Mengenang Yugoslavia, Brasil dari Eropa

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mengenang Yugoslavia, Brasil dari Eropa

"Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”

Sepenggal kalimat yang keluar dari mulut salah satu bapak bangsa kita, Soekarno, menyadarkan kita perihal pentingnya peristiwa di masa lampau terhadap perkembangan suatu hal di masa depan. Namun demikian, saya tidak akan menjelaskan beberapa peristiwa penting tersebut karena memang sudah menjadi tugas guru mata pelajaran sejarah untuk menjelaskannya di bangku sekolah. Biarkan kalimat tersebut menjadi intermezzo dari sekelumit kisah tentang persepakbolaan Yugoslavia di bawah ini.

Yugoslavia, pada masanya merupakan sebuah negara di tenggara Benua Eropa yang terbentuk pada 1918. Negara yang beribukota di Beograd ini pernah mengalami fase perubahan dari kerajaan Yugoslavia ke dalam wilayah kesatuan bernama Republik Federal Sosialis Yugoslavia yang dipersatukan oleh Josip Broz Tito pada 1945.

Luasnya mencapai 102.350 km², hampir setara dengan luas Pulau Jawa yang mencapai 126.700 km². Secara geografis, saat ini Yugoslavia telah pecah menjadi beberapa negara diantaranya Slovenia, Makedonia, Serbia, Montenegro, Bosnia dan Herzegovina, Kroasia, dan Kosovo.

Sejatinya, persepakbolaan Yugoslavia dimulai pada 1918 dimana saat itu Kerajaan Yugoslavia membentuk tim nasional sepakbola Yugoslavia yang kelak mendapatkan julukan Plavi atau Pasukan Biru yang diambil dari warna kostum kandang mereka. Dalam perjalanannya, mereka bertansformasi menjadi salah satu kekuatan baru di dunia. Sempat menelan pil pahit saat digasak 7-0 oleh Cekoslovakia dalam pertandingan internasional pertamanya di Olimpiade Musim Panas Antwerpen 1920, tim ini segera bangkit. Puncaknya terjadi pada sepuluh tahun kemudian saat Plavi berhasil menjadi semifinalis dalam gelaran pertama Piala Dunia di Uruguay. Predikat tersebut kembali mereka dapatkan pada gelaran Piala Dunia 1962 di Chile. Saat itu mereka mewakili Republik Federal Sosialis Yugoslavia dan di akhir pertandingan dikalahkan tuan rumah 1-0 lewat gol dari Eladio Rojas di menit akhir.

Tidak hanya di Piala Dunia, pencapaian mereka dalam level Eropa pun tidak bisa dianggap remeh. Plavi telah meraih dua kali runner-up pada gelaran Piala Eropa 1960 dan 1968. Khusus untuk Final Piala Eropa 1968 melawan Italia, mereka bahkan sempat menahan imbang lawannya 1-1 sebelum kalah 2-0 dalam pertandingan ulangan lewat lesakan gol dari Luigi Riva dan Pietro Anastasi (saat itu dalam pertandingan belum memakai sistem extra time).

Kenyataannya, Plavi selalu menjadi langganan Piala Dunia dan Piala Eropa walaupun seringkali mereka juga tidak diperbolehkan mengikuti kualifikasi dalam beberapa gelaran karena kondisi Yugoslavia yang tidak stabil dan diperparah dengan adanya perang saudara.

Dijuluki Brasil dari Eropa

Saat berada dalam era keemasannya, Yugoslavia juga mendapat julukan Brasil dari Eropa karena visi bermain mereka yang taktis dan mematikan layaknya Brasil yang saat itu sedang berjaya berkat sentuhan ajaib Pelé dan rekan-rekannya. Plavi melahirkan pemain-pemain sekaliber Dragan Džaji?, Branko Zebec, dan Stjepan Bobek yang digadang-gadang menjadi pesepakbola terbaik saat itu.

Džaji? dikenal melalui kemampuan dribbling, akurasi umpan, dan tendangan bebas yang luar biasa. Kemampuannya mengantarkan pada gelar pencetak gol terbanyak dalam gelaran Piala Eropa 1968. Lain Džaji?, lain pula Zebec. Mengawali kariernya sebagai pemain berposisi bek kiri, ia kemudian bertransformasi menjadi salah satu legenda Yugoslavia. Memang, ia dianugerahi kecepatan dan kemampuan dalam duel udara, namun ada satu hal yang menjadi keunggulannya yaitu versatilitas yang tinggi karena ia dapat ditempatkan di posisi manapun dan ia selalu bermain dengan baik. Bobek, yang berposisi sebagai penyerang menjadi pencetak gol terbanyak yang pernah dimiliki oleh Yugoslavia dengan mengoleksi 38 gol dari 68 pertandingan.

Selain tiga nama di atas, masih ada beberapa nama besar lainnya seperti Predrag Mijatovi?, Robert Prosine?ki, Darko Pan?ev, Robert Jarni, dan Zvonimir Boban. Mereka termasuk dalam tim yang menjuarai Piala Dunia Junior pada 1987. Tiga nama terakhir pada akhirnya membela tim nasional Kroasia setelah Kroasia memisahkan diri dari Yugoslavia. Bahkan Boban menjadi legenda hidup AC Milan atas kontribusinya membawa AC Milan meraih empat kali gelar Serie A dan satu gelar Liga Champions UEFA.

Perang Balkan Mengubur Harapan

Namun demikian, meletusnya Perang Balkan pada 1992 menjadi bom waktu bagi persepakbolaan Yugoslavia. Perang yang dicetuskan oleh Slobodan Miloševi? selaku pemimpin tertinggi Yugoslavia saat itu menghancurkan semua sektor dan mendorong terjadinya genosida terhadap etnik Muslim Bosnia, masyarakat Kroasia dan Slovenia yang mengakibatkan pecahnya Yugoslavia menjadi beberapa negara sesuai karakteristik budaya, agama dan etnisnya.

Dalam bidang sepakbola, PBB melarang partisipasi olahragawan asal Yugoslavia dalam semua kejuaraan internasional yang mengakibatkan turunnya larangan tampil pada putaran final Piala Eropa 1992 di Swedia akibat situasi politik yang tidak stabil dan rusuhnya suporter Yugoslavia kala mendukung tim mereka. Posisi Yugoslavia digantikan oleh Denmark, yang diperkuat oleh Brian Laudrup dan Peter Schmeichel.

Danish Dynamite, julukan Denmark, sukses mengejutkan banyak pihak. Penampilannya yang atraktif berhasil merobohkan Inggris dan Perancis di penyisihan grup, Belanda di semi-final, dan Jerman di laga puncak. Seandainya kondisi politik mendukung Yugoslavia, pastilah mereka yang akan mengangkat trofi Piala Eropa di Stadion Ullevi di Göteborg 23 tahun silam.

Boleh dibilang, Yugoslavia telah kehilangan satu momen untuk bersinar. Padahal, saat itu kekuatan sepakbola sedang berada di bagian timur yang dibarengi dengan kesuksesan Red Star Belgadre menjuarai Piala Champions dan Piala Interkontinental pada 1991.

Puncak dari perang tersebut yang terjadi pada 1991-1992 ketika Slovenia, Makedonia, Bosnia-Herzegovina, dan Kroasia memproklamasikan kemerdekaan juga mengakibatkan terpencarnya anggota generasi emas sepakbola Yugoslavia. Sebagian memilih untuk membela negara-negara pecahan layaknya Boban dalam tim nasional Kroasia, Sre?ko Katanec dalam tim nasional Slovenia dan Hasan Salihamidži? di tim nasional Bosnia-Herzegovina, sebagian lagi bertahan dalam Yugoslavia layaknya Mijatovi? dan Siniša Mihajlovi?. Para anggota generasi tersebut kembali muncul di panggung sepakbola dunia meskipun dengan membawa identitas negara yang berbeda-beda.

“Bom waktu” persepakbolaan Yugoslavia masih terus menghitung hari sampai pada 21 November 2002 ketika negara ini menelan kekalahan 3-0 dalam pertandingan internasional terakhirnya melawan Perancis di Stade de France lewat lesakan gol dari Oliver Kopa dan brace dari Eric Carriere. Setelah pertandingan tersebut, tim nasional Yugoslavia resmi berubah menjadi tim nasional Serbia dan Montenegro.

Harapan akan kecemerlangan Plavi, yang baru saja melahirkan sejumlah talenta yang akan selalu dikenang oleh penggila sepak bola dunia harus ikut hancur. “Perang telah menghancurkan segalanya. Jika saja kami masih bersama, mungkin tangisan yang terdengar bukan tangisan dari mereka yang kehilangan putra, istri, dan suami akibat peluru yang ditembakkan serdadu Serbia,” sesal Prosine?ki, salah satu anggota generasi tersebut yang membela Real Madrid di kemudian hari.

Membayangkan Yugoslavia Jika Masih Utuh Sampai Saat Ini

Dalam perkembangannya, prestasi negara-negara pecahan Yugoslavia juga tidak bisa dibilang buruk. Berdasarkan Rangking FIFA pada 2015, Kroasia bertahta di peringkat 16, Bosnia-Herzegovina 30, Slovenia 46, Serbia 63, Montenegro 72, dan Makedonia 132. Khusus bagi Kosovo, negara ini  belum masuk ke dalam FIFA dan baru memainkan laga internasionalnya melawan Haiti pada 5 Maret 2014.

Tidak mengherankan jika peringkat FIFA timnas negara-negara pecahan Yugoslavia cukup “berwibawa”. Saat ini pun mereka merupakan tim-tim kuda hitam yang berpotensi merusak kejayaan tim nasional Eropa dan Amerika Latin. Beberapa pemainnya pun merupakan tulang punggung dari klub sepakbola elite Eropa.

Bayangkan saja, jika saja Yugoslavia tidak terpecah menjadi beberapa bagian, pasti negara ini akan menjadi salah satu poros kekuatan utama dalam sepakbola dunia bersama tim sekaliber Jerman dan Spanyol di Eropa bagian barat serta Argentina dan Brasil di Amerika Selatan. Kita dapat menyaksikan tangguhnya Samir Handanovi? dan Asmir Begovi? di bawah mistar gawang dan kokohnya benteng pertahanan yang dibuat oleh Neven Suboti?, Stefan Savi?, Senad Luli?, dan Branislav Ivanovi?.

Jangan lupakan peran vital Aleksandar Kolarov di Manchester City dan Marko Baša di Lille OSC. Di lini tengah terdapat perpaduan ciamik dari Ivan Rakiti?, Luka Modri?, Miralem Pjani?, Nemanja Mati?, dan tentunya talenta baru Real Madrid, Mateo Kova?i?. Lini tengah yang dipenuhi oleh para kreator serangan tim papan atas tersebut tentunya akan memanjakan duet bomber Mario Mandžuki? dan Edin Džeko yang sama-sama dikenal buas di klub mereka masing-masing.

Dengan segudang bakat tersebut. Yugoslavia bisa saja lebih hebat dari timnas Jerman atau Spanyol sekalipun. Bukan hal yang tidak mungkin juga kalau mereka menjadi jawara Eropa dan menjadi langganan Piala Dunia. Namun demikian, mari kita merenungkan kalimat yang dituturkan Soekarno di atas dan mengorelasikan dengan hal ini.

Perang tersebut telah membawa mereka pada sebuah realitas yang harus dihadapi dan tidak sepatutnya dilupakan oleh rakyat Yugoslavia. Kini, saatnya pemain dan penggila sepak bola negara pecahan Yugoslavia mengenang dan memandang peristiwa dua dekade lalu sebagai sebuah persimpangan yang membawa mereka pada masing-masing jalan yang akan selalu menuntun untuk meraih gelar melalui negara-negara yang mereka dukung dan bela saat ini.

Penulis berasal dari Pemalang dan berstatus mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Biasa berkeliaran di twitter dengan username @Primagung_

Komentar