Tidak Ada Liga yang Baik di 2022

Editorial

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Tidak Ada Liga yang Baik di 2022

Selesainya Liga 1 2021/22 pada Maret 2022 seolah menjadi gambaran bahwa sepakbola Indonesia baik-baik saja. Sempat terdisrupsi pandemi COVID-19 yang menyebabkan liga sempat terhenti, tercipta klaster di antara pemain dan staf, keberhasilan Bali United mempertahankan titel juara, hingga terdegradasinya Persipura Jayapura adalah “drama” yang menjadikan kompetisi sepak bola Indonesia bergairah. Nyatanya, sepakbola di negeri ini tidak baik-baik saja.

Dimulai dengan kompetisi pra-musim yang menewaskan dua Bobotoh (pendukung) Persib Bandung, Asep Solihin dan Sofiana Yusuf. Mereka meninggal ketika hendak menyaksikan pertandingan Piala Presiden 2022 antara Persib melawan Persebaya Surabaya pada 17 Juni 2022. Penyebabnya diduga karena berdesak-desakan akibat jumlah penonton yang hadir melebihi kapasitas Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA).

Pengusutan kasus tersebut hilang ditelan hingar bingar Liga 1 2022/23. Tidak ada yang cukup kesatria untuk bertanggung jawab atas tewasnya Asep dan Sofiana, sementara para pengurus sepakbola Indonesia beserta penikmatnya terlena atas bergulirnya liga. Sampai, pada suatu ketika, jatuh korban yang lebih banyak pada pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang.

Sebanyak 135 nyawa hilang usai pertandingan lanjutan Liga 1 2022/23 antara tuan rumah Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022. Sebanyak enam tersangka ditetapkan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jatim. Salah satunya adalah Akhmad Hadian Lukita yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB).

Alih-alih bertambahnya jumlah tersangka, Akhmad malah dibebaskan karena masa tahanannya habis selama penyidik yang belum juga merampungkan berkas kasus untuk jaksa di pengujung Desember 2022. Ini menunjukkan betapa berlarut-larutnya proses pengusutan sejak peristiwa memilukan terjadi sekitar dua bulan lalu; sungguh tidak sat set jika dibandingkan kasus pornografi viral si `Kebaya Merah`.

Para pemangku jabatan federasi sepak bola Indonesia, PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), justru memilih melanjutkan kembali kompetisi ketimbang mengurusi kekusutan itu. Padahal, sudah jelas bahwa tagar #UsutTuntasTragediKanjuruhan beserta poin-poin aksi yang selalu ditunjukan Aremania (pendukung Arema) dalam setiap aksi demonstrasinya.

Apakah dilanjutkannya Liga 1 2022/23 jadi bukti bahwa penyelenggaraan kompetisi sepakbola Indonesia sudah lebih lebih baik? Lihat saja dengan kebijakan sistem bubble yang dijadikan acuan bergulir kembalinya liga. Kebijakan yang seolah menyudutkan suporter Arema karena klub lain jadi `terusir` dari kandangnya masing-masing. Untungya, dalam cermatku, pendukung antarklub sepakbola Indonesia cukup solid dan tak bias memahami hal itu secara bijak.

Tidak hanya itu, masalah-masalah juga terjadi di atas lapangan dalam lanjutan kompetisi tersebut. Apa saja masalahnya? Nah, justru aku bertanya. Sebab, menyambut kembali kompetisi dengan suka cita ketika kuburan 135 nyawa Kanjuruhan belum mengering adalah sebuah kemunafikan. Maka dari itu, kami, Pandit Football, enggan peduli dengan masalah yang terjadi karena menolak tegas menyambut lanjutan liga berjejak darah dengan kekhidmatan.

Tentu Saja Tidak

Kelanjutan Liga 1 tanpa pengusutan tuntas dijeda dengan peluit Piala AFF 2022. Ada begitu banyak harapan dan optimisme bahwa Indonesia akan mengangkat piala tersebut tahun ini. Optimisme yang wajar jika melihat proses yang ditunjukkan Shin Tae-Yong selaku pelatih sepanjang 2022.

Diawali dengan lolosnya Indonesia senior maupun kelompok umur ke Piala Asia 2023, kemudian melibas Curacao yang notabene lebih kuat pada uji tanding. Siapa yang tidak yakin?

Ditambah dengan hadirnya pemain naturalisasi jebolan kompetisi tertinggi di beberapa macam negara Eropa, seperti Jordi Amat. Tentu ini menggapai optimisme yang sebelumnya sekadar gumaman "jadi runner-up juga sudah syukur!".

Hanya saja, optimisme tersebut bisa menjadi jalan mentok yang mengira siapa yang akan merasa menjadi paling pahlawan ketika Indonesia mengangkat piala. Bila benar-benar juara, seharusnya biarkan dia angkat piala melalui panggilan video Whatsapp saja. Pasti pendukung Garuda yang sangat nasionalis sampai memecahkan kaca bus pemain Tim Nasional Sepakbola Thailand itu akan setuju.

Namun sebentar, optimisme juara ini sebetulnya sedikit memudar kala kompetisi terhenti akibat yang `katanya` penghormatan pasca Tragedi Kanjuruhan. Ah, lagi-lagi membahas sesuatu yang sulit usai dan tuntas. Artinya, memang tidak ada yang beres dalam pembenahan kompetisi sepakbola Indonesia di Tahun 2022.

Tragedi Kanjuruhan terjadi mungkin karena tidak mampu belajar dari buruknya pengontrolan massa besar di GBLA, juga tragedi-tragedi sebelumnya yang lambat laun dianggap biasa. Tragedi-tragedi yang, tidak bisa dielakkan lagi, sangat berpengaruh terhadap kompetisi sepakbola Indonesia. Kompetisi yang benar-benar dibutuhkan oleh berbagai pemain dan juga tim nasional yang selalu berlaga di pentas-pentas besar.

Ada begitu banyak pekerjaan rumah dan perjalanan Indonesia di kancah internasional di tahun mendatang. Selain AFF yang sedang bergulir dan ditargetkan juara dari liga tak tuntas ini, Son Heung-Min dari Korea Selatan atau Daichi Kamada dari Jepang sudah sangat siap jika bertemu Indonesia di Piala Asia 2023.

Tentunya, tim nasional sepakbola kita harus tampil dengan kemampuan terbaik jika tak ingin jadi bulan-bulanan ketika bertemu dengan negara langganan Piala Dunia dari Asia di 2023. Tap,i kembali lagi, bahwa tim nasional yang baik tentu lahir dari liga yang baik. Lalu, apakah liga kita baik-baik saja dengan meninggalkan banyaknya nyawa di Tahun 2022? Tentu......

Komentar