(On This Day 1938) Sindelar, Pemain Hebat nan Berani yang Dibunuh NAZI

Backpass

by Redaksi 41

Redaksi 41

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

(On This Day 1938) Sindelar, Pemain Hebat nan Berani yang Dibunuh NAZI

Matthias Sindelar diakui sebagai pemain terbesar yang pernah dilahirkan Austria. Pemain berjuluk "Der Papierene" atau Si Manusia Kertas ini punya kelebihan dalam kemampuan mengiring bola dan kreativitasnya di lapangan. Oleh International Federation of Football History and Statistics (IFFHS), dia terpilih sebagai Pemain Terbaik Austria pada Abad ke-20.

Tapi karirnya yang cemerlang, juga kehebatannya di atas lapangan, tak menghalangi sejumlah eksekutor yang memutuskan membunuhnya. Karinya berhenti, dan meninggalkan misteri yang belum terpecahkan. Hingga hari ini.

Matthias Sindelar mungkin bukan nama yang membangkitkan nostalgia sedih untuk berita yang hitam dan putih di media. Ia layak dikenang sebagai pemain yang loyal terhadap tanah airnya dan ia adalah contoh dari kemuliaan seorang pesepakbola.

Pada 1938, setelah Austria dianeksasi oleh Nazi Jerman, diselenggarakan perundingan antara Austria dan Jerman. Perundingan itu tujuannya, terutama bagi pihak Jerman, untuk membuat kesepakatan pengabungan dua negara yang dulunya memang pernah berada di bawah satu komando kekaisaran Wangsa Habsburg. Merupakan cerita yang panjang soal interaksi dan konflik antara dua bangsa ini.

Di bawah kepemimpinan Hitler, Jerman kembali bangkit. Dan bahkan menjadi kekuatan politik dan militer yang mengerikan. Juga menakutkan, khususnya bagi warga Yahudi yang sudah ribuan tahun menjadi diaspora di berbagai wilayah Eropa. Tak terkecuali di Austria.

Menyusul kebijakan Hitler yang memang keras dan mematikan terhadap ras Yahudi, perundingan antara Austria dan Jerman itu pun berimbas pada warga Austria yang berasal dari ras Yahudi. Sepakbola juga terkena imbasnya. Dua bulan setelah perundingan itu, semua kontrak profesional para pemain yang berdarah Yahudi pun dilarang.

Malapetaka bagi Sindelar terjadi tak lama setelah penyatuan Austria dan Jerman. Untuk merayakan penyatuan itu, digelarlah pertandingan antara tim nasional Austria melawan Jerman. Laga itu digelar sebagai laga terakhir Austria sebagai negara merdeka. Setelah itu, tim nasional Austria dibubarkan karena menyatu dengan Jerman, begitu pun dengan tim nasionalnya. Austria dipastikan tidak bermain di Piala Dunia 1938 yang tinggal beberapa bulan lagi, walaupun Austria sebenarnya sudah lolos kualifikasi.

Laga itu digelar pada 3 April 1938 di Stadion Prater, Wina. Laga itu hampir menjadi laga seremonial belaka. Para pemain Austria seakan tak antusias bermain, atau segan untuk bermain serius. Mereka membiarkan Jerman menguasai pertandingan selama hampir 70 menit.

Namun di 20 menit terakhir, semuanya berubah. Beberapa pemain Austria, terutama Sindelar dan Karl Sesta, bermain serius dan kesetanan. Mereka berdua malah mencetak gol. Skor berakhir 2-0 untuk Austria.

Dari sinilah awal malapetaka itu. Sindelar dilaporkan merayakan gol yang dicetaknya dengan sangat antusias di depan para pejabat NAZI yang berada di tribun kehormatan. Ia merayakannya dengan sepenuh hati, seakan mencemooh dan berkata: "Kau bisa mengalahkan kami dengan senjata, tapi tidak saat bola ada di kaki kami."

Setelah pertandingan, pelatih tim nasional Jerman saat itu, Sepp Herberger, berusaha membujuk Sindelar agar bermain untuk tim Jerman. Namun Sindelar menolaknya. Alasannya, dia sudah terlalu tua dan memiliki cedera lutut.

Tentu saja itu hanya alasan. Sindeler sangat tidak menyukai pendudukan Austria oleh Jerman. Ia tak suka melihat tanah airnya dikangkangi begitu saja. Maka mencetak gol di hadapan para pejabat NAZI merupakan sebentuk perlawanan seorang pesepakbola sekaligus pembelaan seorang pesepakbola terhadap tanah airnya yang tak berdaya di bawah kokangan senjata Hitler yang ambisius itu.

Beberapa hari setelah pertandingan tersebut, Sesta ditangkap dan diinterogasi oleh Gestapo (polisi rahasia Nazi). Sementara Sindelar dan kekasihnya, Camila, diamankan untuk sementara waktu. Di hadapan Gestapo, Sindelar diminta untuk sekali lagi memperkuat Jerman di Piala Dunia 1938. Sekali lagi, Sindelar menyatakan sikap: tidak.

Dan penolakan tersebut membuat perjalanan hidupnya tragis. Pada 23 Januari 1939, Matthias Sindelar bersama pacarnya, Camilla Castagnola, ditemukan tewas di sebuah apartemen di Wina, Austria. Kematiannya diduga akibat keracunan karbon monoksida dari pemanas yang bocor. Kematiannya masih kontroversial. Ada yang bilang bunuh diri, namun ada juga yang menyebut dibunuh secara “halus."

Kata "halus", tentu saja, terlalu halus untuk apa yang di kemudian hari menjadi watak Gestapo, NAZI dan Hitler. Jutaan orang mati di kamp-kamp konsentrasi, di kamp pembantaian Auschwitz dan di banyak tempat yang diduduki Jerman.

Kisah Sindelar ini menjelaskan dengan sangat baik bagaimana keteguhan sikap, bahkan walau nyawa menjadi taruhannya, bukanlah kisah fiksi dalam novel dan film-film. Sindelar menjadi contoh meyakinkan tentang bagaimana kekuasaan, sehebat apa pun itu, tak selamanya bisa menaklukkan semua orang, apalagi jika orang itu punya jiwa seorang pemberani.

Inilah cerita Mathias Sindelar, salah seorang pemain sepakbola dengan keberanian dahsyat yang pernah dilahirkan permainan ini.

Komentar