Bangkitnya Kembali Wunderteam Austria

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Bangkitnya Kembali Wunderteam Austria

Di ranah sepakbola, nama Austria tidaklah sementereng Brasil, Spanyol, ataupun Jerman. Prestasi mereka saat ini tidaklah memukau.

Meski begitu, Austria pernah memiliki kesebelasan negara berjuluk "Wunderteam" yang disegani dunia pada era 1930-an. Dilatih manajer berdarah Yahudi, Hugo Meisl, Austria sempat melalui 14 laga internasonal tanpa kekalahan dalam rentang satu setengah tahun (April 1931 - Desember 1932). Rekor yang terbilang impresif di era sepakbola pra Perang Dunia II kala itu.

Ditulis oleh: Heru Chrisardi

Wunderteam tercatat mengalahkan Hungaria dengan skor 8-2, lalu melumat Jerman dua kali dengan skor 6-0 dan 5-0 dalam serangkaian laga internasional. Bintang mereka kala itu adalah Matthias Sindelar, penyerang keturunan Republik Ceko berjuluk "The Papery Man". Selain mencetak hattrick di laga melawan Jerman, Sindelar pun dianugerahi gelar pemain terbaik Austria abad 20. Ia dikenal lewat dribbling-nya yang khas nan lincah bak Lionel Messi pada masa kini.

Wunderteam (Foto: dailyvedas.com) Wunderteam (Foto: dailyvedas.com)


Piala Dunia 1934 di Italia menjadi ajang prestisius buat Wunderteam untuk makin menasbihkan kapasitas mereka. Diunggulkan sebagai salah satu kandidat juara, Sindelar dkk., berhasil mengandaskan Prancis dan Hungaria untuk maju ke babak semifinal.

Di laga krusial melawan tuan rumah Italia, yang turut disaksikan Benito Mussolini, Austria harus pulang dengan kekalahan kontroversial. Italia, yang sepanjang turnamen kerap diuntungkan oleh keputusan-keputusan wasit, menang lewat gol tunggal Giuseppe Meazza. Sebuah gol kontroversial berbau pelanggaran karena terjadi kontak keras dengan kiper Austria, Peter Platzel. Wunderteam akhirnya mengakhiri turnamen di posisi keempat setelah kalah 2-3 melawan Jerman pada perebutan peringkat ketiga.

Dua tahun berselang, Wunderteam berhasil melaju hingga partai final Olimpiade Berlin dan kembali bertemu Italia. Sayang, revans tak terbalaskan dan mereka harus merelakan Italia meraih medali emas. Setelah itu, nasib buruk seolah mendatangi Wunderteam. Meigl wafat setahun sebelum Piala Dunia 1938 dimulai. Belum lagi dibuatnya keputusan yang mengharuskan pemerintahan Austria wajib bergabung ke Jerman Besar pimpinan Hitler yang menyebabkan Wunderteam batal tampil di ajang bersangkutan. Praktis timnas Jerman, yang kala itu kental dengan aroma politik, mengambil alih posisi Austria di Piala Dunia 1938.

Puncaknya, Sindelar ditemukan tewas bersama kekasihnya di kamar apartemennya pada 1939 akibat keracunan karbonmonoksida . Disinyalir hal ini merupakan campur tangan Nazi karena Sindelar menolak ajakan Jerman untuk bermain buat timnas mereka, di samping juga melakukan sindiran halus terhadap Nazi dalam laga internasional terakhir Austria sebelum bergabung dengan Jerman.

Selepas era Wunderteam dan PD II, Austria berhasil menduduki peringkat ketiga di Piala Dunia 1954. Pencapaian yang sedikit lebih baik ketimbang era Wunderteam. Namun siapa sangka, selepas itu kiprah timnas Austria seolah berjalan di tempat. Selanjutnya mereka kesulitan lolos ke babak utama Piala Dunia. Sekalipun berhasil lolos, mereka tak pernah mencapai fase knock-out, termasuk insiden main mata dengan Jerman Barat di Piala Duna 1982 yang merugikan Aljazair.

Penampilan terakhir Austria di Piala Dunia adalah Piala Dunia Perancis 1998. Saat itu mereka finis di urutan ketiga grup B di bawah Italia dan Chile. Selewat info, gawang Austria yang kala itu dikawal Michael Konsel sempat dibobol oleh Pierre Njanka, eks pemain Persija dan Arema, sewaktu berjumpa Kamerun yang menjadi juru kunci grup.

Kembali ke Prancis dengan Meyakinkan

Tujuh belas tahun berlalu, timnas Austria memastikan mereka akan kembali menuju Prancis. Bertandang ke Solna, kandang timnas Swedia, 8 September 2015, Austria mengalahkan tuan rumah 4-1 dan mengamankan satu tiket ke Piala Eropa 2016. Ini merupakan lolosnya Austria ke Piala Eropa untuk pertama kali lewat fase kualifikasi, sekaligus menjuarai Grup G dengan dua laga tersisa, terpaut cukup jauh dengan peringkat kedua Rusia (8 poin).

Osterreich menyusul jejak Inggris, Republik Ceska, Islandia, dan tentu saja tuan rumah Prancis, yang lebih dulu lolos. Sebuah pencapain yang bisa dibilang menandai keberhasilan Austria keluar dari masa-masa suram sepakbola internasional mereka.

Berada satu grup bersama negara-negara dengan tradisi sepakbola lebih kuat seperti Rusia dan Swedia, serta kuda hitam Montenegro tak membuat Austria gentar. Penampilan yang cukup baik di kualifikasi Piala Dunia 2014, di mana mereka finis ketiga di bawah Jerman dan Swedia, nyatanya menjadi motivasi buat David Alaba dkk., untuk berbicara banyak kali ini.

Seolah memulai babak baru dalam persepakbolaan mereka, Austria menjalani kualifikasi dengan meyakinkan, nyaris sempurna. Statistik berbicara. Tujuh dari delapan laga sejauh ini berhasil disapu dengan tripoin, dan satu laga berakhir imbang kala menjamu Swedia di pertandingan pembuka. Rusia dikalahkan kandang-tandang. Gawang Robert Almer bahkan tidak kebobolan selama 593 menit (nyaris 10 jam), sebelum dikoyak gol konsolasi Zlatan Ibrahimovic pada laga terakhir.
Austria (Foto: uefa.com) Austria (Foto: uefa.com)


Penampilan konsisten Austria memang terbilang mengejutkan. Ini merupakan hasil dari fondasi yang dibangun dan prinsip teguh pelatih Marcel Koller semenjak ditunjuk OFB (federasi sepakbola setempat) menangani timnas Austria di tahun 2011. Awalnya ia sempat dipandang sebelah mata oleh penggemar sepakbola lokal mengingat statusnya sebagai eks pemain Swiss, yang notabene merupakan negara tetangga sekaligus ‘rival’ Austria selain Jerman.

Namun Koller nampaknya tak mengacuhkan itu dan fokus dengan pekerjaan yang diembannya. Dengan cermat dan perlahan ia menyatukan beberapa aspek yang menjadi poros timnas Austria saat ini. Tidak instan memang, tapi berbuah manis. Mereka yang merupakan ‘lulusan’ Piala Dunia U-20 tahun 2007 dimana Austria berhasil meraih peringkat keempat; Sebastian Prodl, Martin Harnik, Zlatko Junuzovic, Rubin Okotie dipadukan dengan para pemain berpengalaman seperti Almer, Christian Fuchs, dan Marc Janko.

Bisa dibilang timnas Austria saat ini merupakan generasi baru yang memiliki potensi besar, layaknya Eden Hazard dan para koleganya di timnas Belgia. Banyaknya pemain Das Team (julukan timnas Austria) yang berkiprah di Premier League dan Bundesliga juga menjadi bukti bahwa sepakbola Austria tengah dalam proses menuju prospek cerah.

Prodl (Watford), Fuchs (Leicester), dan Marko Arnautovic (Stoke City) berkiprah di tanah Inggris. Sementara Alaba (FC Bayern), Harnik (Stuttgart), dan Junuzovic (Werder Bremen) adalah segelintir nama familiar dari ranah Jerman. Bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan liga-liga papan atas Eropa dihiasi oleh nama-nama pesepakbola Austria.

Nah, satu sejarah baru telah tercatat oleh generasi baru. Mungkin terlalu naif rasanya jika kita menyandingkan Alaba cs. dengan Wunderteam, namun tak ada salahnya optimisme diapungkan terhadap timnas Austria saat ini.

Setelah sekian dekade, para penggemar sepakbola Osterreich boleh berharap timnas kesayangan mereka berkiprah cukup jauh –lagi- di turnamen antarnegara.

foto: theglobeandmail.com
*Penonton layar kaca. Pelatih layar PC. Akun twitter: @heruchris

Komentar