Penjualan Welbeck dan Ironi Rivalitas Mancunian vs Scouser

Cerita

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Penjualan Welbeck dan Ironi Rivalitas Mancunian vs Scouser

“My greatest challenge is not what is happening right at this moment, my greatest challenge was knocking Liverpool right off their f*cking perch. And you can print that.”

Itulah yang dikatakan Sir Alex Ferguson ketika ditanya tentang masa depannya di Manchester United pada 2002. Saat itu United sudah meraih trofi Liga Premier yang ke-12 dari total 20 buah yang akhirnya berhasil ia raih. Pada musim 2010/2011, rekor Liverpool akhirnya bisa disalip. Tim asal Merseyside itu mentok di 18 trofi Liga Inggris. Dua dekade lebih lamanya, terakhir meraih trofi pada 1990, mereka dibuat menderita dan harus menonton rivalnya meraih trofi demi trofi.

Rivalitas United vs Liverpool memang sudah banyak diketahui orang. Rivalitas yang usianya sudah panjang ini bahkan bisa membuat para fans United tidak terlalu bersedih melihat rival sekotanya, Manchester City, musim lalu sukses menggondol gelar juara. Setidaknya, demikianlah kira-kira, bukan Liverpool yang juara. Itu sudah melegakan bagi mereka.

Ini situasi simalakama yang tak menyenangkan. Bagi seorang ambisius dengan syahwat mengendalikan segalanya (control freak) seperti Fergie, City atau Liverpool yang juara sama-sama hal yang tak bisa ditolerir. Tapi musim lalu Fergie sudah tak duduk di bench. Dia kini duduk di tribun, tak lagi sebagai manajer.

Dan inilah, seiring kepergian Fergie, arus sejarah seperti kembali bergerak, dan perubahan pun mulai terlihat. Ironi demi ironi mulai bermunculan dengan puncaknya pada musim ini.

Saat United terjun bebas ke peringkat tujuh di musim lalu, dan berakibat gagal masuk Liga Chamions, di saat yang bersamaan Liverpool malah bermain lagi di Liga Champions setelah absen selama tiga musim berturut-turut.

Tapi ironi tak berhenti hanya di situ. Ada ironi lainnya: musim ini United harus dipimpin seorang Scouser, ia adalah sang kapten, Wayne Rooney. Rooney lahir di Croxteth, Liverpool, 28 tahun yang lalu. Ia seorang fans Everton dan juga pemain akademi Everton. Meskipun kenyataan mengatakan bahwa ia membenci Liverpool, ia tetap saja adalah seorang Scouser.

Scouser adalah sebutan untuk dialek dan/atau orang-orang yang lahir dan besar Liverpool. Para Mancunian, sebutan untuk dialek dan/atau orang-orang yang lahir dan tumbuh Manchester, memang punya cerita yang tak hangat dengan Scousers. Rivalitas United dan Liverpool, sebagaimana sudah diulas oleh ribuan tulisan, berakar panjang dalam sejarah pertumbuhan dua kota ini. Dan persaingan itu, di lapangan hijau, direpresentasikan oleh perseteruan United vs Liverpool, dua tim tersukses di Liverpool dan Manchester sekaligus tersukses di Inggris, dan bukan persaingan Manchester City vs Liverpool atau Everton vs United. Tidak heran jika yel-yel anti Scouser menjadi hal yang jamak di telinga para penghuni kursi-kursi di Old Trafford [ini akan diuraikan di bagian akhir tulisan].

Gary Neville niscaya menggaruk-garuk kepalanya jika lima tahun lalu ditanya kemungkinan seorang Scouser akan menjadi kapten tim para Mancunian.

Tapi soal Scouser jadi kapten ini baru satu hal ironis, ada hal lain yang juga ironis di jam-jam terakhir deadline transfer pemain: salah seorang Mancunian yang sudah bermusim-musim bermain reguler di tim utama United, malah pindah ke rival lainnya di London, Arsenal.

Berikutnya: Welbeck dan Identitas Mancunian

Komentar