Ingin Berhenti Berhitung Malam itu...

Editorial

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Ingin Berhenti Berhitung Malam itu...

Kalimat "Ya Allah, anakku gak onok (meninggal)" membuat imajinasi sangat merinding ketika memulai duka di insiden Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang, Sabtu (1/10). Kemudian kabar-kabar duka dalam bentuk huruf, foto, dan video yang mengungkapkan angka terus ada di lini masa kita.

Berawal dari kabar dua korban meninggal, kemudian menjadi 15, kemudian 20, 50, dan mencapai 131 nyawa per Selasa (4/10) malam WIB berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Malang. Selain mayoritas suporter, dua korban meninggal dunia adalah dari anggota kepolisian.

Sirine ambulan terus bersahutan dari di Kota Malang. Ratusan keluarga dan ibu menangis atas buah hati yang hilang. Sebagian sudah ada kabar, sisanya masih mengais identitas yang belum menemukan kejelasan.

Sejak malam, doa seluruh orang sama: tidak ada lagi tambah korban. Semua orang sepakat untuk tidak ingin menghitung lagi. Sebab semua berdoa agar tidak ada korban meninggal dunia bertambah.

Kronologi dan Anomali Prosedur Keamanan

Pertandingan antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya merupakan salah satu pertemuan yang memiliki rivalitas besar di sepak bola Indonesia. Ini menyedot animo tinggi dari seluruh penikmat sepak bola di Indonesia. Terlebih, bagi suporter Arema yang biasa disebut Aremania selaku tuan rumah. Sebanyak 42 lembar tiket habis dijual meski kapasitas Stadion Kanjuruhan hanya sanggup menampung sekitar 38.000 penonton.

Berdasarkan dokumen yang didapat, pihak Arema dan Polres Malang sempat mengajukan permohonan agar sepak mula dimajukan menjadi pukul 15:30 WIB dari jadwal semula 20:00 WIB. Namun permohonan itu ditolak PT LIB (Liga Indonesia Baru). Apakah ini karena kepentingan hak siaran langsung televisi?



Yunus Nusi, Sekjen PSSI, menjelaskan bahwa alasan itu karena kemungkinan pertandingan berjalan kondusif jika melihat tidak adanya suporter rival Aremania, yaitu Bonek, tidak datang langsung mendukung Persebaya di Stadion Kanjuruhan.

"Kita ketahui bahwa kepolisian mengajukan permohonan untuk dilaksanakan di sore hari. Tetapi oleh PT LIB dan panpel, dilakukan diskusi dan terjadi kesepahaman bersama untuk digelar di malam hari. Tentu dengan kesepakatan bersama, salah satunya untuk tidak menghadirkan suporter lawan atau tamu ke stadionnya. Dan itu yang menjadi rujukan dari pihak Panpel dan PT LIB untuk ber-positive thinking bahwa sulit untuk akan ada kerusuhan di mana letak kerusuhannya ketika tidak ada rivalitas suporter dan tidak ada suporter dari Persebaya yang datang ke Malang. Sehingga terjadi kesepahaman dan akhirnya juga dilaksanakan atas kesepahaman bersama," kata Yunus dalam konferensi pers PSSI, Minggu (2/10) siang.

Awalnya, pertandingan berjalan dengan tertib. Skuad Persebaya tiba di stadion dengan aman menumpangi kendaraan lapis baja. Namun berbeda ketika pertandingan dengan tensi tinggi itu berakhir.

Melalui pandangan mata dan informasi yang dihimpun sejauh ini, sejumlah suporter Arema turun ke lapangan setelah pertandingan berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan Persebaya. Sempat pula terjadi lemparan kepada skuad Persebaya yang langsung melarikan diri ke lorong stadion.





Sementara, rekaman video memperlihatkan dua orang Aremania turun ke lapangan mendatangi pemain. Tetapi tidak ada tendensi berlebihan antara mereka meskipun disusul oleh beberapa suporter lain yang ikut turun mendekati pemain.

Dalam atmosfer sepak bola Indonesia beberapa waktu belakangan ini, memang suporter sering turun ke lapangan menghampiri pemain untuk memberikan kritik dan motivasi. Tidak ada aksi berlebihan. Aremania sendiri diketahui sering melancarkan protes kepada tim atas penampilan buruk di beberapa pertandingan ke belakang.

Kembali ke pertandingan kemarin, beberapa suporter mulai dihalau oleh aparat ketika sedang memeluk Adilson Maringa, kiper Arema. Mereka dihalau oleh aparat keamanan yang memancing suporter Arema lainnya. Kemudian gas air mata pun ditembakan aparat ke lapangan dan tribun Stadion Kanjuruhan.

https://twitter.com/akmalmarhali/status/1576264867954450432">

Soal gas air mata yang digunakan aparat keamanan pada laga tersebut menjadi anomali. Aturan FIFA melarang penggunaan gas air mata untuk mengamankan pertandingan sepakbola. Peraturan larangan penggunaan gas air mata itu ada pada pasal 19 dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations.

Terdapat lima pedoman yang seharusnya ditaati oleh pihak keamanan pertandingan sepak bola. Terutama pada pasal 19 b yang bertulis "No firearms or crowd control gas". Intinya, senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan (suporter sepak bola) itu dilarang dibawa dan digunakan.

Penggunaan alat terlarang itu berujung jatuhnya korban akibat sesak nafas. Sebagian juga terinjak-injak dan terhimpit berdesakan saat berusaha menyelamatkan diri dalam kepanikan. Seperti Tragedi Lima pada 1964 dan Tragedi Accra pada 2001 yang memakan banyak korban jiwa, itu sama-sama disebabkan adanya penembakan gas air mata ke tribun penonton.

Irjen Pol Nico Afinta, Kapolda Jawa Timur, justru menganggap bahwa penembakan gas air mata sudah sesuai prosedur. "Seandainya suporter mematuhi aturan, peristiwa ini tidak akan terjadi," katanya saat konferensi pers di Mapolres Malang, Minggu (2/10).

Padahal jika melihat fanatisme sepak bola, apalagi dalam pertandingan bergengsi seperti Arema dengan Persebaya, tidak mungkin fanatisme bisa dibendung kecuali dalam batas-batas kesadaran manusia itu sendiri. Yang perlu dilakukan adalah perencanaan dan persiapan matang terkait mitigasi tanpa harus membahayakan nyawa orang lain.

Menyalahkan suporter namun disertai sebuah penanganan keamanan yang sudah jelas ada aturannya dalam FIFA, yaitu penggunaan gas air mata, tentu tidak bisa dibenarkan. Kita tidak bisa menyalahkan sebuah euforia begitu saja, apalagi ketika sudah tahu bahwa sebuah pertandingan sepakbola adalah titik temu puluhan ribu individu dengan pelbagai bentuk emosi.

Jika pun pihak aparat keamanan tidak mengetahui menyeluruh dan mendalam soal aturan ini, lantas mengapa PSSI dan Panitia Penyelenggara Pertandingan tidak dengan kuat mensosialisasikannya? Lagi-lagi, bahwa seharusnya kejadian seperti ini bisa dihindari.

Toh, berbagai pertandingan sepak bola di Eropa pun banyak mengalami insiden pitch invasion (suporter masuk ke dalam lapangan), namun hal ini bisa teratasi dengan prosedur keamanan yang aman.

Bukan Hanya Sepak Bola

Ini bukan lagi duka dan masalah di sepakbola saja, melainkan sudah menjadi tragedi bangsa Indonesia. Artinya, ini bukan hanya seluruh stakeholder sepakbola yang harus membereskan persoalan ini. Terkhusus bukan hanya federasi dan regulator liga saja, melainkan negara harus bisa ikut andil membereskannya.

Di pertengahan kabar, melalui laman resminya PSSI mengumumkan penghentian sementara Liga 1 2022/23. Apakah penghentian ini sudah cukup? Nampaknya masih belum jika tidak ada jaminan evaluasi total dengan pengusutan insiden setuntas-tuntasnya.

Wacana hukuman itu belum termasuk dengan adanya keputusan melarang Arema menjadi tuan rumah sampai akhir musim. Bolehlah ini agak disetujui namun perlu juga adanya pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas insiden yang memilukan ini.

Di sisi lain, Investigasi peristiwa ini harus dipimpin otoritas tertinggi di negara ini agar evaluasi, sanksi dan pertanggungjawaban semakin jelas. Ya, selain federasi, Kemenpora, KONI dan kepolisian harus bisa aktif menemukan benang merah. Selayaknya investigasi independent semacam Taylor Report pada tragedi Hillsborough yang dipimpin cabang yudisial Inggris. Sebab negara mutlak harus hadir untuk penyelesaian peristiwa pilu ini.

Jika tidak melakukan langkah-langkah strategis, artinya tidak akan ada perubahan berarti. Penghentian sementara liga hanya akan menjadi perenungan biasa saja sampai akhirnya perasaan duka dan keinginan perubahan menjadi usang.

Apalagi Tim Nasional Indonesia sedang berada di dalam trek positif dengan lolosnya ke Piala Asia 2023. Mereka pun sedang optimis menghadapi Piala AFF 2022 atas kemenangan dalam dua laga uji tanding melawan Curacao.

Hal ini belum ditambah dengan hajatan Piala Dunia dan Piala Asia U-20 yang digelar tahun depan. Soal Piala Dunia, Indonesia menjadi tuan rumah dan kawasan Jawa Timur adalah salah satu lokasi yang dipilih sebagai penyelenggara.

Jika melihat apa yang terjadi dan jumlah korban bertambah lagi (semoga saja tidak) laiknya bahwa INDONESIA BELUM LAYAK MENJADI TUAN RUMAH PIALA DUNIA. Insiden ini tidak bisa dibiarkan dan diabaikan. Harus dikawal terus dan jangan menjadi wacana yang kemudian hilang dan terus berulang.

Ya Tuhan, mengapa suporter sepak bola selalu menjadi korban? Sebelum tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, sudah ada banyak kasus suporter meninggal di Indonesia. Saya lelah menghitungnya.

If you tolerate this, then your children will be next

Komentar