Peru Ciptakan Generasi Emas Tanpa Infrastruktur Memadai

Cerita

by redaksi

Peru Ciptakan Generasi Emas Tanpa Infrastruktur Memadai

Peru tidak punya pemain sekaliber Lionel Messi, Sergio Aguero, Arturo Vidal, Alexis Sanchez, Edinson Cavani, Luis Suarez, atau Jeison Murillo. Tidak ada pemain Timnas Peru yang bermain di kesebelasan top Eropa. Tapi siapa sangka La Blanquirroja mampu berprestasi dalam 10 tahun terakhir?

Pada 2018 lalu, Peru kembali tampil di Piala Dunia setelah gagal lolos dalam 36 tahun terakhir. Sementara itu dalam empat edisi Copa America, tiga di antaranya berhasil menembus ke babak semifinal. Teranyar, pada Copa America 2019, Si Merah - Putih ini berhasil menembus partai final untuk menantang Brasil, sang tuan rumah.

Tentu luar biasa bagi Peru karena berhasil ke Piala Dunia dan mencapai babak final Copa America dalam tempo dua tahun. Peru pun ke final Copa America 2019 dengan menang telak atas sang juara bertahan, Cile, lewat skor 3-0, di babak semifinal.

Rekam jejak Peru di Copa America dalam 10 tahun terakhir memang lebih baik bahkan dibanding negara-negara unggulan seperti Brasil dan Uruguay. Brasil baru kali ini mencapai final setelah pada tiga edisi sebelumnya dua kali terhenti di babak perempat final dan sekali sejak fase grup. Pun dengan Uruguay yang setelah juara pada 2011 gagal melampaui babak perempat final.

Keberhasilan itu tak lepas dari pelatih Peru saat ini, Ricardo Gareca. Menurut pelatih fisik Timnas Peru yang sudah berkecimpung di sepakbola Peru sejak 2007, Neston Bonillo, Gareca mampu membuat anak asuhnya tampil militan di lapangan. Mantan pemain Boca Juniors itu mampu menularkan semangat generasi emas Peru pada 1970-an pada pemain Peru di masa kini.

"Dia [Gareca] menghormati esensi dari sepakbola Peru. Bakat mereka datang dari generasi masa lalu. Itu tentang bermain sepakbola yang bagus, menguasai bola dengan baik, menikmati permainan, dan menyadari kemampuan mereka untuk bermain dalam sudut sempit," kata Bonillo saat diwawancari Reuteurs pada 2018 lalu.

Peru memang tercatat sudah memiliki dua gelar juara Copa America. Trofi Copa America pertama didapatkan 80 tahun yang lalu atau tepatnya pada 1939. Sedangkan trofi kedua diraih pada 1975. Pada era 1970-an itulah Peru disebut-sebut memiliki generasi emas karena memiliki talenta seperti Teofilo Cubillas, Hugo Sotil, Guillermo La Rosa, Julio Cesar Uribe dan Cesar Cueto. Pada periode 1970 sampai 1982, selain juara Copa America, Peru tiga kali berlaga di Piala Dunia (dari empat kesempatan) meski selalu tersingkir sejak fase grup.

Gareca baru bergabung dengan Peru pada 2015. Sejak saat itu ia mulai membangun skuat terbaik untuk sepakbola yang hendak ia mainkan. Menurut Bonillo, awalnya Gareca kesulitan mencari pemain yang ia inginkan. Terlebih kualitas pemain Peru memang tidak terlalu spesial seperti negara Amerika Selatan lain karena memang tidak memiliki infrastruktur yang memadai.

"Ketika pertama kali datang ke Peru, mereka [pemain] tidak memedulikan nutrisi, waktu istirahat, atau hidrasi dalam tubuh mereka. Tapi mereka sangat profesional ketika berada di atas lapangan," ujar Bonillo.

"Kami mulai mengumpulkan data semua pemain... seperti seberapa sanggup pemain tersebut bisa berlari, intensitasnya bagaimana, kami juga melihat respons mereka ketika menghadapi jarak pertandingan yang pendek, atau ketika kami bermain di ketinggian yang berbeda. Hal itu membuat kami bisa mengambil keputusan sehingga kami tidak mendapatkan apa yang kami tidak inginkan," sambungnya.

Dari situ juga Gareca dan staf pelatihnya mengetahui bahwa para pemain Peru tidak terlalu teknikal, tapi kuat secara fisikal. Satu hal lain yang memudahkan Gareca dan staf pelatihnya adalah para pemain Peru begitu mencintai negaranya. Dalam hal ini, para pemain Peru yang tidak tersentuh glamornya sepakbola Eropa membuat mereka tampil mati-matian demi negara mereka. Gareca pun menstimulus para pemainnya dengan tidak pernah menargetkan timnya untuk berprestasi setinggi mungkin.

"Kami memastikan bahwa beban tidak lolos ke Piala Dunia dipikul oleh mereka yang sebelumnya bermain di sini, bukan oleh kami. Daripada mencari kambing hitam atas sebuah kekalahan, dia [Gareca] lebih berbijaksana dalam melihat hasil," ungkap Bonillo. Hal itu menurut Direktur Olahraga Federasi Sepakbola Peru, Juan Carlo Oblitas, berpengaruh pada psikologis para pemain.

"Ketika para pemain datang ke sini, mereka seolah punya kehidupan baru. Timnas memberikan mereka darah baru, seperti menghidupkan kembali mereka. Kultur negativitas di tim ini berubah menjadi hal positif. Tim ini memperlihatkan Peru secara keseluruhan, tidak hanya di sepakbola, karena mereka bekerja sebagai tim dan bekerja dengan sangat baik. Kita bisa mencapai tujuan kita dengan hal tersebut dan itulah yang membuatku bangga dengan tim ini," ujar Oblitas yang merupakan mantan pemain Timnas Peru di Piala Dunia 1978.

Sejak di Piala Dunia 2018 hingga Copa America 2019 ini, memang tidak ada satupun pemain Peru yang bermain di klub besar top Eropa. Di Piala Dunia, paling "mewah" hanya Jefferson Farfan yang bermain di Locomotiv Moscow, atau Renato Tapia yang bermain untuk Feyenoord (sekarang di Willem II), atau Andre Carillo yang membela Watford.

Sekarang selain Farfan dan Tapia, hanya Carlos Zambrano yang bermain di Eropa, dengan membela Basel. Sebelumnya Peru punya Claudio Pizarro yang sempat bermain untuk Bayern Muenchen atau Juan Manuel Vargas yang pernah berseragam Fiorentina.

Selain itu, sejak awal kedatangannya, Gareca tak ragu mengandalkan pemain-pemain muda. Pada Piala Dunia 2018, Peru adalah salah satu kesebelasan yang "paling kurang berpengalaman". Dalam catatan The Guardian, 17 dari 23 pemain Timnas Peru kala itu bermain di klub lokal Peru dan 9 dari 11 pemain yang diturunkan sejak menit pertama melawan Brasil memiliki caps di bawah 10 pertandingan.

Pedro Gallese, penjaga gawang Peru, saat Gareca menukangi Peru di Copa America 2015, ia baru memiliki 6 caps. Sekarang pemain berusia 29 tahun itu sudah punya 55 caps. Christian Cueva yang sebelumnya hanya 7 kali berseragam Peru, kini sudah menorehkan 60 caps.

Sementara itu Miguel Trauco, Edison Flores, Renato Tapia, Luis Abram, Christofer Gonzales, dan Andy Polo adalah talenta-talenta baru yang potensinya berhasil dimaksimalkan Gareca. Tak heran dalam skuat Peru saat ini sudah banyak pemain dengan caps dari 40 kali ketika hanya ada tiga pemain yang berusia di atas 30 tahun.

Melawan Brasil di final nanti, Peru tentu akan datang dengan pemain-pemain yang jauh lebih berpengalaman dibanding pertemuan terakhir mereka, walau masih mengandalkan penyerang veteran macam Paolo Guerrero dan Farfan. Tapi dengan mencapai babak final pun Peru sudah membuktikan bahwa generasi emas mereka di bawah asuhan Gareca telah menunjukkan keberhasilannya.

foto: Forbes

[ar]

Komentar