Sepakbola Melawan Eksploitasi Pekerja di Bawah Umur

Backpass

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sepakbola Melawan Eksploitasi Pekerja di Bawah Umur

Sebagai sebuah industri, sepakbola digerakkan oleh pelbagai sektor. Satu yang paling vital adalah produksi bola. Nahas, bola yang seharusnya menjadi benih cita-cita anak justru kerap menjadi perenggut mimpi atas nama kebutuhan hidup.

Setiap gelaran Piala Dunia memiliki bola edisi khusus. Untuk Piala Dunia 2018, bola keluaran Adidas itu diberi nama Telstar sebagai bentuk penghormatan kepada bola bernama sama yang digunakan pada Piala Dunia 1970.

Telstar 1970 dan Piala Dunia di Meksiko terbilang historis dan revolusioner. Ini adalah Piala Dunia yang pertama kali disiarkan secara langsung di televisi secara global. Maka demi membuat mata para penonton layar kaca nyaman, bola pun harus enak dipandang.

Nama Telstar sendiri sebenarnya merujuk pada satelit komunikasi pertama di dunia yang diluncurkan oleh NASA pada 1962. Jika diperhatikan sekilas, motif bola berwarna hitam-putih ini pun mirip dengan satelit yang telah menjadi bangkai luar angkasa itu.

Berbicara soal teknologi, bola yang akan digunakan di Rusia nanti adalah yang paling canggih dalam sejarah turnamen. Di dalamnya terdapat sebuah cip yang tersambung langsung dengan koneksi internet.

Hal ini memungkinkan para pengguna smartphone untuk bisa berinteraksi dengan bola secara real-time. Mereka juga bisa mengikuti kompetisi-kompetisi yang telah disiapkan.

Testar 18 diproduksi di Pakistan, lebih tepatnya di kota Sialkot yang terletak di perbatasan dengan India. Kota ini memang telah bekerja sama dengan Adidas sejak lama karena mampu menghasilkan bola berkualitas top, yang sayangnya sekaligus memiliki sejarah kelam terkait pekerja di bawah umur.

Sialkot mendapatkan sorotan tajam dunia internasional pada 1990an. Total, seperti yang dilaporkan BBC, sekitar 7.000 anak-anak berusia 5-14 tahun bekerja untuk menjahit bola menjelang Piala Eropa 1996. Bukan hanya Adidas yang memproduksi bola di sana, melainkan juga Nike, Reebok, Mitre, dan masih banyak lagi.

Salah satu alasan Pakistan (dan India) disukai oleh para perusahaan olahraga adalah karena biaya tenaga kerja yang murah. Mereka biasa dibayar di bawah gaji minimum, tanpa tunjangan dan hak-hak pekerja lainnya. Padahal ada ancaman kesehatan nyata yang membayangi di balik setiap ujung jarum dan untaian benang.

FIFA sendiri baru benar-benar mengambil sikap untuk melawan eksploitasi pekerja di bawah umur pada 1997 melalui sebuah kesepakatan dalam Pameran Perdagangan Alat-Alat Olahraga `Super Show` di Atlanta, Amerika Serikat. Kesepakatan ditandatangani oleh Dewan Pemerintahan Sialkot, Organisasi Tenaga Kerja Internasional (ILO), dan Unicef.

"Kami sangat berharap kesepakatan baru ini menjadi langkah krusial untuk mengentaskan kehidupan orang-orang muda yang terlibat," ucap Sepp Blatter, yang ketika itu masih menjadi Presiden FIFA.

Menyelesaikan masalah eksploitasi pekerja di bawah umur tidaklah semudah membubuhkan tanda tangan di atas kertas berisi perjanjian. Warga di Pakistan dan India sendiri banyak yang lebih suka anak-anak bekerja ketimbang sekolah.

"Saya pikir bekerja adalah bagian dari edukasi untuk anak-anak. Ini lebih menguntungkan ketimbang pergi ke sekolah. Setidaknya, mereka mempelajari sebuah keahilan," keluh seorang ibu di Sialkot, Zarina Bhati, kepada Guardian pada 2001.

Usaha ILO membangun sekolah dan memberikan edukasi kepada anak-anak pun menemui kendala. Tidak sedikit anak yang berhenti sekolah untuk kembali mencari pekerjaan. Untungnya, perlahan tapi pasti, kesadaran itu mulai tumbuh. Dan, pada 2002, ditetapkan bahwa 12 Juni adalah Hari Menentang Pekerja di Bawah Umur Internasional.

Salah satu gerakan ILO yang terkait langsung dengan dunia sepakbola adalah Red Card to Child Labour (Kartu Merah untuk Pekerja Anak-Anak). Diharapkan, sepakbola dapat menjadi ujung tombak pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak yang rentan terhadap hal-hal negatif.

Untuk produksi Telstar 18 sendiri, sejauh ini belum ada laporan mengenai eksploitasi pekerja di bawah umur. Terlebih karena Adidas telah menggunakan teknologi thermo-bonded (perekat menggunakan panas) sejak 2014, bukan dijahit dan dilem.

Pelaku industri peralatan olahraga Pakistan, Shaikh Jhangir Iqbal, mengklaim bahwa eksploitasi anak di bawah umur sudah tidak ada. Yang ada justru perasaan terwakili warga Pakistan oleh Telstar 18. Tahun ini, bola asal Pakistan dulu yang mengambil peran. Tahun-tahun mendatang, siapa yang tahu?

Komentar