Lini Tengah Kalah Telak, Chelsea dipermalukan Arsenal di Kandang Sendiri

Analisis

by Bayu Aji Sidiq Pramono

Bayu Aji Sidiq Pramono

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Lini Tengah Kalah Telak, Chelsea dipermalukan Arsenal di Kandang Sendiri

Arsenal kembali merebut puncak klasemen setelah berhasil mencuri tiga poin di Stamford Bridges. Gol tunggal Gabriel Magalhaes pada situasi sepak pojok menjadi penentu kemenangan The Gunners atas Chelsea. Hasil ini menggusur The Blues ke peringkat tujuh klasemen sementara.

Graham Potter bermain dengan formasi dasar 4-2-3-1 dengan menempatkan Jorginho dan Ruben Lofrtus-Cheek sebagai double pivot. Denis Zakaria yang tampil gemilang tengah pekan lalu duduk di bangku cadangan. Di depan, Pierre-Emerick Aubameyang ditopang oleh Kai Havertz, Raheem Sterling, dan Mason Mount sebagai kuartet lini serang tuan rumah.

Di kubu lawan, Arsenal menurunkan skuad terbaiknya. Oleksandr Zinchenko yang telah pulih dari cedera bermain sejak menit pertama sebagai bek kiri. Thomas Partey, Granit Xhaka, dan Martin Odegaard masih menjadi pilihan utama Mikel Arteta di lini tengah.

Gambar 1 - Susunan Sebelas Pertama Chelsea dan Arsenal

Gambar 1 - Susunan Sebelas Pertama Chelsea dan Arsenal

Sumber : Sofascore

Arsenal berhasil mendominasi 56,1 persen penguasaan bola. Meski Chelsea berusaha menekan dengan menerapkan high press, lini belakang dan lini tengah The Gunners tidak kesulitan untuk lepas dari tekanan tersebut. Hal ini terjadi karena Zinchenko dan Ben White bergantian masuk ke lini tengah untuk mendukung Partey agar bola bisa mengalir dari lini belakang ke lini tengah. Maka tidak heran jika tim tamu berhasil mengirimkan 155 umpan ke area lawan.

Hal ini berdampak pada penciptaan peluang tuan rumah yang sangat minim. Mereka hanya menciptakan lima tembakan tapi hanya satu yang mengancam gawang Aaron Ramsdale. Hal ini menunjukan bahwa pemegang gelar Liga Champions musim 2020/21 itu kesulitan membongkar pertahanan The Gunners.

Meski hanya mencetak satu gol, Arsenal berhasil mengungguli Chelsea hampir di segala aspek. Mereka menciptakan 9 peluang dan melepaskan 10 tembakan dari dalam kotak penalti. Tim tamu juga berhasil mendominasi penguasaan bola dan mencegah sang tuan rumah mendapatkan banyak peluang. Tapi pertanyaanya, bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

Kekalahan Telak di Lini Tengah

Tiga gelandang yang diturunkan Arteta sangat aktif dalam segala situasi. Ketika menguasai bola, tiga gelandang ini membagi peran dengan beban yang setara. Partey menjadi penghubung utama pada fase pertama membangun serangan dari lini belakang ke lini tengah. Xhaka dan Odegaard berdiri di depan Partey untuk mengunci gelandang lawan agar tidak mengganggu pergerakan Partey. Ketika bola sampai di kaki Saka atau Martinelli, giliran Odegaard dan Xhaka yang mengambil alih lini tengah. Partey bertahan di tengah lapangan sebagai opsi umpan tambahan sekaligus bersiap untuk mengantisipasi serangan balik.

Tidak hanya itu, lini tengah The Gunners sering mendapatkan tenaga tambahan dari dua bek sayap. Zinchenko dan White rajin bergerak ke tengah untuk meringankan beban Partey sebagai single pivot.

Kondisi ini bergulir sejak awal laga hingga peluit panjang berbunyi. Jorginho dan Loftus-Cheek kawalahan dalam memenangkan duel di lini tengah. Hal ini terjadi karena Chelsea selalu kalah jumlah pemain di area tersebut. Sementara tim tamu bisa diisi oleh empat hingga lima pemain di lini tengah. Belum lagi Gabriel Jesus yang rajin turun menjemput bola sehingga lini tengah Arsenal semakin kuat.

Gambar 2 - Heatmap Sentuhan Pemain Chelsea dan Arsenal

Sumber : WhoScored

Perhatikan ilustrasi di atas. Chelsea jarang sekali menyentuh bola di lapangan tengah area lawan. Mereka lebih banyak mengarahkan bola ke sisi sayap yang dihuni Mount dan Sterling. Kemungkinan besar ini memang rencana Potter sejak awal karena Mount yang merupakan gelandang kreatif dipasang di sayap kiri.

Maka tidak heran jika tim besutan Graham Potter ini mengalami kekalahan telah di lini tengah. Andai Potter memasang Mount di lini tengah sejajar dengan Jorginho dan Loftus-Cheek, ada potensi mereka bisa mengimbangi kekuatan lini tengah Arsenal. Jika tetap kalah, ia bisa mengandalkan Mount sebagai distributor bola pada situasi transisi dari bertahan ke menyerang dengan target melakukan serangan balik melalui Aubameyang atau Sterling.

High Press yang Tidak Efektif

Sepanjang pertandingan, Chelsea menerapkan taktik bertahan high press dengan garis pertahanan menengah (posisi ketika barisan akhir pertahanan berdiri di tengah area permainan sendiri). Mereka menekan dengan tiga hingga lima pemain. Tapi, penempatan posisi Xhaka dan Odegaard membuat tiga gelandang ragu untuk ikut menekan karena area yang harus dilindungi cukup besar. Akibatnya, Arsenal berulang kali lolos dengan Zinchenko yang bergerak ke tengah atau mengirimkan umpan diagonal ke sisi sayap. Alhasil, high press yang diterapkan Potter tidak berjalan efektif.

Gambar 3 - Ilustrasi High Press Chelsea yang Tidak Efektif

Gambar 3 - Ilustrasi High Press Chelsea yang Tidak Efektif

Ilustrasi di atas menunjukan bahwa terdapat area yang cukup luas di antara lini depan Chelsea yang sedang menekan, dengan lini tengah. Hal ini menyebabkan Jorginho tidak bisa terlalu bergerak ke depan untuk mendukung high press lini depan karena terlalu berisiko. Jesus, Odegaard, dan Xhaka bisa dengan mudah memanfaatkan area tersebut (lingkaran arsir hitam di tengah lapangan).

Situasi ini diperparah ketika Aubameyang, Sterling, dan Mount tidak cukup responsif ketika bola telah melewati mereka. Akibatnya, lini tengah Arsenal dengan mudah mengincar sisi sayap dengan melepaskan umpan diagonal. Azpi dan Cucurella yang bertanggung jawab di area tersebut berulangkali harus bersusah payah berduel dengan Saka dan Martinelli. Terbukti 90 menit laga berjalan, 75 persen arah serangan The Gunners hadir dari sisi sayap.

Hal ini bisa diantisipasi andai Potter berani menerapkan garis pertahanan tinggi. Dengan demikian, area yang harus dilindungi oleh Jorginho tidak terlalu besar sehingga Havertz dan Loftus-Cheek bisa ikut menekan dan mencegah Arsenal membangun serangan. Dengan demikian, akan ada lebih banyak pemain yang mengganggu proses bangun serangan. Harapannya Arsenal melakukan kesalahan-kesalahan minor yang mengarah langsung ke gawang. Pada situasi ini, rencana high press Chelsea akan berjalan lebih efektif.

Tidak Ada Perubahan di Tengah Pertandingan

Masalah Chelsea pada pertandingan ini tampak jelas pada babak pertama meskipun skor masih kacamata. Tapi, Potter sebagai juru taktik The Blues tidak melakukan perubahan berarti yang mampu mengubah situasi di lapangan. Bahkan, ketika mereka tertinggal pun tidak ada “angin segar” dari penampilan tuan rumah.

Jika berkaca dari pergantian pemain, Potter melakukan pergantian pemain dengan maksud memperbarui energi saja. Ia menggantikan Auba dengan Armando Broja (posisi sama), Havertz dengan Conor Gallagher (posisi sama), Mount dengan Christian Pulisic (posisi masih sama), dan Loftus-Cheek dengan Matteo Kovacic (posisi juga sama). Pola pergantian ini tidak mengubah peran dan komposisi pemain sehingga tidak mengubah apapun di lapangan.

Padahal, pada saat kondisi tertinggal ia memiliki opsi untuk menambah penyerang tanpa mengganti penyerang lainnya. Ia juga masih memiliki Hakim Ziyech di bangku cadangan yang memiliki keunggulan dalam mengirimkan umpan-umpan silang. Opsi lainnya Potter bisa mengganti Loftus-Cheek dengan Pulisic lalu menggeser Mount ke tengah agar ia mendapatkan ruang untuk menyalurkan kreativitasnya. Mengingat sepanjang pertandingan, ia hanya menyentuh bola di area lawan sebanyak 17 kali.

Komentar