"Persahabatan" Sepakbola dan Tragedi di Mesir

Berita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Berdasarkan laporan Al Jazeera, setidaknya 40 orang meninggal dunia, setelah kerusuhan pecah di Stadion Pertahanan Udara di Kairo. Berdasarkan saksi mata, polisi menembak langsung ke arah mereka dengan senjata api dan amunisi yang terisi penuh. Puluhan orang dirawat di rumah sakit karena menderita luka berat.

Kejadian tersebut terjadi sebelum laga antara Zamalek FC menghadapi rival sekota, ENPPI. Penggemar Zamalek FC berduyun-duyun menyaksikan pertandingan sepakbola. Namun, ada yang aneh dengan kondisi stadion saat itu. Jelang pintu masuk, dua lapis kawat berduri dipasang, menyisakan sepetak luas yang berisi aparat kepolisian.

Sejak revolusi Mesir pada 2011 silam, sudah menjadi hal yang biasa bagi warga Mesir melihat aparat bersenjatakan lengkap termasuk dengan laras panjang untuk perang. Namun, “hal yang biasa” ini pada akhirnya menjadi tragedi yang mengerikan.

Awalnya, suporter yang sudah memegang tiket dipersilakan masuk ke dalam petak berkawat duri tersebut. Namun, mereka tertahan di sana karena polisi menutup akses menuju pintu gerbang, yang jaraknya hanya beberapa meter di depan mereka.


Area di antara kawat berduri (Sumber gambar: bbc.co.uk)

Lelah menunggu, beberapa penggemar mulai “menyakiti” dirinya sendiri dengan mendorong tubuhnya ke arah kawat berduri. Sensitifitas yang tinggi, membuat polisi bertindak cepat. Mereka merasa kalau penggemar akan berbuat kerusuhan. Polisi pun melepaskan gas air mata ke arah suporter. Sekitar 10 menit kemudian, tubuh-tubuh bergelimpangan di area tersebut.

Kementrian Dalam Negeri yang membawahi kepolisian mengatakan bahwa kematian tersebut terjadi karena ulah suporter sendiri. Mereka datang tanpa tiket, sehingga aparat kepolisian terpaksa melakukan tindakan pencegahan dengan menembakkan gas air mata.

“Mereka mencoba membobol pintu stadion, maka pihak keamanan pun menghentikannya,” rilis Kementrian Dalam Negeri seperti dikutip The Guardian. Atas kejadian ini, Pemerintah Mesir menunda pertandingan sepakbola nasional dalam jangka waktu yang tak terbatas.

Namun, cerita sebenarnya tidak berhenti sampai di situ. Ada yang menganggap, ini merupakan aksi balas dendam aparat karena aksi revolusi pada 2011 yang menjatuhkan Hosni Said Mubarak.

Aksi Balas Dendam

Sejumlah ultras Mesir kala itu bersatu menentang pemerintah. Tindakan anarkis tersebut terjadi karena mereka tak puas dengan pemerintahan Mubarak yang kala itu didukung militer.

Ultras Mesir aktif dalam menggiatkan demonstrasi anti-Husni. Mereka dikenal dengan kelompok pro-revolusi. Tentu saja, kepemimpinan selama 30 tahun sejak 1981, menghadirkan kelompok setia terhadap pemerintahan yang menentang revolusi. Kelompok ini jelas berada di kalangan militer yang diuntungkan atas jabatan Hosni sebagai presiden.

Demonstrasi selama 18 hari di Alun-Alun Tahrir berhasil menurunkan Hosni. Rezim militer pun terguncang karena presiden baru, yang dipilih langsung, berasal dari lawan politik, Ikhwanul Muslimin, yang memunculkan Mohamed Morsi sebagai presiden.

Militer masih memegang kendali. Mereka masih merasa sakit hati atas revolusi di Alun-Alun Tahrir tersebut. Setahun setelah revolusi, 70 pendukung Al Ahly yang pro-revolusi terbunuh dalam kekacauan di Port Said.

Saat itu, aparat menyalahkan kematian itu terjadi karena bentrokan dengan suporter tival. Namun, kelompok suporter Al Ahly yakin kalau mereka menjadi target balas dendam aparat. Namun, polisi menyangkal, tentu saja.

Menembak Langsung


Penonton yang punya tiket (Sumber: bbc.co.uk)

Penyintas (survivor) dalam kejadian semalam mengklaim kalau polisi dengan sengaja mengarahkan moncong senjata kepada penggemar Zamalek yang nyatanya memiliki tiket.

Isu balas dendam ini kian kencang karena pendukung garis keras Zamalek sama seperti Al Ahly yang juga pro-revolusi. Selain itu, penggemar juga sebelumnya bersitegang dengan pemilik Zamalek, Mortada Mansour, yang merupakan seorang kontra-revolusi. Ia amat benci pada revolusi, juga ultras Zamalek.

Sejumlah saksi mata menyesalkan serangan tak berasan polisi ini. Orang-orang yang berada di area kawat berduri adalah mereka yang mengacungkan tiket tinggi-tinggi.

Amr misalnya, ia selamat dari tembakan shotgun polisi yang diarahkan ke dadanya. Amr menyatakan bahwa sekitar 1000 penggemar terjebak ke dalam jalur sempit menuju pintu masuk stadion. Amr, dan penggemar lainnya mengacungkan tiket. Namun, mereka dilarang masuk setelah polisi menutup gerbang dengan kawat berduri.

“Kami berdiri begitu lama, dan orang-orang melukai diri sendiri pada kawat berduri,” kata Amr kepada The Guardian, “Kami terjebak di dalam dan orang-orang mulai bergerak dan berteriak. Polisi menganggap kami mencoba untuk membuat masalah sehingga mereka menembakkan gas air mata.”

Dari arah luar, tembakan gas air mata dibalas dengan kembang api. Polisi pun kian liar karena diselimuti emosi. Pembantaian itu dimulai setelah polisi mulai menembakkan senjata api.

Orang-orang yang ada di area kawat berduri, mulai berlarian tanpa arah. Mereka tidak tahu harus ke mana. Sialnya, polisi tak menghentikan tembakan.

“Tidak ada yang berdiri lagi,” kata Saad Abdelhamid, salah seorang penyintas, “Di atas tanah hanya ada tubuh dan mayat yang bergelimpangan. Orang-orang yang mencoba masuk ke area kawat berduri untuk menyelamatkan kami, malah ditembaki.”


Beraksi! (Sumber gambar: bbc.co.uk)

Kerusuhan kian meluas setelah penggemar merespon kejahatan tersebut dengan lemparan batu dan kembang api. Saat bus Zamalek tiba, mereka menyergapnya, meminta perhatian. Namun, upaya ini malah menghadirkan kerusuhan lain.

Dari video yang tersebar di media sosial, terlihat bagaimana polisi menembak langsung ke arah massa yang terjebak.

Saad mengatakan kalau kerusuhan ini merupakan balas dendam untuk mereka yang melakukan revolusi, “Mengapa harus ada kawat berduri? Mengapa gas air mata? Mengapa kembang api? Mengapa Anda (polisi_ merespon kembang api dengan amunisi?”

Dalam wawancara dengan The Guardian salah seorang penyintas berkata seperti ini, “Saat aku berbalik, gas air mata tepat mendarat di wajahku. Darah mengucur dari hidung saat polisi menyerangku dengan popor senapan. Dia berkata ‘Kami harus membersihkan the square dari kalian hari ini.”

Setelah kejadian tersebut, sejumlah tank disiagakan di Alun-Alun Tahrir. Mungkin sebagai bentuk jaga-jaga andai protes kembali terjadi. Uniknya, pertandingan antara Zamalek dan ENPPI tetap dilanjutkan. Ya, siapa pula yang peduli?

Sepakbola di Mesir menjadi demikian berdarah dalam beberapa tahun terakhir ini. Belum terlalu lama puluhan suporter al-Ahly tewas di Port Said, kurang dari lima tahun, kini puluhan nyawa suporter sepakbola kembali melayang.

Sepakbola, rasa-rasanya, sangat akrab dengan sepakbola Mesir. Begitu mudahnya nyawa suporter terbuang sia-sia di sana. Dan itu terjadi dalam jumlah yang tidak bisa dianggap sepele. Jangankan puluhan, satu saja nyawa melayang itu sudah terlalu berarti dan sudah kelewat mahal.

Sepakbola terlalu mahal harganya jika mesti ditukar dengan nyawa. Tidak ada satu pun pertandingan, bahkan atas nama rivalitas sekali pun, yang boleh seharga nyawa. Sebab nyawa memang tak ada harganya, karena nyawa tak bisa ditukar dengan apa pun.

==========

Diolah dari laporan BBC, Al JAzeera, dan The Guardian.

Sumber gambar: bbc.co.uk

Komentar