Tiang Gawang Puing-puing....

Cerita

by Ammar Mildandaru Pratama

Ammar Mildandaru Pratama

mildandaru@panditfootball.com

Tiang Gawang Puing-puing....

"Pukul tiga sore hari/ di jalan yang belum jadi/ aku melihat anak-anak kecil/ telanjang dada telanjang kaki/ asyik mengejar bola...."

Begitulah Iwan Fals memulai lagu balada, "Mereka Ada di Jalan". Salah satu lagu sepakbola terbaik yang pernah diciptakan orang Indonesia ini mengisahkan semangat dan kegilaan anak-anak kecil (di kota) dalam bermain sepakbola. Dengan suara yang langsung meninggi sejak baris pertama, Iwan juga menguarkan "kemarahan yang terpendam" soal kian langkanya ruang terbuka yang bisa digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola.

Tapi anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka penuh vitalitas dan kreatifitas. Ruang sesempit apa pun tak akan pernah bisa memadamkan semangat dan kegairahan mereka untuk menyepak-nyepak si kulit bundar, bal bliter, bal plastik....

Coba anda ingat masa kecil dulu. Pernah main bola di halaman rumah? Halaman sekolah? Gang di depan kompleks? Di pinggir sungai? Di kebun kosong? Sawah yang kering sehabis panen? Atau, seperti dalam lirik lagu Iwan Fals, main bola "di jalan yang belum jadi" dengan "tiang gawang puing-puing"?

Saat pulang ke kampung halaman, saya selalu menyempatkan berkunjung ke beberapa kerabat. Karena dari situlah saya bisa merawat kenangan masa kecil, tempat saya dahulu tinggal. Pindah rumah yang dilakukan oleh keluarga menjelang saya remaja memang membuat kami harus pergi berkunjung demi silaturahmi di hari tertentu seperti lebaran misalnya.

Momen berkunjung tersebut selalu menghadirkan kembali kenangan masa kecil, beberapa memang sengaja saya ingat-ingat dan sebagian lain lewat begitu saja karena kebetulan. Salah satunya adalah saat lebaran kemarin ketika tak sengaja melewati sepetak tanah dengan lapisan semen di atasnya. Saya jadi ingat bahwa tempat tadi adalah tempat bermain sepakbola semasa kecil.

Luasnya tak lebih dari kotak penalti tetapi mampu memuat hingga 10 anak sekaligus bermain bola. Peruntungan aslinya tempat tersebut adalah untuk menjemur jagung dan biji-bijian lain milik salah seorang warga. Bahkan terkadang kami harus ikut membantu membereskan di sore hari agar kami lekas dapat dipakai.

Karena tempat kecil dan terbatas, aturan bermainnya juga sederhana. Alas kaki harus dilepas karena untuk membangun gawang. Terkadang juga dipinjam oleh kiper untuk dijadikan sarung tangan ketika menghadapi penalti. Hitungannya tidak menggunakan meteran untuk menjamin dua gawang akan berukuran sama. Tetapi menggunakan jejak langkah dari salah satu anak yang punya semacam bakat memimpin, ketua kelas di SD nya saat itu. Karena tidak ada tiang apalagi mistar maka debat apakah tendangan menjadi gol atau melewati tiang virtual tadi bisa sangat panjang.

Jika masih belum terselesaikan maka jalan akhir biasanya dilakukan sumpah dengan memanggil para saksi, sumpah ala bocah tentu saja. "Sumpah gak gol? Demi apa? Masuk neraka lho ya kalau bohong!. Sampai di sini seringkali para pemain yang tadinya mencoba curang akan mengaku, tersenyum kecil dan laga kembali dilanjutkan.

Masih ada aturan tak tertulis lain seperti pilihan formasi, pemain-pemain yang paling jago akan menjadi penyerang dan sisanya berdiri di belakang. Lalu kiper biasanya adalah anak dengan badan paling besar yang gerakannya lambat dan tak piawai mengolah bola.

Sepakbola di kampung ini rutin kami lakukan tiap sore. Pernah suatu ketika kami harus memasuki masa "jeda kompetisi" karena penghuni rumah yang berada tepat di samping kami bermain baru saja melahirkan. Sore harinya kami tak boleh terlalu berisik, jelas sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukan.

Lapangan sepakbola dengan gawang asli dan rumput yang luas sendiri letaknya agak jauh dari kompleks kami tinggal. Mayoritas dari teman-teman sebenarnya juga punya sepatu khusus sepakbola. Tetapi bermain di lapangan yang sebenarnya hanya dilakukan musiman, ketika ada SSB atau kesebelasan yang baru berdiri dan menjelang agustusan.

Sepakbola tiap sore yang rutin kami lakukan memang bertujuan untuk bermain, selayaknya anak-anak. Bahkan sama sekali tak ada pikiran dan niatan kami melakukannya demi olahraga. Pada momen tertentu keringat terkadang malah dihindari karena sudah terlanjur mandi sore misalnya.





Saya mencoba ke mesin pencari untuk sekadar mengingat aturan apa saja yang mungkin terlupa. Jika melakukan pencarian dengan kata kunci seperti "jumper/sandals for goalpost", anda akan banyak menemukan cerita-cerita menarik perihal sepakbola jalanan, sepakbola bocah, sepakbola senang-senang, dan "sepakbola-yang-penting-bahagia".

Agak mengejutkan ketika tahu bahwa beberapa blog dalam bahasa Indonesia maupun Inggris ternyata mempunyai aturan sama persis dengan yang saya mainkan dahulu. Sepakbola jalanan ala anak kecil ternyata sama luas dipraktikkannya dengan sepakbola yang sebenarnya. Dengan aturan main yang juga mirip-mirip.

Tendangan dianggap tidak gol jika bola tidak dapat dijangkau oleh kiper karena terlalu tinggi. Hanya pelanggaran yang benar-benar keras dan melukai lawan yang akan menghentikan permainan, dan langsung penalti walaupun terjadi di mana saja. Bahkan di tempat saya dahulu pertandingan seketika akan bubar meski belum terdengar adzan maghrib jika ada anak yang menangis karena terluka.

Tidak peduli berapa banyak tim anda mencetak gol, karena pemenangnya adalah yang mencetak gol paling terakhir. Urusan menentukan handsball bisa sama rumitnya dengan memutuskan bola kena tiang dalam atau luar. Pemilik bola adalah raja, ia akan dijemput oleh banyak orang ketika sore hari tiba dengan memanggil-manggil namanya di depan rumah. Jangan mengharapkan bola akan diumpan ke anda jika tak bisa menggiring atau menendang, lebih baik mundur jadi bek saja.

Sebab sepakbola yang kita saksikan di televisi hanyalah sebagian saja dari potret besar sepakbola sebagai permainan untuk kita semua. Sepakbola untuk semua bangsa.

Punya aturan lain yang berlaku di tempat anda atau sekadar berbagi kenangan? Silakan membaginya di kolom komentar.

Sambil, boleh loh ya, membuka lebar-lebar telinga masing-masing, siapa tahu terdengar suara kawan lama memanggil dari halaman rumah dan mengajakmu untuk pergi ke lapangan sepakbola untuk bergembira dan berbahagia kembali pada petang hari ini. Dengan atau tanpa ingat VIVA, eh FIFA, sebab sepakbola toh memang bukan punya mereka.

Tiang gawang boleh disusun dari "puing-puing sisa bangunan yang tergusur", tapi kenangan tentang sepakbola yang indah jangan sampai retak berkeping-keping. Inilah, barangkali, gol terakhir yang masih bisa kita kejar sampai entah...

Baca juga:

Sepatu Bola Pertamaku


Ketika DikolonginÃ?â?¦.


Komentar