banyak teman karena penyakit kulit yang ia derita sehingga Annie, yang sedari awal memang menyukai sepakbola, banyak menghabiskan waktu dengan bermain sepakbola bersama ketiga adik laki-lakinya. Hanya itu yang dapat Annie lakukan karena saat itu, seorang anak perempuan tidak dapat membela kesebelasan sekolah yang berisi, seluruhnya, anak laki-laki.

Sembuhnya Annie dari penyakit yang ia derita membuatnya kembali dapat berinteraksi dengan nyaman. Namun cintanya kepada sepakbola tidak ia tinggalkan. Annie yang tumbuh besar di Ipswich dan Nuneaton mendukung Arsenal dan, ketika tidak menghabiskan waktunya dengan bermain sepakbola, Annie menonton rekaman pertandingan.

Keluarga Annie yang berasal dari Pakistan adalah pemeluk Islam yang taat. Namun ketaatan beragama tidak membuat mereka buta. Annie tetap mendapat dukungan penuh keluarga untuk terlibat di dunia sepakbola selama ia tetap menutup auratnya. Dan memang tidak pernah terpikir oleh Annie, yang memandang sepakbola sebagai agama kedua, untuk melepas kerudungnya.

"Bagi saya," ujar Annie, "kerudung bukan hanya bagian dari pakaian saya. Kerudung menandakan banyak hal kepada orang lain."

Kemudahan yang ia dapatkan di keluarganya, toh, tidak ia rasakan di masyarakat. Fakta bahwa Pakistan adalah kelompok etnis terbesar di antara kelompok imigran di Inggris pun tidak banyak membantu. Sulit bagi seorang perempuan untuk bekerja di dunia sepakbola yang didominasi laki-laki. Tantangan ini lebih besar lagi bagi Annie karena ia juga seorang Muslim, dan muslim yang benar-benar menunjukkan keislamannya.

Di Inggris Raya, ada sebuah kelompok islamophobia bernama English Defense League. Pada awal pendiriannya, EDL adalah kelompok penentang kelompok Islam garis keras. Mereka bahkan memiliki seorang anggota yang beragama Islam, karena yang mereka perangi adalah kekerasan yang mengatasnamakan agama, bukan agamanya itu sendiri.

Namun pada praktiknya, EDL menyimpang. Mereka berubah menjadi kelompok islamophobia yang sering melakukan tindak kekerasan. Tommy Robinson, pendiri EDL, bahkan sampai meninggalkan kelompok yang ia dirikan karena sudah tidak lagi sesuai dengan ideologi yang ia tanamkan. Tak berhenti sampai di situ, EDL pun mulai bersentuhan dengan sepakbola.

Para Hooligan yang sudah tidak dapat beraksi seperti dahulu karena peningkatan keamanan di pertandingan-pertandingan sepakbola dewasa ini melihat EDL sebagai wadah untuk menyalurkan sifat liar mereka. EDL pun menjadi kedok mereka untuk menghalalkan segala jenis kekerasan.

Dengan adanya kelompok sayap kanan yang sudah bersentuhan dengan sepakbola, dapat dibayangkan bagaimana sulitnya Annie menikmati dunia yang ia cintai. Pernah ia merasa ingin menyerah karenanya, namun ia selalu berhasil membuang jauh godaan tersebut dan, dalam beberapa kesempatan, menyerang balik dengan anggun.

"Sepakbola sejak dulu memang dikenal sebagai olahraganya laki-laki, kan? Perempuan tidak diizinkan terlibat," ujar Annie. "Saya seringkali disangka resepsionis, bukan pelatih. Di sebuah kesebelasan, saya diperkenalkan kepada seorang manajer yang sudah berbicara dengan saya lewat tetefon. Ketika saya berjumpa tatap muka dengannya, ia berkata: Ã?â??Oh, saya tidak menyangka Anda orang Asia. Di telefon, Anda tidak terdengar seperti orang Asia.Ã?â?? Saya, sebagaimana wajarnya saya, membalas, Ã?â??ya, Anda terdengar sangat tampan di telefon, tapi aslinya tidak.Ã?â?? Kita harus berkulit tebal. Tidak bisa hal seperti itu diterima begitu saja. Perjalanan kita masih panjang, namun kita melangkah ke arah yang benar."

Annie memulai karir kepelatihannya ketika menjalani program kerja praktik sebagai bagian dari pendidikan tingkat masternya di Coventry. Annie yang ditempatkan di Newcastle Ã?â??" yang saat itu memiliki banyak pendukung British National Party, partai politik sayap kanan Inggris. Kecintaan Annie kepada sepakbola membuatnya memberanikan diri melamar sebagai pelatih di kesebelasan setempat.

Ia diterima oleh kesebelasan. Namun para pemain tidak. Annie berusaha membaur dengan pemainnya agar dapat diterima. Namun mereka mengasari Annie. Ia tetap sabar dan berusaha. Pada akhirnya, para pemain menerima dan menyukainya. Di pekan kelima dari dua belas pekan kontraknya, kesebelasan mendapat beberapa pemain baru yang mulai menyerang Annie dengan kata-kata berbau rasisme. Para pemain lama membela Annie.

"Saat itulah saya menyadari bahwa sepakbola lebih dari sekedar olahraga, sepakbola adalah alat untuk meruntuhkan hambatan," kenang Annie. "Di akhir, saya merasa kuat. Di pekan ke-12, saya Coach Annie, dan itulah yang saya inginkan. Coach Annie, begitulah mereka memanggil saya dalam aksen Geordie yang indah. Ini brilian."

Setelah meninggalkan Newcastle untuk kembali ke Coventry, Annie menyelesaikan pendidikannya dan mulai menjalani kursus kepelatihan. Pada 2008, Annie meraih lisensi kepelatihan FA level 1. Setelahnya ia mengejar level 2 dan level 3.

Impiannya menjadi manajer pun terwujud. Ia menangani kesebelasan Sunday League Coventry. Namun lagi-lagi, menjadi manajer tidak membuatnya berhenti mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Selama tiga tahun menjadi manajer Coventry, banyak perlakuan rasis dan seksis yang diterimanya.

"Sempat orang-orang menanyakan tanda pengenal, untuk memeriksa apakah saya benar-benar manajer. Itu pelecehan, namun saya tutup mulut dan berlalu. Saya dapat menerimanya," ujar Annie.

Meninggalkan Coventry, nasib Annie membaik setelah bertemu dengan Wallace Hermitt, salah satu pendiri Black Asian Coaches Association.

anne1

"Ia melihat potensi ketika orang-orang tidak melihatnya," ujar Annie. "Orang-orang bilang kalau mimpi saya akan tetap jadi mimpi karena citra saya; seorang perempuan Muslim berkerudung. Namun ia melihat potensi saya. Ia bilang ketika membicarakan sepakbola, mata saya berbinar."

Bersama Wallace, Annie mendapat pekerjaan di FA tingkat County, dapat lisensi kepelatihan UEFA B, dan bekerja sebagai pelatih di kesebelasan profesional.

Annie melatih di Brixton, kesebelasan tempatnya diterima sebagai pelatih. Di sana ia tidak dipandang sebagai seorang perempuan Muslim, namun seorang pelatih sepakbola yang kompeten. Brixton, menurut Annie, adalah rumah di luar rumah.

Setelah 18 bulan di Brixton, dan mendapat bayaran besar, datang tawaran dari Leicester City pada Oktober tahun lalu. Leicester tidak mampu membayar Annie semahal Brixton namun Annie menerima pekerjaan yang ditawarkan kepadanya.

Di Leicester, Annie menemukan kebahagiaan baru. Ia senang melatih kesebelasan perempuan U-11 karena itu membuatnya merasa menjadi bagian dari masa depan sepakbola perempuan Inggris. Namun berkarir di kesebelasan Premier League tidak membuatnya berhenti berusaha. Annie masih bermimpi dapat melatih di kesebelasan pria senior. Tepatnya di Arsenal, kesebelasan favoritnya.

Sumber utama cerita ini adalah hasil wawancara Gemma Peplow dengan Annie Zaidi, yang dimuat di laman Leicester Mercury.

Komentar