Laga Satu Babak untuk Everton dan Chelsea

Analisis

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Laga Satu Babak untuk Everton dan Chelsea

Harapan Chelsea menyamai poin Arsenal di posisi keempat klasemen sementara Liga Primer Inggris harus kandas setelah The Blues kalah 0-2 dari Everton di Goodison Park pada pertandingan Minggu malam (17/03). Gol Richarlison dan Gylfi Sigurðsson di babak kedua juga sekaligus mengantarkan Everton menang melawan big six di Liga Primer untuk pertama kalinya selama dua tahun terakhir.

Sebelum pertandingan ini, Chelsea baru saja menang 5-0 di kandang Dynamo Kyiv di Liga Europa UEFA pada tengah pekan lalu. Sementara itu Everton dikalahkan tuan rumah Newcastle United 2-3 pada akhir pekan lalu. Pertandingan babak pertama setidaknya mencerminkan kondisi ini.

Chelsea begitu dominan dengan 67,5% penguasaan bola serta mencatatkan 10 tembakan (tiga tepat sasaran) selama babak pertama. The Toffees hanya bisa mencatatkan tiga tembakan (satu tepat sasaran) di rentang waktu serupa. Namun semuanya berubah pada babak kedua.

Meski masih kalah dalam penguasaan bola, pasukan Marco Silva mampu mencatatkan 12 tembakan (7 tepat sasaran) di babak kedua, sementara Chelsea hanya bisa menambah enam tembakan (dua tepat sasaran). Apa yang membuat Everton jauh lebih baik di babak kedua?

Chelsea Bermain Baik di babak Pertama, Tapi Tidak Klinis

Permainan Maurizio Sarri—Sarrismo—identik dengan dominasi permainan, penguasaan bola, dan sepakbola menyerang. Meski berada di posisi keenam di klasemen, statistik menunjukkan jika Sarrismo benar-benar seperti yang disebutkan di atas.

Chelsea menjadi kesebelasan terbanyak kedua setelah Manchester City dalam jumlah operan sukses, yaitu 18176 operan sukses dengan akurasi 87,9%. Bahkan kalau dihitung operan final third saja, Chelsea (84,9%) menjadi yang teratas, sedikit lebih unggul daripada Man City (84,8%).

Begitu juga dengan chances created, Chelsea berada di peringkat kedua dengan total 374 peluang, tertinggal 20 peluang dari The Citizens. Soal permainan, statistik benar-benar konsisten menunjukkan efek Sarrismo. Itu lah yang tercermin pada babak pertama ketika Chelsea menghadapi tuan rumah Everton.

Selain Jordan Pickford yang bermain gemilang dengan 5 penyelamatannya, kelemahan The Blues yang membuat mereka tak bisa mencetak gol pada babak pertama (meski mendapatkan banyak peluang) adalah karena mereka kurang klinis di depan gawang.

Salah satu pemain yang disoroti untuk hal ini adalah Gonzalo Higuaín, yang seharusnya sudah hapal skema Sarri di luar kepala. Penyerang asal Argentina ini setidaknya memiliki tiga tembakan (dua di babak pertama), tapi hanya satu yang on target (pada babak kedua, ditepis Jordan Pickford).

Grafis sentuhan bola Higuaín, dengan arah serangan ke kiri — sumber: WhoScored

Pada pertandingan semalam Higuaín terlihat terisolasi. Itu membuatnya hanya bisa dua kali menyentuh bola di dalam kotak penalti lawan. Bahkan dia beberapa kali bergerak mundur dan melebar untuk terlibat dalam permainan.

Kemudian ketika Chelsea butuh mengejar defisit satu gol, Higuaín justru ditarik keluar pada menit ke-66 digantikan oleh Olivier Giroud.

“Kami bermain 45 menit terbaik kami musim ini,” kata Sarri setelah pertandingan, mencoba memberikan pengertian. “Kemudian pada awal babak kedua, kami berhenti bermain. Aku tak tahu kenapa.”

Everton Menekan Tinggi di Babak Kedua

Sarri seharusnya tahu kenapa di babak kedua Chelsea “berhenti bermain”. Sejak peluit babak kedua dibunyikan, Everton memulai permainan dengan sangat cepat dan menekan tempo tinggi. Dominasi Chelsea benar-benar dikacaukan oleh pressing ini.

Pressing adalah kunci yang menjadi pembeda babak pertama dengan babak kedua. Tanpa pressing, Chelsea leluasa memainkan Sarriball di babak pertama. Everton bermain terlalu dalam di babak pertama, sehingga mereka kesulitan merebut bola dari Chelsea.

Bahkan sebaliknya, Chelsea yang terlihat lebih menekan di babak pertama ketika Everton mencoba memulai membangun serangan dari belakang.

Di babak kedua, Everton menekan lebih tinggi dan lebih agresif. Ketika bola masih berada di keempat bek The Blues, para penyerang Everton langsung menekan mereka, sehingga memaksa Chelsea memainkan bola kembali ke belakang atau meluncurkan bola panjang ke depan.

Bola-bola panjang yang dikirimkan David Luiz dkk terbukti tak ampuh menembus pertahanan Everton. Mayoritas dari 13 intersepsi yang Everton lakukan di babak kedua (total 18 intersepsi sepanjang pertandingan) berasal dari long ball Chelsea. Idrissa Gana Gueye menjadi bintang dengan mencatatkan 5 intersepsi, yang semuanya dicatatkan pada babak kedua.

Ilustrasi pressing tinggi Everton bisa disimak dari analisis JJ Bull di Telegraph berikut ini. Dia melihat perubahan heat map Everton dan Chelsea di babak pertama dan kedua.

Pada akhirnya pressing ini bukan hanya bisa mengganggu permainan Sarriball, melainkan juga bisa membuat Everton mendapatkan peluang. Hasilnya, babak kedua baru berjalan 30 detik, Everton langsung berhasil membuat shot on target dari André Gomes.

Tiga menit setelahnya, Everton mendapatkan sepak pojok dengan diawali pressing juga. Sepak pojok ini yang menghasilkan gol pertama Everton. Begitu juga gol kedua yang diawali lemparan ke dalam yang lagi-lagi diawali pressing Everton. Marcos Alonso kemudian melanggar Richarlison di dalam kotak penalti dengan diawali situasi ini. Benar-benar ampuh.

“Akan lebih mudah bagiku untuk membicarakan babak kedua. Kami tak di sana sejak menit pertama [babak pertama],” kata Marco Silva setelah pertandingan. “Kamu bisa membiarkan mereka (Chelsea) bermain dengan mudah kalau tidak di-pressing secara kuat.”

Sarriball Akan Selalu Kerepotan Jika Di-pressing

Tidak fleksibelnya taktik Sarriball ditunjukkan pada pertandingan semalam. Ketika Chelsea ketinggalan, Maurizio Sarri memasukkan Ruben Loftus-Cheek, Olivier Giroud, dan Callum Hudson-Odoi, tiga “senjata rahasia” mereka ketika membantai Dynamo Kyiv di Liga Europa. Ketiganya tidak bisa berbuat banyak di Goodison Park.

Dengan kekalahan dari Everton ini, Liga Champions mungkin semakin menjauh dari genggaman Chelsea meski Liga Primer Inggris masih menyisakan delapan pekan lagi. Padahal jika pekan lalu mereka mampu menang melawan Wolverhampton Wanderers serta semalam juga menang, Chelsea sudah berada di atas Arsenal sekarang.

Hal yang perlu diingat, pada 17 kesebelasan sebelumnya, Sarri belum sekalipun meraih gelar juara. Seharusnya Roman Abramovich sadar dari awal jika alasan penunjukkan Sarri bukan karena dia bisa membawa Chelsea juara, melainkan karena cara bermain Sarriball-nya yang menghibur.

Sayangnya menghibur saja tidak bisa membuat sebuah kesebelasan memenangi pertandingan, apalagi menjuarai liga. Berkali-kali “permainan menghibur” Chelsea direpotkan oleh pressing tinggi lawannya.

Khusus semalam, Chelsea bermain baik hanya di babak pertama, sementara Everton hanya di babak kedua. Pada pertandingan satu babak untuk masing-masing kesebelasan ini, Everton yang menjadi pemenang karena mereka lebih klinis di depan gawang.


Simak opini, komentar, dan sketsa adegan Rochy Putiray bersama pemain naturalisasi gadungan dan agennya, terkait kebijakan naturalisasi yang hanya merupakan akal-akalan klub dalam menyikapi peraturan pemain asing serta merugikan Tim Nasional Indonesia untuk jangka panjang:



Komentar