Siklus Polybius dalam Liga Sepakbola Eropa

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Siklus Polybius dalam Liga Sepakbola Eropa

Oleh: Khoirul Fahmi

Dalam beberapa tahun terakhir, baik berdasarkan statistik fakta di lapangan maupun opini publik, dunia sepakbola benar-benar sedang dikuasai oleh Spanyol. Berangkat dari renaisans tiki-taka oleh Barcelona-nya Guardiola yang mampu menghasilkan puluhan gelar untuk tim Catalan tersebut, lalu dilanjutkan dengan dominasi timnas Spanyol yang menjuarai Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2008 dan 2012.

Sampai sekarang, tim-tim asal Spanyol masih menjadi penguasa di berbagai kompetisi Eropa. Yang terakhir adalah ketika musim 2015/2016 Madrid menjuarai Liga Champions dan Sevilla menjadi kampiun Liga Europa. Pertanyaannya adalah, mengapa Spanyol dan tim-tim asal Spanyol bisa begitu hebatnya?

Dalam teori perkembangan sistem pemerintahan negara oleh Polybius, ada sebuah siklus menarik mengenai pemerintahan negara. Siklus itu dimulai dari Monarki – Tirani – Aristokrasi – Oligarki – Demokrasi – Okhlorasi, dan kemudian akan terulang menjadi Monarki kembali. Menariknya ada kemiripan siklus tersebut dalam perkembangan liga-liga sepakbola di dunia.

Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa Spanyol dan tim-tim dari Spanyol begitu dominan menguasai kompetisi Eropa. Nantinya saya akan banyak mengambil contoh melalui liga-liga Eropa yang relatif sudah merata di semua fase. Bahkan beberapa liga sudah mengalami beberapa lap putaran.

Dimulai dari kelahiran suatu liga baru. Setiap liga akan berusaha survive terlebih dahulu dengan memudahkan aturan dan perekrutan anggota agar liga bisa berjalan. Ini terlihat bagaimana di awal-awal berdirinya liga, biasanya banyak anggota tim (terutama pemain) yang bukan berasal dari negara sendiri. Bahkan terkadang beberapa tim anggota merupakan anggota tim dari klub amatir.

Contohnya adalah bagaimana dulu negara-negara Eropa membangun liga sepakbolanya. Begitu pula negara-negara Asia dan Afrika yang sedang berusaha mengembangkan sepakbolanya. Pada masa kini, hanya berlaku dua hukum. Pertama, siapa cepat dia diingat. Maka beruntunglah Inggris yang sudah memiliki FA Cup sejak 1871 dan Football League sejak 1888. Kedua, berlaku hukum Darwin yaitu survival of the fittest, siapa yang bertahan dia yang akan berkembang dan berjaya.

Seiring berjalannya waktu, akan muncul satu atau dua tim yang mendominasi liga, maka masa ini disebut fase Monarki. Di Italia, kita tahu bagaimana Genoa dan Pro Vercelli sempat merajai Liga Italia pada awal masa bergulirnya (1897-1928). Kemudian berulang lagi siklusnya pada 1970-1985 oleh Juventus, dan terulang lagi sekarang dengan tim yang sama.

Sedangkan di Inggris, Aston Villa dan Sunderland sempat memonopoli trofi juara pada awal masa bergulirnya Liga Inggris (1892-1902). Monopoli ini kembali berulang oleh Arsenal pada medio 1930-1935. Kemudian oleh Liverpool pada dekade 80-an bergantian dengan Manchester United pada dekade 90-an.

Beberapa tahun yang lalu, Real Madrid dan Barcelona tampak benar-benar berkuasa di liga Spanyol. Meski sebenarnya dominasi mereka sudah dimulai sejak awal kompetisi digulirkan pada 1929. Kadang diselingi fase Oligarki oleh Atletico Madrid dan Athletic Bilbao. Terlepas dari Oligarki Atletico dan Atheltic Bilbao, Madrid-Barca tetap dominan. Tim yang mendominasi ini akan mendongkrak popularitas liga jika ia mampu bersaing dan berprestasi dalam turnamen internasional, minimal membawa nama liga.

Dan saat ini, sepertinya Eredivisie masih berkutat dengan pola lama ini dengan PSV dan Ajax yang bergiliran memimpin klasemen. Begitu pula beberapa negara-negara Eropa lain seperti Turki, Ukraina, dan Rusia.

Fase selanjutnya adalah Tirani. Kekuasan yang bersifat monarki dan berlangsung lama akan menimbulkan pelencengan tujuan, maka jadilah kekuasaan Tirani. Begitu pula dalam sepakbola, tim besar yang dominan terus-menerus akan semakin berjaya dengan prestasinya hingga kemudian orientasinya berubah.

Mereka tidak lagi hanya mencari juara, tetapi mengintimidasi rival dan kadang meremehkan tim semenjana. Jika perlu, dengan dananya yang melimpah, mereka akan mencuri pemain bintang rival atau tim gurem untuk melemahkan dan menghancurkan. Faktor lain juga karena persaingan dalam kompetisi internasional yang seringkali tidak berimbang menuntut mereka berbuat lebih berani.

Ini terlihat paling jelas ketika awal abad 21 lalu, Real Madrid dengan Los Galacticos-nya membajak pemain bintang klub-klub besar dengan godaan gaji melimpah. Kemudian disusul beberapa tahun kemudian oleh Barcelona dengan tiki-taka-nya. Mereka tak hanya mencari menang, namun juga selisih gol yang besar.

Pemandangan yang sama juga terjadi di Bundesliga dan Italia saat ini. Bayern München membajak Mario Götze dan Mats Hummels dari Borussia Dortmund (Götze sudah kembali lagi ke Dortmund). Sementara di Italia, Juventus membajak Pjanic dari Roma dan Higuain dari Napoli. Pun begitu ketika PSG mengambil alih Layvin Kurzawa dari AS Monaco.

Ada juga proses pelemahan yang paling menghebohkan, yaitu ketika Luis Figo memutuskan untuk berganti seragam, dari biru-merah menjadi putih. Saat ini, liga di Eropa yang berada dalam fase ini adalah Bundesliga dan Serie A. Sementara Ligue 1 sudah lebih maju dan menuju transisi menjadi fase Aristokrasi. OGC Nice dan AS Monaco rupanya mulai menjadi pesaing kuat bagi kedigdayaan Lyon dan PSG.

Ketika kekejaman Sang Tirani semakin menjadi-jadi, maka muncullah sekelompok orang yang kuat dan baik, yang kemudian akan mengambil alih kekuasaan Tirani. Dalam sepakbola, akan muncul tim-tim pesaing baru untuk menantang tim-tim pemegang Tirani tersebut. Fase inilah yang sekarang dialami oleh Liga Spanyol.

Setidaknya ada 4 tim yang mendominasi pendapatan poin tiap pekan, yaitu Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid, dan Sevilla. Tak cukup disana, mereka juga bergantian merajai turnamen Eropa. Fase ini adalah fase terbaik untuk membesarkan nama liga. Dengan jumlah tim kuat yang lumayan banyak, maka persaingan domestik dan internasional cukup berimbang karena ada masa istirahat dan bersaing.

Saat musuh domestik kuat dan musuh internasional standar, atau sebaliknya, mereka bisa melakukan rotasi pemain. Sehingga, kemenangan demi kemenangan bisa dengan mudah diprediksi dengan permainan yang konsisten. Ini yang saya maksud alasan mengapa Spanyol tampak menjadi yang terbaik sekarang.

Beberapa waktu lalu, sebelum munculnya Big Four asal Spanyol ini, Inggris sudah lebih dulu memiliki Big Four, yaitu Chelsea, Manchester United, Arsenal, dan Liverpool. Sebelum akhirnya, kemapanan itu dirusak oleh Man. City dan Tottenham. Sementara Big Four Italia, yaitu Juventus, Inter Milan, AC Milan, dan Napoli sudah hancur sejak dekade 80-an. Dan sekarang bahkan telah mengulang putarannya kembali.

Fase berikutnya adalah fase yang baru saja dilalui oleh liga Inggris saat ini, yaitu Oligarki. Dominasi sekelompok tim yang berlangsung lama kemudian berubah orientasinya menjadi persaingan gengsi dan harga diri. Sikap saling menjatuhkan dan persaingan yang berlebihan membuat fokus mereka mengejar gelar juara pecah.

Maka wajar jika momentum ini dimanfaatkan oleh mereka yang siap melompat. Dalam hal ini, Manchester City dan Tottenham adalah tim yang paling beruntung. Everton juga sempat ikut dalam bursa persaingan meski kemudian segera tersingkir kembali akibat manajer mereka, David Moyes, dibajak oleh United. Kondisi ini juga akan merembet ke persaingan internasional. Pamor liga akan ikut turun karena prestasi tim yang bersaing dalam turnamen semakin buruk akibat persaingan tidak sehat dan tidak perlu.

Ketika sadar bahwa kondisi sudah semakin buruk, muncullah fase Demokrasi. Inilah fase yang sekarang sedang dialami oleh Liga Inggris. Juara dan kemenangan tak hanya diraih oleh mereka yang berduit dan kaya saja. Namun mereka juga perlu dukungan kuat dari suporter, soliditas tim yang kuat, tim manajer yang kompak, strategi transfer yang jitu, dan permainan yang konsisten.

Terbukti musim 2015/2016, Leicester City, tim yang tak diunggulkan bisa menjadi kampiun di akhir musim. Mereka adalah People`s Champion, juara di hati banya orang. Bagi saya ini adalah contoh demokrasi terbaik odi sepakbola, demokrasi yang harmonis. Barangkali Indonesia perlu mengambil pelajaran dari arti demokrasi yang diperagakan Leicester City musim lalu.

Fase ini adalah fase yang unik. Pada fase ini, jarang sekali ada tim yang mampu juara beruntun dan dominan. Masing-masing tim akan merasa berimbang dan bersaing ketat memperebutkan gelar juara domestik. Lagi-lagi resikonya, mereka akan kehilangan pamor dalam turnamen internasional seperti Liga Champions dan Liga Europa.

Hal ini terjadi karena, energi para pemain dan manajer tim sudah habis terkuras untuk persaingan domestik, sehingga tak mampu meladeni determinasi tim-tim di kancah internasional. Inilah yang kemudian menyebabkan pamor Liga Inggris turun dalam beberapa musim terakhir. Tren ini juga berlaku untuk Serie A yang sudah lebih dulu jatuh pamor bahkan sampai dilangkahi oleh Bundesliga.

Fase terakhir adalah fase Okhlorasi. Dalam siklus Polybius, fase inilah yang jarang terjadi. Kebanyakan langsung kembali menjadi Monarki. Pada fase ini, karena tidak ada lagi yang dominan dan berkuasa, semuanya bebas berkehendak dan berbuat. Siapa kuat dan beruntung, dia yang menang.

Ketika fase ini terus-menerus terjadi, maka akan muncul ketidakteraturan. Kondisi chaos ini kemudian akan memunculkan sosok-sosok pejuang kebaikan yang berusaha mendominasi kembali dengan niat yang baik. Dalam versi sepakbola, kekacauan pola menang-kalah-seri antar tim dalam liga dan persaingan ketat memperebutkan gelar juara akan melahirkan banyak efek negatif.

Efek-efek negatif itu dapat muncul dalam bentuk persaingan tidak sehat, saling mencederai lawan, hingga akhirnya menurunkan pamor liga tersebut. Ketika kondisi semakin memburuk, nantinya akan muncul sosok tim yang bermain cantik dan hebat, yang akan kembali menaikkan derajat liga tersebut di pentas internasional melalui dominasi domestiknya.

Menarik kita tunggu, siapakah yang akan menjadi The Next Hero untuk Liga Inggris? Atau bagaimanakah nasib Big Four Spanyol? Lalu sejauh mana mereka akan mempertahankan dominasinya? Dan bagaimana nasib Sang Tirani Italia, Juventus? Biarlah waktu yang akan menceritakan.

Penulis adalah mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Biasa berkicau di akun @fahmi002

Komentar