Kanjuruhan dan Jalan di Depan

Cerita

by redaksi

Kanjuruhan dan Jalan di Depan

Penulis: Miftakhul F.S, penikmat sepakbola Indonesia

Tak seharusnya seperti ini: kematian atau tragedi menggerakkan kita untuk melakukan perbaikan, menggerakkan kita untuk melahirkan aturan. Terlalu perih rasanya. Terlalu mahal nilainya. Kenapa harus menunggu kematian untuk melakukan perbaikan? Kenapa harus menunggu tragedi untuk membuat aturan?

Seharusnya, prosedur atau aturan lahir setelah memperhatikan banyak hal. Tercipta setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, termasuk kemungkinan-kemungkinan terburuk. Jadi, ketika aturan itu diterapkan, bisa meminimalisir terjadinya hal-hal buruk, seperti risiko kehilangan nyawa. Seharusnya, aturan itu lahir sebelum ada kejadian, bukan kebalikannya.

Tapi, ketika perbaikan atau sebelum ”terlahir kembali” harus melalui proses terberat dengan terbakar habis menjadi abu, mau bagaimana lagi? Jalan itu harus kita hadapi meski terasa begitu perih.

Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang merenggut nyawa lebih dari 130 jiwa itu harus kita hadapi. Tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan itu harus jadi pelajar berharga. Mau tidak mau, kita harus bergerak melakukan reformasi tata kelola pelaksanaan pertandingan, melakukan perbaikan, agar Tragedi Kanjuruhan tak terulang lagi di sepakbola Indonesia.

Perjalanan bangsa ini telah berulang kali memberi gambaran tentang itu. Salah satunya perubahan selepas Tragedi Paiton -di mana bus yang membawa rombongan siswa salah satu SMK di Sleman terbakar di wilayah Situbondo dan merenggut nyawa 54 pelajar- pada 2003. Karena Tragedi Paiton, wajah transportasi umum Indonesia berubah. Setiap kendaraan umum diharuskan menyediakan alat pemecah kaca dan alat pemadam kebakaran.

Sepakbola Indonesia pun serupa. Kepergiaan Choirul Huda -kiper yang begitu bersetia dengan Persela Lamongan- pada 2017 silam mengubah prosedur penanganan medis di pertandingan sepakbola Indonesia. Setelah kematian Choirul Huda, prosedur penanganan medis di lapangan sepak bola jauh lebih baik. Tindakan kepada pemain yang cedera di lapangan tak dilakukan secara asal. Pemain yang cedera tak buru-buru ditandu keluar lapangan.

Tim medis bakal melakukan pemeriksaan lebih detail. Jika cederanya serius, pemain tak langsung ditandu keluar lapangan, melainkan ditangani serius di lapangan. Kalau kondisi sudah memungkinkan, pemain yang cedera itu baru dibawa keluar lapangan atau bahkan dilarikan ke rumah sakit.

Penyiapan tim medis saat pertandingan jauh lebih serius. Di setiap pertandingan, minimal harus ada tiga ambulans di stadion. Dua di pinggir lapangan. Satu di luar stadion. Di setiap ambulans wajib dilengkapi alat pacu jantung dan oksigen.

Ketika setiap kesebelasan melakukan sesi coba lapangan sehari sebelum pertandingan, juga harus tersedia petugas medis plus ambulans. Pemandangan yang sebelumnya tak pernah terlihat. Dan semua prosedur itu mulai ditata selepas insiden meninggalnya Choirul Huda.

Seperti kepergiaan Choirul Huda, Tragedi Kanjuruhan harus jadi pelajaran. Tragedi kemanusiaan itu tak boleh terulang lagi. Jangan ada lagi kematian di sepakbola. Reformasi tata kelola penyelenggaraan pertandingan adalah hal wajib.

PSSI tak boleh abai dengan ini. Federasi sepak bola Indonesia harus membuat prosedur tetap (protap) penyelenggaraan pertandingan yang bisa membuat nyaman siapa saja yang datang ke stadion.

Apakah selama ini tidak ada protap? Prosedur itu sebenarnya sudah ada. Tapi, prosedurnya itu seakan seadanya. Itu pun tidak dijalankan secara ketat dan tegas. Terlalu banyak toleransi di sana-sini.

Reformasi tata kelola penyelenggaraan pertandingan itu harus menyentuh banyak hal: ticketing, pengamanan, dan mitigasi bencana. Tentang ticketing ini, bisa dibuat aturan tak ada lagi penjualan di hari pertandingan. Tiket dijual dari jauh hari. Dengan begitu, jumlah penonton sudah bisa dibaca sebelum hari pertandingan tiba. Itu tentu akan memudahkan panitia pelaksaan pertandingan beserta aparat keamanan membuat skenario pengamanan.

Sterilisasi stadion juga menjadi kewajiban yang harus di atur dalam tata kelola penyelenggaraan pertandingan. Sebelum area stadion harus ada filter. Mereka yang masuk area stadion adalah mereka yang punya tiket. Dengan begitu tak akan ada penumpukan massa di area stadion. Itu juga akan memudahkan panpel untuk menerapkan pembukaan pintu-pintu stadion 10 menit jelang pertandingan usai. Sebab, jika ada sterilisasi, tak akan ada kemungkinan bagi mereka yang tak bertiket masuk ke stadion ketika pintu-pintu stadion di buka 10 menit atau bahkan 15 menit sebelum pertandingan selesai.

Yang tak kalah penting adalah mitigasi bencana. Harus ada papan-papan petunjuk di stadion tentang jalur evakuasi. Sebelum pertandingan juga harus ada pengumuman dari announcer tentang jalur-jalur evakuasi, layaknya ketika kita naik pesawat terbang. Jika di stadion terjadi chaos atau terjadi bencana alam, penonton tak panik. Satu sama lainnya bisa menyelamatkan diri tanpa harus mengorbankan yang lain. Yang juga tidak boleh ditanggalkan adalah asuransi. Jadi setiap penonton yang membeli tiket maka sudah terlindungi asuransi.

Yang juga vital adalah pengamanan. Sudah menjadi rahasia umum di sepak bola Indonesia jika biaya pengamanan merupakan salah satu pos pengeluaran terbesar setiap klub. Untuk setiap pertandingan, klub bahkan harus mengeluarkan dana ratusan juta untuk biaya pengamanan. Tapi, biaya itu acapkali tak sebanding dengan pengamanan yang dilakukan. Petugas keamanan selama ini lebih sering ikut larut menikmati jalannya pertandingan dibanding melakukan tugasnya.

Lihat saja berapa banyak petugas keamaaan yang fokus menghadap atau mengamati gerak-gerak penonton dibanding mereka yang asik menghadap ke lapangan untuk menikmati pertandingan. Dijamin jumlah yang fokus ke penonton nihil. Ini yang harus diubah. Tidak bisa tidak. Tak bisa ditawar.

Petugas keamanan yang bertugas di pinggir lapangan harus fokus menghadap ke penonton. Yang ada di tribun pun sama. Jika itu dilakukan, kecil kemungkinan ada penonton yang menerobos masuk ke lapangan. Yang bertugas di pintu masuk stadion juga harus tetap berada di sana sepanjang pertandingan. Pun demikian yang bertugas di pos-pos lainnya. Jangan lagi ditinggal cangkrukan (nongkrong) sembari menyeruput kopi.

Tepikan Ego dan Rekonsiliasi Suporter


Dan ketika perubahan dijalankan, semua tetap kembali berpulang kepada suporter. Merekalah yang memegang peran penting berakhirnya peristiwa-peristiwa berdarah di sepakbola. Sebab, peristiwa itu dekat sekaligus melekat dengan mereka. Suporterlah yang bisa mengakhiri cerita pilu itu.

Suporter harus menepikan egonya. Berkomitmen bersama-sama dan itu benar-benar dijalankan semuanya untuk tidak saling menghilangkan nyawa. Tidak saling merendahkan martabat kemanusiaan. Komitmen yang bukan saja di dunia maya, tapi juga di dunia nyata. Bukan hanya untuk hari ini atau sepekan ke depan, sebulan ke depan melainkan untuk selamanya.

Suporter Indonesia, seperti umumnya bangsa ini, sering menjadi pelupa. Ketika terjadi suatu peristiwa, semua merasa prihatin. Semua menegaskan: peristiwa itu harus menjadi yang terakhir. Tapi, komitmen untuk menjadikan peristiwa tersebut sebagai yang terakhir tak pernah benar-benar dijalankan.

Jika memang semua berkomitmen tak ada lagi korban di sepakbola, tak ada rivalitas berdarah di sepakbola, tak ada rivalitas yang merendahkan nilai-nilai kemanusian, Tragedi Kanjuruhan harus menjadi titik balik. Sekali lagi, jika ini harus diakhiri, semua suporter harus menepikan ego. Tak lagi memelihara dan menyuburkan kebencian. Di mana saja.

Pentolan-pentolan dan dirigen atau capo suporter harus tampil di depan untuk itu. Mereka harus menjadi contoh. Harus berani mengingatkan dan menegur jika ada anggota dalam kelompoknya yang melenceng.

Apa kita tidak lelah terus memelihara kebencian? Apa kita juga tidak lelah terus-menerus merasakan kecemasan? Ya, kecemasan. Bohong rasanya kalau kita tidak pernah merasa cemas ketika berangkat dan pulang dari stadion saat kebencian itu terus dipelihara.

Mau sampai kapan kebencian itu dipelihara? Sampai kapan kebencian itu dibiarkan tumbuh subur? Sampai kapan rivalitas dimaknai dengan saling menghilangkan nyawa, saling melukai? Bukankah kita ke stadion dan mendukung kesebelasan kebanggaan kita untuk menikmati sepak bola? Untuk merayakan sepakbola. Untuk bersenang-senang dan meneguk kebahagiaan, bukan untuk menjemput kematian. Bukan pula untuk saling merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Tragedi Kanjuruhan memang tak bisa dilepaskan dari kebrutalan aparat keamanan melepaskan tembakan gas air mata. Tembakan yang memicu kepanikan di tribun. Tembakan yang membuat satu sama lainnya berebut jalan keluar stadion. Fatalnya, kepanikan itu menjadikan satu sama lain saling injak ketika kondisi mata mereka pedih dan nafas tersenggal. Kematian ratusan orang kemudian menjadi cerita pilu yang tak akan terlupakan.

Tragedi Kanjuruhan memang tak bisa lepas dari kebrutalan aparat melepaskan tembakan gas air mata. Tapi, akar dari yang terjadi di Kanjuruhan malam itu adalah kebencian. Kebencian suporter Malang kepada suporter Persebaya Surabaya. Kebencian yang kemudian menggerakkan mereka berbondong-bondong ke stadion. Kebencian yang kemudian mendorong mereka turun ke lapangan ketika kesebelasan kebanggaan mereka dikalahkan oleh kesebelasan yang selama ini ada di seberang mata dan hati suporter Malang.

Kalau tak ada kebencian, tak mungkin ada aksi turun ke lapangan. Toh, sebelum dikalahkan Persebaya malam itu, dua kali kesebelasan tamu menang di Stadion Kanjuruhan,

Kebencian itu membunuh. Kebencian itu melukai. Kebencian itu mempersempit ruang gerak. Kebencian itu memperpendek cara berpikir. Kebencian juga mempergelap hati. Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu gambarannya. Kebencian ini harus disingkirkan. Satu sama lainnya harus menepikan egonya.

Komitmen untuk menepikan ego itu bisa dimulai dari jari kita. Di mana kita tidak lagi asal menulis komentar di dunia maya. Dimulai dari nyanyian kita. Di mana dirigen atau capo dan pentolan suporter harus menghentikan nyanyian-nyanyian kebencian yang selama ini dilantangkan di tribun.

Yang juga bisa dilakukan ialah berlapang dada menerima suporter yang selama ini dianggap sebagai rival. Stadion Kanjuruhan dan Stadion Gajayana, Malang, memberikan ruang untuk Bonek, suporter Persebaya. Begitu juga sebaliknya: Gelora Bung Tomo, Surabaya, beserta suporter Persebaya bisa menerima kehadiran Aremania.

Jakarta bisa menerima kedatangan pendukung Persib Bandung. Pun begitu sebaliknya. Suporter Persija Jakarta bisa datang mendukung kesebelasaan kesayangannya di Bandung. Suporter-suporter di Bumi Mataram –pendukung PSIM Jogja, Persis Solo, dan PSS Sleman- bisa saling adu kreativitas di tribun.

Rivalitas tak seharusnya dimaknai dengan saling melukai. Rivalitas tak seharusnya dimaknai dengan saling menghilangkan nyawa. Tapi, rivalitas harus dimaknai sebagai adu kreativitas, nyanyian, dan dukungan positif untuk kesebelasan kesayangan. Bukan yang lainnya.

Kawan, sepakbola itu membahagiakan. Kekerasan, juga kebencian, hanya akan menjauhkan kita dari kenikmatan-kenikmatan sepak bola.

Komentar