Piala Eropa: Lahan Subur untuk Panen Kejutan

Cerita

by Redaksi 11

Redaksi 11

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Piala Eropa: Lahan Subur untuk Panen Kejutan

Terakhir kali laga Piala Eropa berlangsung, kumpulan ngengat menggerayangi langit malam Paris. Hinggap di pipi Cristiano Ronaldo yang kurang dari setengah jam tampil di lapangan. Pelatihnya, Fernando Santos mesti khawatir pekerjaannya diintervensi sang megabintang yang spontan ikut mengatur dari depan bangku cadangan.

Tidak banyak yang bisa diceritakan dari karier Eder, selain satu sepakan tunggalnya mengantar Selecao das Quinas meraih trofi pertama dalam kejuaraan mayor. Bukan Eusebio, Figo, Deco, atau pun Ronaldo, tapi Eder. Sebelum dan sesudah kejadian itu, karier Eder secara keseluruhan medioker.

Portugal menembus babak fase gugur sebagai salah satu peringkat ketiga terbaik tanpa sekalipun menang di babak grup. Sepanjang turnamen, hanya sekali mereka menang dalam waktu normal (semifinal versus Wales). Hanya cetak sembilan gol dalam tujuh pertandingan dan sisanya sejarah.

Sialnya, keiritan semacam ini bukan sekali saja baru kejadian. Mari putar ke belakang dengan melongkapi kejayaan tiki-taka Spanyol. Ada Yunani yang cukup cetak tujuh gol sepanjang turnamen untuk berjaya di Semenanjung Iberia. Beri tangis kepada Ronaldo muda saat piala diangkat Theodoros Zagorakis.

Berterima kasih lah kepada tandukan Angelos Charisteas yang terberkati Dewi Fortuna. Jelas tidak lupa, pragmatisme keras kepala Otto Rehhagel yang pasang taktik pertahanan gerendel. Terjadi hanya enam tahun setelah dia mengantar Kaiserslautern, tim promosi satu-satunya yang juara Bundesliga.

Portugal jelas nama besar dalam kancah sepak bola internasional. Namun, cara mereka memenangi kejuaraan jelas memusingkan. Yunani memaksa kita terus menuturkan kata ‘kejutan’ pada 2004, setelah FC Porto dan AS Monaco menyelong ke partai final Liga Champions. Menengok reputasi mereka dan cara keduanya juara, sampai sekarang pertanyaan ‘Kok bisa?’ hinggap di kepala.

Lagi-lagi, kejutan demikian juga lebih dulu kejadian. Berilah judul, ‘Letupan mendadak dinamit Denmark’. Perang Yugoslavia pecah. Denmark yang tidak lolos ke putaran final mengisi tempat kosong Yugoslavia yang kini telah tiada.

Dua bintang mereka, Michael dan Brian Laudrup hilang selera dengan pelatih Richard Moeller Nielsen. Michael memilih pensiun sedari awal babak kualifikasi. Sementara Brian juga sempat mundur, sampai akhirnya memutuskan tampil di putaran final meski konon tengah liburan di pantai.

Denmark kalah pada dua laga awal. Pada laga penentuan melawan Prancis, gelandang andalan Kim Vilfort pun izin pamit sebentar karena anaknya mesti operasi Leukimia. Di tengah kesuraman, mereka malah menang dari Tim Ayam Jantan.

Keberuntungan berlanjut sampai semifinal dengan mengandaskan juara bertahan Belanda lewat adu penalti. Pada babak final, Jerman yang baru juara Piala Dunia 1990 terkena ledakan dinamit Denmark karena keok dua gol tanpa balas. Termasuk cetakan gol mengharukan Vilfort sebagai pamungkas. Mereka berganti status dari tidak ikut serta menjadi juara hanya dalam dua minggu saja.

Sekarang Juga Waktunya?

Denmark, Yunani, dan Portugal hanya sekelumit kisah dari keganjilan Piala Eropa. Pada 1968, Italia juara setelah babak semifinal menang atas Uni Soviet lewat lemparan koin. Menyinggung Uni Soviet, kegemilangan Lev Yashin, cs. paling mudah dikenali pada ajang ini berkat status juara edisi perdana.

Negara bubar lainnya, Cekoslowakia juga kebagian juara pada Euro 1976 dengan aksi penalti Antonin Panenka yang meninggalkan kesan selamanya. Belanda (jelas tidak bubar) selaku pemeraga ‘total voetbal’ hanya juara kompetisi antarnegara pada Euro 1988. Sementara Inggris, sang penemu sepak bola modern, tanpa sekalipun melenggang ke partai final.

Dari serba-serbi ganjil tadi, maka tak heran kalau Piala Eropa yang ketiban pulung sebagai turnamen sepak bola antarnegara elite yang terecoki pandemi. Sekalipun tertunda setahun, namanya tetap Euro 2020. Copa America yang belakangan sering tergelar saja memakai 2021 sebagai merek dagang.

Edisi kali ini terasa ambisius dengan menggelar turnamen di seantero Benua Biru. Semua dilakukan demi perayaan enam puluh tahun kejuaraan antarnegara Eropa, kata Michael Platini, Presiden UEFA kala itu. Setelah menghapus Brussel dan Dublin, 11 kota tertuju. Dari Glasgow ke Roma, dari Sevilla sampai Baku.

Untuk kedua kalinya, format 24 peserta terlaksana. Mengundang wajah baru dan muka lama yang jarang bersua. Italia kembali hadir pada turnamen penting setelah sadar tersesat bersama Gian Piero Ventura. Juga Belanda yang selepas Piala Dunia 2014 hilang orientasi dan entah pergi ke mana.

Perayaan gol konyol Paul Gascoigne pada 25 tahun lalu masih hidup dalam kepala-kepala orang Skotlandia, karena masih itu saja kenangan terakhir yang mereka punya. Terus terkekehlah mendengar kata ‘Pukki’, sekalipun dia mengantar Finlandia tampil ke turnamen mayor untuk pertama kalinya. Demikian juga Makedonia Utara selaku negara kontestan paling mungil dengan sekitar dua juta penduduk saja.

Ketika persiapan semakin mepet, Spanyol dihadapi problematika khas pandemi: Sergio Busquets dan Diego Llorente positif Covid-19. Semua orang mesti isolasi mandiri, lalu timnas U-21 mereka yang turun beruji coba melawan Lithuania. Jangan terlampau kaget, seandainya dengan persiapan berantakan justru Jordi Alba, dkk. yang keluar sebagai juara.

Jawaban mudah saat bicara konstelasi juara, pastilah Prancis. Sang finalis Euro 2016 dan juara bertahan Piala Dunia. Khayalan N’Golo Kante menggenggam Ballon d’Or segera menyusul kemudian.

Jangan pernah mengesampingkan Jerman. Sekalipun mangkrak di dasar klasemen Piala Dunia 2018, terpapar konflik internal, dan terbantai 0-6 dari La Furia Roja, mungkin saja Thomas Mueller, dkk. tetap melangkah jauh. Apalagi, Joachim Loew ingin mengucapkan, ‘Auf Wiedersehen’ dengan cara paling berkesan. Tiga kali memimpin Jerman di Piala Eropa, Loew selalu menuntun die Nationalmannschaft melaju minimal sampai semifinal.

Belgia ingin menandai generasi emas dengan sebuah piala. Tanpa trofi, komplotan pimpinan Kevin De Bruyne bisa saja mudah terlupa. Sedangkan Italia terus menemui nyaman bersama Mancini. Juga, Belanda dan Frank De Boer yang saling mencoba relevan kembali.

Dengan suburnya Piala Eropa memamen kejutan, sah-sah saja menjagokan negara manapun keluar sebagai juara. Termasuk Inggris yang biasa kita tahu nasib akhirnya seperti apa.

Setelah setahun tertunda, Euro 2021 2020 akhirnya tiba. Apakah kalian siap menyambutnya?

Sumber: UEFA/BBC

Komentar