MU Harus Bisa Menyambung Hidup Lewat Bola Mati

Analisis

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

MU Harus Bisa Menyambung Hidup Lewat Bola Mati

Sejak menang 4-0 atas Chelsea dalam laga pembuka Premier League 2019/20, Manchester United hanya mencetak lima gol dalam enam pertandingan berikutnya. Produktivitas mereka cuma lebih baik dari Watford (tiga gol) yang menempati dasar klasemen.

Tentu banyak alasan tersedia untuk digunakan, misalnya Anthony Martial cedera sejak pekan kedua. Padahal, Ia diplot sebagai penyerang utama menyusul kepergian Romelu Lukaku dan Alexis Sanchez ke Inter Milan.

Rekrutan anyar, Daniel James, awalnya nampak bisa menjadi andalan baru. Ia mencetak gol dalam tiga laga pertama berturut-turut, tetapi kemudian tidak memberikan banyak sumbangsih.

Performa Marcus Rashford juga tak sesuai ekspektasi. Ia baru mencetak satu gol - itupun dari titik putih - selepas brace melawan Chelsea. Jesse Lingard? Lebih baik tidak kita bicarakan.

Permasalahan nampak semakin pelik bagi Ole Gunnar Solksjaer karena anak-anak asuhnya tidak mampu memaksimalkan situasi bola mati (kecuali penalti). Dengan kekalahan 0-1 dari Newcastle United pada Minggu (06/10/2019), berarti Man United sudah 221 hari tidak mencetak gol melalui kesempatan tersebut. Mereka menjadi klub Premier League dengan masa puasa terlama.

Terakhir kali kreasi gol The Red Devils berawal dari bola mati adalah ketika melawan Crystal Palace di Selhurst Park pada 27 Februari 2019. Kala itu, sepak pojok Ashley Young disundul Chris Smalling dan diteruskan Victor Lindelof. Lukaku berada di posisi tepat untuk memastikan bola bersarang di jala gawang lawan.

Padahal, Man United bukannya tidak memiliki peluang. Mereka total dilanggar sebanyak 100 kali di sepertiga akhir lapangan sepanjang musim 2018/19. Jumlah tersebut hanya lebih sedikit dibanding Chelsea (112) dan Everton (106). Kebuntuan di daerah kotak penalti lawan semakin nampak jika melihat bahwa mereka mendapatkan 200 sepak pojok (tertinggi kedelapan).

Sementara, di musim ini, Man United telah dilanggar sebanyak 28 kali di sepertiga akhir - terbanyak di Premier League. Jumlah sepak pojok yang didapatkan juga sebenarnya cukup banyak, yakni 44 kali (tertinggi kedelapan).

Sebagai perbandingan, Brighton Hove & Albion dan Aston Villa sama-sama hanya mencatatkan 31 sepak pojok. Mereka adalah yang terendah di liga, tetapi sudah berhasil mengkonversikannya menjadi gol.

Situasi ini bukannya tak diindahkan oleh Solksjaer. Harry Maguire adalah salah satu pemain yang diandalkan setiap kali Man United mendapatkan sepak pojok atau tendangan bebas.

Kerelaan Man United membayar 85 juta Paun untuk menebusnya dari Leicester City bukan hanya karena kemampuan bertahan, memainkan bola, dan kepemimpinan Maguire. Ia juga merupakan ancaman nyata bagi lawan ketika menyambut sepak pojok atau tendangan bebas.

Satu gol dan satu asis yang disumbangkan Maguire bagi tim nasional Inggris di Piala Dunia 2018 berawal dari sepak pojok. Adapun dua dari tiga golnya bersama Leicester sepanjang musim lalu juga berasal dari bola mati.

Man United telah mencoba pelbagai pergerakan taktik untuk memaksimalkan bek termahal dunia tersebut. Dalam laga melawan Arsenal pada pekan ke-7 Premier League, Ia hampir mencetak gol lewat tendangan jika bukan karena penyelamatan gemilang Bernd Leno. Kesempatan tersebut datang setelah Andres Pereira mampu menjaga bola tetap hidup pasca kemelut selepas sepak pojok.

Dalam kesempatan lain, Maguire sukses menarik perhatian dua bek The Gunners. Hal ini membuat Paul Pogba mampu meneruskan bola kepada Scott McTominay yang berdiri bebas, namun sundulannya melambung di atas mistar.

Peluang yang (relatif) lebih mudah sebenarnya didapatkan oleh Maguire di St. James Park menjelang babak pertama berakhir. Ia sudah berdiri bebas ketika menyambut sepak pojok Young, tetapi bola masih melebar ke sisi kanan tiang gawang Newcastle.

"Mungkin, ini adalah masa paling sulit sejak saya berada di sini. Saya tidak tahu hal yang terjadi. Kami bahkan tidak bisa mencetak satu gol dalam dua pertandingan terakhir (termasuk melawan AZ Alkmaar di Europa League)," ucap kiper David De Gea, yang meninggalkan gawangnya ketika Man United mendapat tendangan bebas di menit akhir injury time, dalam wawancara seusai pertandingan. "Sulit untuk berkata-kata. (Kami) Minta maaf kepada para fans."

Lini belakang Man United sebenarnya jauh dari kata buruk. Jumlah kemasukan mereka (8 gol), hanya lebih banyak jika dibandingkan Liverpool (6), Leicester City, dan Sheffield United (7). Permasalahannya, sebagai tim dengan jumlah peluang terbanyak kelima (110) di Premier League sejauh ini, konversi gol mereka hanya sebesar 8,2% - terendah kelima. Hal ini tentu menggambarkan permasalahan kolektif yang tengah dihadapi oleh Solksjaer dan anak-anak asuhnya di lini depan.

Progres Man United di bawah arahan Solksjaer memang terasa lambat. Masalah yang menumpuk sejak Sir Alex Ferguson pensiun terlalu pelik untuk diselesaikan dalam kurun waktu singkat. Namun, jika manajemen dan para suporter cukup bersabar, mungkin titik terang harapan akan mulai nampak hidup; berawal dari memaksimalkan situasi bola mati.

Komentar