Swakelola Klub Alternatif dan Semakin Sempitnya Ruang Untuk Merayakan Sepakbola

Cerita

by Aldito Ilham

Aldito Ilham

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Swakelola Klub Alternatif dan Semakin Sempitnya Ruang Untuk Merayakan Sepakbola

Kebobrokan manajemen klub serta sikap acuhnya PSSI terhadap suporter dan sepakbola akar rumput membuat sebagian suporter memobilisasi kemuakannya. Juga Mahalnya harga tiket, akses untuk menonton sepakbola semakin dibatasi, serta larangan-larangan lainnya dari tidak boleh menyalakan flare hingga tidak boleh membawa makanan ke dalam stadion menebalkan bahwa semakin hari industri sepakbola tidak berpihak kepada suporter.

Dari situ kita bisa melihat bahwa sikap kritis suporter dilancarkan dalam berbagai aksi protes dengan berbagai macam bentuk. Dari aksi protes langsung ke manajemen klub, boikot pertandingan yang dilakukan suporter ketika harga tiket melambung tinggi, hingga sampai ke tingkatan beberapa kelompok suporter membentuk klub-klub alternatif.

Di bumi sebelah barat sana sudah ada banyak berbagai macam klub sepakbola alternatif. Seperti punk F.C. United of Manchester yang muak atas keserakahan Glazzers, identitas sosialisme yang diusung oleh Red Star F.C, afinitas yang membidani klub antifa Clapton CFC hingga upaya redefinisi Wolfgang Natcalen atas sepakbola lewat unit seni kontemporer A.S. Velasca di Milan. Secara garis besar klub- klub di atas berjalan atas dasar kemuakan atas aturan-aturan dan industri sepakbola dominan untuk para segelintir elit. Sehingga lewat klub-klub alternatifnya mereka ingin bebas mengekspresikan, mengelola dengan mandiri, hingga membuat aturan-aturannya sendiri.

Riverside Forest adalah salah satu klub yang lahir dari sekelompok suporter di Bandung. Mereka lahir bukan untuk mengeruk nilai lebih seperti klub-klub profesional lainnya. Hingga saat ini Riverside Forest bisa dikatakan antitesa dari sebuah klub profesional. Itu terlihat jelas ketika klub dikelola secara kolektif dan kebijakan klub ditentukan bersama-sama oleh suporternya. Sederhananya, suporter adalah pemegang suara tertinggi. Klub adalah bagian dari suporter.

Kolektif, transparansi dan sistem voting adalah tiga unsur penting di Riverside Forest. Semangat kolektif inilah yang membuat segelintir orang atau individu tidak bisa jor-joran mendanai dan menyetir klub. Misal saja, tidak bisa orang dengan berkoper-koper uang lalu dengan seenaknya mengubah kebijakan dan aturan klub atau mengeruk keuntungan di Riverside Forest. Maka dari itu kolektif inilah adalah esensi dan pondasi dari Riverside Forest.

Dari kolektif terciptalah transparansi. Masuk dan keluarnya uang operasional Riverside Forest dibuka secara terang-terangan dan detail. Misal saja pemasukan penjualan jersei dan merchandise selama satu bulan tercatat dengan detail. Lalu pengeluaran untuk operasional menyewa lapangan, denda kartu merah hingga laundry dihitung dan dibeberkan di media sosial secara terbuka. Jadi laporan keuangan dari bulan ke bulan bisa dilihat oleh siapapun. Tanpa ada laporan operasional yang harus ditutup-tutupi.

Dua unsur tersebut dilengkapi oleh sistem voting. Sistem voting merupakan garda terdepan jika klub ingin menentukan arahnya secara teknis maupun non-teknis. Sistem voting ini pada akhirnya menentukan ke mana klub harus berjalan, bagaimana klub harus bersikap, dengan siapa klub harus bekerja sama, di mana klub harus bertanding dan lain-lainnya. Lalu siapa yang menjadi voters? Ya suporter, pemain, pelatih, tukang merchandise, tukang laundry dari Riverside Forest sendiri. Karena mereka semua yang terlibat mempunyai hak untuk bersuara dan memberikan pendapat.

Kurang lebih dua tahun Riverside Forest berdiri mereka sudah mengikuti beberapa kompetisi. Dari liga yang digelar Bandung Premier League hingga mengorganisir sendiri kompetisi bersama klub-klub alternatif dari kota-kota lainnya. Sampai pada akhirnya Riverside Forest dilarang untuk mengikuti berbagai macam kompetisi lokal dikarenakan alasan yang tidak masuk akal: suporter mereka yang hadir dalam pertandingan terlalu banyak. Dari situ perizinan untuk menggelar kompetisi kecil-kecilan dipersulit oleh pihak federasi dan keamanan. Belum lagi masalah lapangan atau ruang untuk bermain sepakbola yang semakin menyempit.

Dari hari ke hari penyempitan dan hilangnya ruang di kampung kota semakin terlihat dan terasa. Seperti contohnya Kota Bandung yang digempur praktik penggusuran kampung kota dalam beberapa tahun terakhir. Kampung Tamansari yang tadinya adalah rumah warga digusur oleh pemerintah kota untuk dijadikan rumah deret. Begitu juga warga Kampung Dago Elos yang saat ini sedang mempertahankan ruang hidupnya dari rencana penggusuran. Dari situ Festival Kampung Kota hadir untuk berupaya mengaktivasi ruang, mengorganisir kawan-kawan dari lintas disiplin, untuk menjaga dan menemani warga agar tidak kehilangan ruang hidupnya.

Dari situ kita bisa melihat benang merah bahwa Riverside Forest dan klub-klub alternatif lainnya mempunyai permasalahan yang mirip dengan warga Dago Elos dan Tamansari. Mereka memerlukan ruang untuk bermain, mereka memerlukan ruang untuk hidup. Warga Dago Elos dipaksa untuk meninggalkan ruang hidupnya beserta sejarah dan budayanya, begitu juga Riverside Forest yang diredam tidak boleh merayakan sepakbola. Pada akhirnya mereka harus menentukan hidupnya sendiri tanpa ketergantungan dari pihak otoritas.

Jika Warga Dago Elos sampai saat ini tetap mempertahankan karena hak atas tanah, rumah dan sejarah di mana, bersama siapa dan bagaimana mereka hidup selama ini. Maka Riverside Forest dan klub-klub alternatif lainnya juga (dan memang seharusnya) berjejaring dan melakukan praktik-praktik untuk mengorganisir kompetisi/liga kecil, mengaktivasi lapangan/ruang dengan bermain dan merayakan sepakbola.

Komentar