Hubungan antara Sam Allardyce dan Julian Casablancas

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Hubungan antara Sam Allardyce dan Julian Casablancas

Ditulis oleh Teguh Rama

Memasuki hari keempat Pandit Camp, para peserta diberi materi tentang literasi sepakbola yang memanfaatkan budaya populer. Budaya populer adalah budaya yang paling mudah disentuh dan dimasuki. Ia begitu dinamis dan dekat dengan kita. Membicarakan budaya populer sama saja dengan membicarakan kesenangan kita pada film, musik ataupun buku. Lantas, apa jadinya jika literasi sepakbola dengan budaya populer? Ketiga peserta Pandit Camp sudah menjawabnya lewat tulisan-tulisan mereka.

xxxxx

Sam Allardyce terbangun dari tidurnya di pagi buta. Ia masih ingat apa yang dikatakan oleh David Gold dan David Sullivan, co-chairman West Ham United tadi sore. “Tuan Sam, kita telah menggaji anda 3 juta poundsterling setahun. Kami tahu anda bekerja keras, namun kesepakatan untuk membuat tim ini lebih sukses dan bermain atraktif!” ujar Sullivan. “Kabar perpanjangan kontrak akan kami diskusikan bersama seluruh pemegang saham,” tutup Gold.

“I’m tired of everyone I know... of everyone I see on the street and on TV..” Sebuah potongan lirik On the Other Side, sebuah lagu galau dari The Strokes. Lagu ini mungkin tepat untuk menggambarkan suasana hati Big Sam. Semakin banyak orang yang ia lihat memasang muka marah setiap berpapasan dengannya, bahkan tak jarang ia menerima makian ketika sedang makan di sebuah kedai kebab  sekitar rumahnya. Begitupun saat ia melihat ulasan pertandingan West Ham di televisi. Allardyce benci diperlakukan seperti itu. Ia benci dengan semua orang yang dilihatnya.

Kegalauan Big Sam pun semakin dalam, setelah ia menyadari kalau hampir setiap West Ham United bermain, ia selalu mendapat ejekan dari penonton. Ia tak terima diperlakukan seperti itu, mengingat jasa eks-manajer Newcastle United tersebut membawa The Hammers kembali ke Premier League. “Dasar orang-orang tak tahu diuntung!” gumamnya.

Sam keluar dari rumahnya. Ia kemudian berjalan menuju stasiun kereta. Sekilas adegannya mirip dengan apa yang dilakukan Joel Barish (Jim Carey) pada awal film Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Ia pergi dari rumahnya dengan emosi hampa, tapi otaknya selalu menuntun kepada tempat di mana ia merasa harapannya sebagai finest englishmen gaffer selalu tumbuh, Upton Park.

Sambil duduk di kursi kereta, Allardyce teringat tentang kenangan-kenangan yang ia lewati bersama West Ham. Ia teringat ketika harus mati-matianmempertaruhkan nyawa klubnya selama empat musim terakhir. Ia teringat bagaimana ia dielu-elukan fans di stadion Wembley saat berhasil membawa West Ham promosi secara heroik ke Premier League. Ia juga ingat ketika Jose Mourinho memuji strateginya saat mengalahkan Chelsea dengan permainan ala sepakbola awal abad 19. Juga ketika West Ham berhasil treble dengan mengalahkan rival bebuyutannya, Totenham Hotspur tiga kali di musim itu.

Premier League tak ubahnya arena yang ada di cerita Hunger Games.

Ia tahu jelas, arena pertarungan Premier League sangat ketat. Semua tim wajib “membunuh” satu sama lain tak peduli ia tim besar atau tidak. yakin, West Ham United akan diperhitungkan tim lain. Tak lagi dipandang sebagai klub yang kerjaannya berkutat di zona degradasi. West Ham mampu menjadi kuda hitam layaknya sosok Katniss Everdeen di Hunger Games karya Suzzane Collins.

Dalam cerita itu, Katniss adalah tokoh utama yang awalnya merupakan sosok yang tidak pernah diperhitungkan lawan, bahkan diremehkan, namun akhirnya bisa membunuh lawan-lawannya di arena. Katniss yakin dengan tubuh rampingnya, orang-orang akan menyepelekan kemampuannya.

Jangankan membahayakan lawan, untuk bertahan saja orang tidak akan percaya ia akan mampu melakukannya. Namun Allardyce yakin, tak ada tim yang sehebat dirinya dalam soal strategi jitunya. Signature khas dari Samuel Allardyce. Bola panjang, kemampuan spesial layaknya kemampuan memanah jarak jauh yang mematikan seperti yang dimiliki Katniss Everdeen. Coba saja tanyakan kepada penggemar Liga Inggris sejak 2000-an, “Satu kata untuk Sam Allardyce?” Maka mereka akan kompak menjawab “Long-ball!”

West Ham mengakhiri musim 2014/15 di peringkat 12. Satu tingkat diatas posisi yang diraih West Ham di musim sebelumnya . Ia merasa hal itu tidak buruk-buruk amat. Allardyce makin optimis kalau kontraknya akan diperpanjang.

Ia akhirnya menyadari, sekarang ia hanya butuh untuk berpasrah. Sebenarnya yang ia rasakan hanyalah ketakutan untuk tidak dibutuhkan lagi. Namun dengan kemampuannya mengangkat tim-tim medioker ke Premier League, ia yakin masih ada tim lain yang akan menggunakan jasanya.

Kegelisahan Allardyce ternyata menjadi kenyataan. Manajemen merasa waktu yang diberikan kepada pria kelahiran Dudley, Worcestershire, Inggris itu telah habis. Klub akhirnya menunjuk eks-manajer timnas Kroasia, Slaven Bilic untuk menggantikan posisinya.

Allardyce kini menganggur dan bisa menikmati uang hasil kerja kerasnya sebagai pelatih dengan bayaran termahal ke 13 di dunia. Namun di dalam lubuk hatinya, Allardyce masih ingin membuktikan bahwa keputusan manajemen West Ham adalah kesalahan besar dan ia ingin membuktikannya bersama tim lain.

Allardyce tersenyum ketika teringat Bolton Wanderers dan Blackburn Rovers yang pernah ditanganinya. Kedua klub ini masih berjuang promosi dari Championship dan mungkin saja membutuhkan jasanya. Allardyce pun bernyanyi kepada kenangannya di masa lalu. “On the other side, on the other side.. I know you’re waiting for me, on the other side..”

Penulis adalah peserta Pandit Camp dengan akun Twitter @Teguhrama

Komentar