Sepakbola dan Propaganda yang Diciptakan Adolf Hitler

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola dan Propaganda yang Diciptakan Adolf Hitler

Oleh: Isal Mawardi

Saat tiba tanggal 17 Agustus, sejumlah desa di tanah air serempak menggelar lomba untuk merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Sepakbola hampir selalu ada dalam daftar perlombaan. Olahraga yang cukup populer di tanah air ini dipilih karena ada pesan yang ingin disampaikan, yakni menjunjung tinggi sportivitas.

Supaya lebih menarik, sepakbola dikemas sedemikian rupa. Peraturannya diubah agar beda dengan kompetisi sepakbola yang biasa kita tonton di layar kaca. Ada yang setiap pemainnya wajib menggunakan sarung, ada pula yang memakai daster layaknya emak-emak. Hal itu memiliki pesan yang jelas, yaitu untuk memberikan hiburan dalam menyemarakkan kemerdekaan.

Namun bagaimana jadinya bila sepakbola dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan pesan propaganda?

Adolf Hitler menjadi sosok yang melakukan itu. Pria yang identik dengan kumis tipis itu memoles sepakbola untuk dijadikannya sebagai instrumen menyebarluaskan paham Nazi. Dua paham yang paling terkenal adalah mengagungkan ras Arya sebagai ras paling unggul di muka bumi dan Yahudi adalah kaum yang patut dibenci.

Pada Olimpiade 1936, kemenangan salah satu cabang olahraga lari diraih oleh pria kulit hitam asal Amerika bernama Jesse Owens. Sontak hal ini membuat Hitler gusar. Albert Speer dalam buku Inside the Third Reich menuliskan Hitler berang bukan main dan mengeluarkan sumpah serapah kepada Owens.

“Fisik mereka lebih kuat daripada orang kulit putih beradab dan karenanya harus dikeluarkan dari pertandingan mendatang,” kata Hitler kala itu.

Karena pengaruh kuat Hitler di Jerman kala itu, federasi sepakbola Jerman, Deutscher Fussball-Bund (DFB) secara tak sadar turut andil menyebarkan paham yang dibawa Hitler. Berbagai aturan diterapkan DFB untuk menancapkan kekokohan Nazi. Salah satunya, tim yang bertanding dengan timnas Jerman harus memberikan salah penghormatan khas Nazi.

Inilah yang sempat memicu ketegangan kala Jerman menjalin pertandingan persahabatan dengan timnas Inggris di Berlin. Pemain Inggris diberi tekanan jika mereka tak melakukan salam penghormatan, dikhawatirkan situasi akan memanas. Akhirnya pemain Inggris luluh dan memberikan penghormatan Hail Hitler yang terkenal itu. Ketika kembali ke Inggris, para pemain The Three Lions dihujat habis-habisan oleh suporter sendiri dengan diolok sebagai pengecut.

Hitler seakan membuat atmosfer sepakbola harus sesuai dengan kehendaknya. Lawannya secara otomatis, mau tak mau larut dalam ruang Nazisme. Karena ada aturan tak tertulis yang sudah disepakati bersama, yaitu jika tak menuruti perintah Hitler, maka akan dikirim ke akhirat.

Matthias Sindelar salah satu pesepakbola yang dikirim ke akhirat oleh Nazi. Pria yang lahir tahun 1903 itu menolak bergabung dengan timnas Jerman dan lebih memilih membela timnas Austria. Bahkan, Sindelar selebrasi dengan menari-nari di depan simpatisan Nazi usai mencetak gol yang membawa Austria menang 2-0 atas Jerman. Nahas, tarian selebrasi itu mengantar Sindelar ke pangkuan Tuhan. Tubuhnya ditemukan tak bernyawa di kediamannya usai menghirup gas beracun.

Siapa yang hendak menodai kejayaan Nazi, maka harus siap menerima konsekuensi. Senggol bacok mungkin istilah yang tepat menggambarkan keadaan saat itu. Meskipun hanya sekadar pertandingan persahabatan, Nazi tetap tak mau kalah.

Menurut Hitler, Jerman harus pandai dan unggul di segala bidang, termasuk sepakbola. Sindelar hanya satu dari sekian banyak nyawa-nyawa yang melayang karena kebijakan Nazi di sepakbola. Asal kalian tahu, kekejaman Nazi juga pernah menghabisi nyawa 1 tim.

Sebagai contoh akan kezaliman rezim Nazi yakni kemenangan klub sal Ukraina, FC Start atas klub angkatan udara Nazi, Flakelf dengan skor 5-1. Dedengkot Nazi tak terima dengan kekalahan itu. Mereka merasa harga diri sudah diinjak-injak oleh FC Start. Flakelf meminta pertandingan ulang 3 hari setelahnya pada 9 Agustus 1942 yang dikenal dengan The Death Match.

Dari istilahnya saja sudah seram, yang berarti pertandingan maut. Orang awam yang mendengar istilah The Death Match sekalipun pasti sudah paham. Akan ada nyawa yang minggat saat atau setelah pertandingan itu.

Sebelum pertandingan berlangsung, para pemain FC Start sudah menerima serangkaian ancaman. Bahkan Nazi membuat poster pertandingan ulangan tersebut dengan judul besar ‘Balas Dendam’. Ancaman tak sampai di sana. Saat pemain sedang bersiap-siap, ada salah satu perwira Jerman yang mengenakan seragam Waffen-SS (pasukan elit Hitler) datang ke ruang ganti FC Start. Ia berkata:

“Saya wasit pertandingan hari ini. Saya tahu Anda adalah tim yang sangat bagus. Harap ikuti semua aturan, jangan melanggar aturan apa pun, dan sebelum pertandingan sapa lawan Anda dengan cara kami (hormat Heil Hitler),” kata pria berseragam itu.

Tim sehebat Barcelona 2010/2011 pun akan ciut nyali jika sudah diancam seperti itu. Andres Iniesta dan Xavi Hernandez akan terkencing-kencing di celana. Sementara Lionel Messi berpura-pura sakit asma agar tak dimainkan di pertandingan itu.

Pertandingan pun dimenangkan dengan FC Start dengan skor 5-3. Kemenangan yang seharusnya disambut dengan suka cita malah berujung duka. Penyerang Start, Nikolay Korotkykh, disiksa sampai mati oleh Gestapo, polisi rahasia Jerman. Pemain Start lainya satu persatu dieksekusi di Kamp Konsentrasi Siretz. Bahkan saat ditembak mati, kiper Start, Trusevich, masih mengenakan seragam kipernya.

Hitler juga melakukan diskriminasi terhadap klub-klub yang terafiliasi atau memiliki pemain berdarah Yahudi. Bayern Munich, Eintracht Frankfurt, dan FSV Frankfurt dijuluki judenklub atau klub Yahudi oleh Hitler karena banyak staf dan pemain yang keturunan Yahudi. Imbasnya, sebagian besar petinggi klub mengungsi ke Inggris. Beberapa suporter juga serempak pindah haluan dan memilih tidak mendukung ketiga klub itu dari pada nyawa melayang.

*

Karena kebrutalan dan diskriminasi Hitler, seakan masyarakat Jerman masa kini ogah disangkutpautkan dengan Hitler. Seolah-olah pria berkumis nanggung itu adalah aib, nista, noda, dan sebagainya.

Dalam salah satu edisinya, majalah The Times menuliskan Hitler merupakan fans FC Schalke 04. Hal itu dilandaskan karena para pemain Schalke mendapatkan perlakuan istimewa dari Hitler dengan ditempatkan di barisan belakang medan perang. Sedangkan pesepakbola lainnya wajib berperang di garis terdepan.

Schalke menolak tulisan The Times. Sampai-sampai FC Schalke 04 mengirim surat protes ke redaksi majalah The Times dan menolak bahwa Hitler merupakan penggemar Schalke.

Lalu, ada Hertha Berlin yang dituduh bagian dari perkembangan Nazi di Jerman. Alasannya sederhana, karena Hertha bermarkas di stadion yang dahulu dibangun oleh Hitler dan kawan-kawan, yakni Olympiastadion Berlin.

Petinggi klub Bernd Schiphorst menolak mentah-mentah kabar itu. Riset dari Profesor Daniel Koerfer ditemukan fakta bahwa relasi antara Hertha dan Nazi tidak terlalu kuat. Pasalnya 400 staf dan pemain Hertha (kala Hitler berkuasa) menolak eksistensi Nazi.

Selain itu, 1. FC Nurnberg juga disebut-sebut sebagai klub yang dianakemaskan Adolf Hitler. Angka ‘1’ pada nama klub itu diisukan merupakan pemberian dari Adolf Hitler. Seperti halnya Hertha dan Schalke, 1. FC Nurnberg membantah informasi itu dengan menyebut angka ‘1’ itu sudah ada sejak klub berdiri pada 1907.

Sungguh sangat salah bila sepakbola dijadikan alat propaganda untuk menyebarkan paham serta ideologi yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan sepakbola. Sepakbola bukan tempat berpolitisasi.

Sepakbola adalah karya maha agung dari Tuhan yang Maha Kuasa dan bisa dimainkan oleh siapa pun. Tidak bijak rasanya jika mengkotak-kotakan sepakbola. Apalagi sampai menggunakan cara-cara primitif (baca: kekerasan) seperti yang diterapkan Hitler dan Nazi-nya.

Karena itu, izinkan penulis mengutip salah satu senandung Afgan Syahreza, ‘Terlalu sadis caramu, Hitler’.

Referensi:

https://sites.duke.edu/wcwp/research-projects/football-and-politics-in-europe-1930s-1950s/hitler-and-nazi-philosophy/

https://sites.duke.edu/wcwp/research-projects/football-and-politics-in-europe-1930s-1950s/hitler-and-nazi-philosophy/the-death-match/#fn-2824-12

https://www.republicworld.com/sports-news/football-news/was-hilter-schalke-fan-bundesliga-side-gives-fitting-response-football.html

https://thesefootballtimes.co/2019/02/14/matthias-sindelar-one-of-the-greatest-pre-war-footballers-who-danced-before-the-nazis/

https://www.goal.com/id/news/5650/sejarah-hari-ini/2015/08/08/14270952/sejarah-hari-ini-9-agustus-pertandingan-maut-melawan-fasisme

https://ligalaga.id/cerita/sejarah/fenomena-judenklub-sejarah-kelam-sepakbola-di-jerman/

https://sport.detik.com/sepakbola/liga-jerman/d-862719/hertha-tidak-terkait-dengan-nazi

*Penulis merupakan penikmat liga Inggris yang bisa disapa di @isalomonkalou

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar