Melawan Rasisme dengan Cara Elegan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Melawan Rasisme dengan Cara Elegan

Oleh: Haris Chaebar

Sulley Ali Muntari, gelandang asal Ghana yang pernah memperkuat Internazionale dan AC Milan mendapat perlakuan tak menyenangkan hati, berupa teriakan bernada rasisme dalam sebuah laga di Serie A. Pemain yang dikontrak Pescara pada musim 2016/17 itu merasakan fakta bahwa rasisme masih menjangkiti dunia sepakbola pada saat timnya bertandang ke markas Cagliari (30/04/2017).

Ironisnya, Muntari yang disasar kata-kata rasis itu justru dikartu kuning ketika meminta wasit menghentikan sejenak pertandingan akibat perlakuan rasis dari suporter Cagliari. Kejadian menarik pun muncul ketika Muntari walk-out dari pertandingan yang tengah berlangsung, akibat kesal karena tindakan rasisme plus wasit yang tidak objektif. Muntari memberikan jersey-nya kepada seorang suporter anak-anak Cagliari yang ikut mengeluarkan chant rasisme pada dirinya menuju ruang ganti.

“Mereka meneriaki aku (rasis) sejak awal laga,” kata Muntari. “Pada babak pertama aku melihat ada anak-anak berserta orang tuanya dalam gerombolan fans itu, lalu aku berikan jersey itu pada mereka untuk dijadikan pelajaran,” seperti dilansir dari Sky Sports Italia. Muntari pantas geram, karena anak-anak pun sudah mempunyai pemikiran rasis sedemikian rupa.

Rasisme kalau tidak diatur dengan benar lama-lama memang akan menjadi benalu yang mengancam keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat. Perlawanan akan rasisme yang dilakukan Muntari pun sebenarnya terlihat elegan dengan memberikan jersey pada anak yang mengucap rasis padanya. Setidaknya itu akan sedikit banyak membuat malu dan menjadi “memorabilia”, terutama bagi si anak kalau perbuatan yang ia lakukan itu tidak pantas.

Isu terkait rasisme mempunyai kadar sensitivitas yang begitu dalam. Maka tidak heran korban tindakan rasisme seringkali terluapkan emosinya, seperti dengan menendang keras bola ke arah suporter yang rasis a la Boateng atau mendadak keluar lapangan seperti Muntari. Tindakan spontan pemain-pemain ini alamiah dan kita tidak seyogyanya mempertanyakan balik atas reaksi frontal pemain-pemain itu akibat rasisme.

Rasisme masih menjadi penyakit kronis dalam hidup manusia, tak terkecuali dalam sepakbola. Berbagai perilaku rasial tak jarang bermunculan dan beberapa pemain pernah menjadi korban seperti Patrice Evra, Anton Ferdinand, Dani Alves, Mario Balotelli dan masih banyak lagi.

Di sisi lain, aktor penyulut rasisme pun bisa dipicu oleh pemain, suporter bahkan hingga ketua asosiasi sepakbola di sebuah negara. Sampai-sampai mantan presiden FIFA, Sepp Blatter, juga pernah mengeluarkan pernyataan yang seolah mengerdilkan efek negatif rasisme di dunia sepakbola.

Rasis adalah perilaku yang buruk dan tak beradab, dan hal itu sudah punya catatan negatif tersendiri dalam sejarah peradaban manusia. Politik “apartheid” Afrika Selatan menjadi salah satu contoh rasisme dalam khazanah tata kelola negara yang sampai sekarang masih dipraktikkan, meski hanya secara implisit di berbagai negara.

Walau kajian tentang hak asasi manusia yang salah satu di dalamnya memuat nilai kesetaraan ras semakin digencarkan, nyatanya pemikiran rasisme masih ada bahkan di kehidupan modern ini. Lihatlah betapa Amerika yang liberalis itu giat mencitrakan diri sebagai negara paling demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), namun justru presiden “rasis”-lah yang menjadi pilihan rakyat mereka.

Meski sangat sulit membumihanguskan rasisme yang ada dalam sepakbola, tetapi perlawanan harus tetap ada dan gencar dilakukan. Contohnya seperti beberapa pesepakbola di bawah ini yang melawan rasisme dengan cara elegan dan penuh maknawi yang bisa menjadi inspirasi bagi siapapun untuk melawan rasisme, khususnya dalam bidang sepakbola.

Dalam buku Simulakra Sepakbola karya Zen R.S, diceritakan bagaimana perlawanan Daniel Alves terhadap rasisme dengan bentuk mimikri (peniruan). Dalam suatu pertandingan, ketika Alves yang di lapangan mendapat lemparan pisang dari tribun, dia justru dengan tenang mengambil dan memakan pisang tersebut. Pisang untuk Alves dimaksudkan oleh para fundamentalis-rasis adalah sebagai simbol, guna menyerupakan Alves dengan primata. Lalu mereka sangat berharap gembira kalau Alves melahap pisang itu.

Usaha para peneror memang berhasil dan Alves memakan pisang, akan tetapi Alves memakan dengan ekspresi yang tenang, seolah tidak terjadi apa-apa dan tidak ada reaksi marah-marah seperti orang dihina dengan perilaku rasis pada umumnya.

Sudah menjadi hal jamak dalam kehidupan sehari-hari jika seorang penghina akan merasa puas kalau orang yang dihina akan bereaksi seusai ekspektasi sang penghina itu sendiri. Reaksi yang diimpikan oleh penghina seperti mengamuk, marah-marah, menangis atau ekspresi kekesalan lain.

Di sini Alves bersikap elegan dalam usahanya melawan rasisme yang ada di sepakbola. Apa yang ditunjukkan Alves justru berkebalikan dari ekspektasi si penghina. Dengan mimikri (memakan pisang dan berpura-pura mewujudkan ekspektasi peneror), bersikap dingin serta acuh, di saat yang sama itu juga dia justru menggagalkan “orgasme” para fans tersebut akan tindakan rasis mereka yang menyamakan Alves dengan primata.

Para suporter gagal melihat Alves marah, sedih apalagi mengamuk karena lemparan pisang mereka. Justru malahan pisang itu menjadi energi ekstra bagi para seorang atlet olahraga karena kandungan karbohidat dari pisang itu sendiri yang bisa terserap secara cepat oleh tubuh.

Perlawanan terhadap rasisme lewat cara mimikri oleh Alves ini akhirnya menjadi pemacu dalam jagad media sosial. Ramai-ramai pemain sepakbola ber-selfie sembari memakan pisang sebagai bentuk dukungan untuk Alves dan sekaligus propaganda melawan rasisme. Bahkan sampai-sampai Dilma Rouseff, mantan presiden Brasil, ikut-ikutan ber-selfie ria dengan gesture memakan pisang untuk mendukung aksi Alves melawan tindakan rasis.

Lain Alves lain pula Patrice Evra. Mantan pemain AS Monaco ini pernah mendapat perlakuan rasis ketika timnya dahulu, Manchester United, bertamu ke Liverpool pada musim 2011/12. Terselimuti oleh tensi tinggi dan suhu panas North-West Derby, adu mulut Patrice Evra dan penyerang Liverpool saat itu, Luis Suarez, terkontaminasi dengan perkataan yang berbau rasis.

Sebenarnya saling mengumpat antar pemain yang saling berhadapan dalam sebuah pertandingan sepakbola itu hal yang sering terjadi. Namun jika umpatan itu sudah menjurus ke hal-hal seperti menyinggung warna kulit atau ras, maka hal itu tidak bisa dibiarkan.

Dalam pasal 4 statuta FIFA, secara eksplisit disebutkan tindakan seperti menghina atas dasar ras atau warna kulit merupakan bentuk tindakan diskriminatif yang terlarang dalam sepakbola serta harus dijatuhi hukuman. Jadilah atas dasar itu (ditambah regulasi dari FA berkenaan rasisme), Luis Suarez dihukum larangan bermain 8 laga dan denda 40 ribu paun oleh FA akibat tindakannya kepada Patrice Evra.

Evra sendiri sebenarnya legawa atas perilaku Suarez, terbukti ketika Liverpool bertandang balik ke markas MU di musim yang sama, Evra hendak menerima jabat tangan dari Suarez. Namun tak disangka, justru Suarez yang enggan menjabat tangan Evra dan sempat memicu sedikit kehebohan menjelang laga. Insiden lanjutan atas efek dari kasus rasis itu merembet ketika Liverpool kalah dan secara terang-terangan Evra memprovokasi Suarez saat hendak keluar lapangan.

Meski begitu cermin keikhlasan seorang Evra bisa dilihat beberapa tahun setelah kasus racial abuse oleh Suarez itu terjadi. Ketika Evra sedang memperkuat Juventus, pada 21 Oktober 2016 mengunggah kembali sebuah unggahan Instagram dari Daniel Alves bergambar Luis Suarez membawa trofi Pichichi 2015-2016. Caption dari unggahan Evra saat itu adalah “En mi instagram allí solo el amor y el odio nunca!!! Luis, eres un gran jugador es el mejor numero 9 Felicidades Luis” yang memiliki arti "Dalam Instagram saya hanya ada cinta, tidak ada benci. Anda seorang pemain hebat dan merupakan penyerang nomor 9 terbaik. Selamat, Luis!".

Evra, seorang poligot dan merupakan anak dari seorang diplomat ini, dengan gentleman dan elegan mengatakan tidak lagi membenci Suarez, dan justru memuji striker berjuluk El Pistolero itu sebagai si nomor 9 yang terbaik. Di sini apa yang dilakukan Evra sangat mengekspresikan maksud baiknya terhadap Suarez. Siapa yang tidak malu ketika kita menghina seseorang, tetapi justru orang yang dihina itu dengan gagah berani dan berjiwa besar memuji kita selayaknya seorang teman sejati.

Sebelum perang dunia kedua meletus, Jerman dan Soviet pernah menjadi sekutu. Meski secara ideologi kedua negara ini jelas berseberangan (Jerman yang fasis dan Soviet itu sosialis), tetapi diplomasi antar keduanya sempat terjalin melalui Pakta Warsawa. Hitler telah menjadikan Soviet sebagai teman yang di saat bersamaan artinya mengalahkan mereka mengingat ideologi yang bertentangan dan Soviet merupakan negara besar yang berpotensi menjadi lawan kuat Jerman.

Apa yang dikatakan Abraham Lincoln, “Do I not destroy my enemies when I make them my friends?”, memiliki makna bahwa aku telah mengalahkan musuh ketika aku menjadikan mereka sebagai temanku. Dan Evra barangkali berpikir dan melakukan hal itu di dalam dimensi tersendiri, yakni dengan cara yang elegan telah menunjukkan perlawanannya terhadap rasisme.

Ia memuji Suarez seolah seperti teman sejati, tetapi di saat bersamaan bisa dimaknai bahwa dia juga menunjukkan pada dunia dirinya telah mengalahkan (menjadikan musuh menjadi teman seperti terminologi Abraham Lincoln) Suarez beserta musuh yang sebenarnya, yakni rasisme.

Pada akhirnya, cara-cara elegan beberapa pesepakbola di atas dalam mewujudkan titah say no to racism patut diapresiasi. Hal tersebut menjadi semacam preseden dan menginspirasi kita semua untuk melawan rasisme, yang sebenarnya tidak hanya muncul di sepakbola namun juga di segala aspek dan sendi-sendi kehidupan ini.

Penulis adalah mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Biasa berkicau di @chaebar_haris


Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis

Komentar