Kemerosotan Leicester City

Analisis

by Bayu Aji Sidiq Pramono

Bayu Aji Sidiq Pramono

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kemerosotan Leicester City

Putaran roda di Liga Inggris terbilang cukup cepat. Prestasi mentereng pada satu musim tidak selalu berbanding lurus dengan hasil musim-musim berikutnya. Konsistensi adalah syarat mutlak agar dapat terus bersaing, bukan hanya pembising. Satu-satunya waktu yang bisa dirayakan adalah momen ketika duduk di puncak klasemen setelah bertarung 38 pekan. Maka tidak heran jika tidak banyak tim yang mampu mempertahankan gelar dalam dua hingga tiga musim berturut-turut. Tidak termasuk Leicester City.

Bergabung dengan kasta tertinggi sepakbola Inggris pada musim 2014/2015, lalu merebut gelar juara pada musim berikutnya tentu prestasi yang mudah diakui. Tapi apa yang terjadi setelah itu? hanya penggembira di papan tengah meski sempat disebut sebagai calon anggota baru “The Big Six”. Padahal, setelah juara, prestasi terbaik Leicester City hanya musim 2020/2021 dengan duduk di peringkat kelima.

Liga Inggris musim 2022/2023 memasuki pekan ke-36, namun masih ada enam tim yang berusaha terhindar dari degradasi termasuk Leicester City. Tim besutan Brendan Rodgers tersebut duduk di peringkat ke-18 dan hanya mengumpulkan 30 poin dari 35 pertandingan. Mereka masih harus bersaing dengan Southampton, Leeds United, Everton, Nottingham Forest, dan West Ham United untuk menjauh dari zona degradasi. Sembilan musim berjuang di Liga Inggris, Leicester City untuk pertama kalinya terancam degradasi.

Satu-satunya cara paling aman adalah dengan memenangkan tiga laga sisa. Misi ini berat karena mereka masih akan menjamu Liverpool pada pekan ke-39. Setelah itu bertandang ke St James’ Park lalu menjamu West Ham United pada pekan pamungkas. Dua dari tiga calon lawan adalah dua tim yang berebut tiket Liga Champions. Sementara The Hammers juga sedang merangkak menjauhi zona degradasi. Tidak ada lawan yang mudah untuk The Foxes.

Sejak awal musim, kemerosotan Leicester City sudah terindikasi dengan cukup jelas. Mereka tidak pernah menang dalam tujuh pertandingan awal. Parahnya, kebobolan 22 gol. Situasi ini tentu sangat memprihatinkan bagi tim yang tujuh musim sebelumnya berstatus sebagai juara.Bahkan selama diasuh Brendan Rodgers, musim ini adalah pertama kalinya Leicester City finish di luar sembilan besar. Lalu, apa yang terjadi dengan The Foxes? dari sang juara hingga sekarang hanya berduel di papan bawah.

Baca Juga:

Juara La Liga (Bukan) Tanda Kebangkitan Barcelona

Pola Rekrutmen Tidak Efektif

Leicester City tidak memiliki keleluasaan finansial seperti tim besar seperti Manchester City, Manchester United, atau Chelsea. Hampir tidak mungkin mereka rela merogoh kocek ratusan juta dalam satu jendela transfer. Lebih mungkin mereka “mengobral” para pemain nya untuk dapat menyeimbangkan pembukuan keuangan. Terbukti dalam lima tahun terakhir, Leicester City merupakan tim dengan belanja bersih (net spend) keempat terendah diantara 20 tim yang berkompetisi di Liga Inggris musim 2022/2023. Oleh karena itu, pola rekrutmen menjadi bagian penting agar mereka bisa bertahan di kasta tertinggi sepakbola Inggris setiap musim.

Sumber : CIES Football Observatory

Jika kita tarik mundur ke masa kejayaan Leicester City, musim 2015/2016 diawali dengan pola rekrutmen yang tepat sasaran. Pada musim tersebut, tim yang saat itu ditukangi oleh Claudio Ranieri menghabiskan 49,9 juta Euro untuk merekrut tujuh pemain. Pembelian termahal adalah Shinji Okazaki yang direkrut dari FSV Mainz 05 dengan harga 11 juta Euro. Hampir semua pemain baru memberi kontribusi. Tapi, N’Golo Kante menjelma menjadi bintang baru meski baru didatangkan dari SM Caen dengan harga sangat terjangkau, 9 juta Euro. Leicester City sebelumnya telah memiliki Jamie Vardy dan Riyad Mahrez. Tapi keputusan merekrut Kante melengkapi pilar-pilar yang menjadi tulang belakang Si Rubah hingga akhir musim.

Setelah itu, tidak banyak pemain rekrutan Leicester City yang memberi kontribusi besar terhadap tim. Total ada 34 pemain yang dibeli pasca juara dengan menghabiskan biaya sebesar 569,85 juta Euro (musim 2016/2017 hingga 2022/2023). Tapi coba sebutkan pemain yang memiliki kontribusi besar terhadap tim. Di kepala anda pasti hanya terbesit dua nama yaitu James Maddison dan Youri Tielemans.

Kegagalan pola rekrutmen Leicester City dimulai ketika mereka gagal mencari pengganti ideal N’Golo Kante yang hengkang pasca juara. Wilfred Ndidi dan Nampalys Mendy yang didatangkan dari hasil penjualan Kante gagal memenuhi ekspektasi sehingga kedua pemain ini bermain kurang dari 20 pertandingan. Sementara pos yang ditinggalkan Kante diisi oleh Danny Drinkwater. Namun, atribut dan kapabilitas Drinkwater tidak se-lengkap Kante sehingga lini tengah The Foxes bolang di berbagai aspek. Tidak heran jika pada musim tersebut mereka hanya duduk di peringkat ke-12.

Situasi diperparah ketika Riyad Mahrez hengkang ke Manchester City musim 2018/2019. Mahrez yang menjadi tandem sempurna Jamie Vardy membuat lini depan The Foxes menumpul. Terbukti mereka hanya mencetak 51 gol dari 38 laga dan finish di peringkat kesembilan. Setelah Mahrez pergi, beberapa pemain didatangkan untuk mempertajam lini depan. Namun, sejauh ini belum ada yang sebanding dengan kontribusi Mahrez ketika berseragam Leicester City.

Kendati demikian, ada satu prestasi Leicester City dalam transaksi pemain, yaitu menjual Harry Maguire ke Manchester United dengan harga 87 juta Euro.

Baca Juga:

DNA Eropa

Ketergantungan Pemain

Salah satu masalah yang sering ditemui pada tim yang belum berpengalaman di liga level tertinggi adalah ketergantungan terhadap pemain tertentu. Kondisi ini membuat tim tersebut sulit konsisten karena performa tim bergantung pada performa pemain andalan. Ada beberapa pelatih yang mampu memanfaatkan pemain tersebut dengan efisien. Ia mampu membuat tim bermain di sekitar pemain-pemain andalan tersebut. Namun secara umum, tim yang hanya mengandalkan beberapa pemain saja sulit menjaga konsistensi. Masalah ini timbul sebagai dampak lebih lanjut ketika gagal menerapkan pola rekrutmen yang efektif.

Masalah ini juga sebetulnya terjadi di Leicester City, bahkan ketika mereka merebut gelar juara. Musim tersebut menjadi musim anomali karena The Foxes merebut gelar juara dengan hanya mengumpulkan 81 poin. Catatan tersebut menunjukan bahwa mereka hanya memperoleh rata-rata 2,13 poin per pertandingan.

Setidaknya ada empat pemain kunci pada musim tersebut yaitu Kasper Schmeichel, N’Golo Kante, Riyad Mahrez, dan Jamie Vardy. Schmeichel pada musim tersebut tercatat sebagai salah satu kiper dengan penyelamatan terbanyak (100 penyelamatan). N’Golo Kante berperan sebagai jenderal lapangan tengah. Sementara Mahrez dan Vardy menjadi pasangan paling mematikan dengan torehan 41 gol dan 17 asis dari kombinasi dua pemain tersebut. Selain empat pemain tersebut, Wes Morgan yang berperan sebagai kapten juga berkontribusi dalam menjaga mental rekan-rekan nya. Beruntung ketergantungan tersebut tidak banyak terkendala cedera.

Situasi ini terus berlanjut hingga tiga musim terakhir. Mereka sekarang bergantung pada Jamie Vardy, James Maddison, dan Youri Tielemans. Sayangnya, tiga pemain tersebut jarang sekali bermain bersama akibat cedera sehingga performa di lapangan selalu di bawah ekspektasi. Padahal, situasi ini seharusnya bisa diatasi andaikan mereka memiliki rekrutmen yang tepat sasaran seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.

Keterbatasan Finansial dan Dampak Pandemi

Brendan Rodgers musim ini menyadari bahwa Leicester City mengalami penurunan kualitas pemain. Di City Ground pada bulan Februari 2022, menyusul kekalahan “memalukan” timnya dari Nottingham Forest, Rodgers menyampaikan penilaian yang melemahkan pasukannya.

“Ada banyak pemain ini, antara sekarang dan akhir musim, yang perlu membuktikan bahwa mereka masih layak berada di sini karena kita sudah melihatnya sebentar,” katanya.

“Ada pemain di sini yang mungkin telah mencapai semua yang mereka bisa. Itu adalah sesuatu yang harus kita lihat antara sekarang dan akhir musim. Sampai saat itu, mereka harus melihat diri mereka sendiri di cermin dan berjuang mati-matian untuk membuktikan bahwa mereka cukup baik untuk berada di sini” pungkasnya.

Salah satu indikasi penyebabnya adalah kestabilan finansial yang goyah akibat pandemi COVID-19. Pandemi tentu menjadi keadaan kahar tidak hanya untuk sepakbola sebagai olahraga, tapi juga sebagai bisnis. Terlebih, King Power Group bergerak di sektor yang rentan terhadap situasi tersebut (retail, pariwisata, teater, restoran, hotel dan sebagainya).

Sumber : Deloitte Football Money League

Berdasarkan kajian dari Deloitte Money Football League, Leicester City mengalami penurunan pendapatan pada tahun 2020. Dari tahun 2018 hingga tahun 2019, Leicester CIty mengalami peningkatan pendapatan sebesar 23 juta Euro. Namun dari tahun 2019 ke tahun 2020 (tahun pertama pandemi) pendapatan klub turun 31 juta Euro. Meski terjadi peningkatan setelah pandemi mulai membaik, namun pada periode waktu tersebut membuat stabilitas keuangan Leicester City menurun.

Setelah Brendan Rodgers dipecat, misi berat ini ditanggung oleh Dean Smith. Di akhir bulan nanti, kita semua akan melihat apakah pelatih asal Inggris tersebut mampu membawa Leicester City bangkit, atau terpaksa turun kembali ke Divisi Championship.

Komentar