Jalan Lain ke Puncak Eropa

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Jalan Lain ke Puncak Eropa

Oleh: Ariandanu Catur Biandana

Sebagai pecinta sepakbola, tentu banyak dari kita yang tak pernah absen menyaksikan pertandingan Champions League setiap Rabu dan Kamis dini hari (di Indonesia). Kita sengaja begadang atau bangun tengah malam demi menyaksikan tim kesayangan kita bertanding atau turut menyaksikan laga big match dari tim-tim besar lain di Eropa. Tapi adakah dari kita yang turut menyaksikan Europa League setiap jumat dini hari? Untuk apa sih kita harus rela begadang demi menonton kompetisi Eropa tingkat kedua yang di Indonesia kerap disebut Liga Malam Jumat tersebut?

Masih banyak nada sumbang yang mengatakan bahwa Europa League hanyalah piala penghibur sebagaimana Piala FA di Inggris, Piala Raja di Spanyol, dan piala lokal lainnya di setiap negara di Eropa. Tidak salah memang jika kita beranggapan demikian, karena peserta Europa League adalah peringkat empat dan lima (atau bahkan lima dan enam) di liga dan juara piala lokal di masing-masing Negara besar di Eropa serta tim juara untuk Negara yang memiliki koefisien rendah di Eropa berdasarkan perhitungan dari UEFA, dilihat dari ketatnya persaingan di kompetisi. Singkatnya, mereka hanyalah tim-tim papan tengah yang tidak bisa bersaing dalam perebutan jatah Champions League.

Berkaca pada setiap liga di Eropa, tim papan tengah bukanlah tim yang tidak mampu bersaing dengan tim papan atas. Tidak jarang kita lihat di layar kaca tim papan tengah sanggup menyulitkan tim langganan penghuni papan atas, bahkan sanggup sampai menjungkalkan mereka. Tak perlu kita melihat jauh-jauh ke belakang, hingga pekan kelima Liga Inggris berjalan saja, sudah ada empat tim papan atas yang dikalahkan oleh tim yang biasa menghuni papan tengah. Coba tanyakan kepada Arsenal, Manchester United, Liverpool dan Chelsea bagaimana rasanya dikalahkan oleh tim-tim papan tengah kemarin. Khusus untuk Chelsea, dari tiga kekalahan yang sudah dialami, dua kekalahan diperolehnya saat melawan tim yang notabene adalah langganan penghuni papan tengah, Crystal Palace dan Everton.

Meratanya kemampuan pemain tim papan tengah biasanya menjadi alasan mereka tampil solid dan mampu mengimbangi kemampuan tim papan atas. Ditambah strategi brilian yang diterapkan oleh pelatih berpengalaman seperti Alan Pardew dan Roberto Martinez, hasil akhir berupa kemenangan seakan bukanlah hal yang sulit dicapai. Namun materi pemain yang merata ini kadang juga merupakan tantangan tersendiri dalam menghadapi kompetisi yang ketat seperti Liga Inggris. Tidak adanya “pemain pembeda” yang memiliki skill di atas rata-rata kadang harus diterima dengan lapang dada saat melawan tim papan atas yang biasanya bertabur bintang. Selain itu, jika satu pemain mengalami cedera, maka keseimbangan tim akan goyah dan tidak jarang hasil inkonsisten akan sering dijumpai di pertengahan musim.

Berbeda dengan yang terjadi pada tim papan atas. Mereka memiliki banyak materi seperti pemain dan uang untuk mewujudkan impiannya meraih trofi. Ditambah semakin banyaknya jutawan-jutawan yang berinvestasi di klub papan atas saat ini, semakin lebar jurang pembeda antara tim papan atas dengan tim papan tengah. Pemain-pemain bintang pun seakan tidak ragu bergabung dengan tim papan atas karena selain memperoleh gaji yang besar, mereka pun dijanjikan kesempatan meraih trofi lebih besar ketimbang jika mereka bergabung dengan tim papan tengah.

Perbedaan-perbedaan ini juga ditanggapi realistis oleh tim papan tengah tersebut. Merasa tidak mungkin bisa menyaingi kedigdayaan tim papan atas, mereka pun mengalihkan fokusnya ke kompetisi yang setingkat di bawah liga dan Champions League, sebagai contohnya Piala Carling dan Europa League.

Europa League menawarkan kemegahan bermain di kompetisi tingkat eropa dengan syarat yang tidak susah-susah amat; “hanya” perlu finish di urutan empat atau lima liga setiap akhir musimnya. Ini tentu lebih mudah jika dibandingkan harus berjibaku dengan tim papan atas untuk meraih peringkat tiga besar demi lolos ke Champions League. Europa League pun menawarkan hadiah yang lumayan besar dan kesempatan untuk menjadi yang terbaik di Eropa serta tampil di partai puncak UEFA Super Cup melawan juara Champions League. Cukup menggiurkan bukan?

UEFA juga tidak bermain-main dalam menggelar Europa League ini. Format kompetisi ini memiliki aturan ketat yaitu menyertakan peringkat ketiga masing-masing grup di Champions League untuk bergabung di babak 32 besar. Bahkan sejak 2009, Piala Intertoto dilebur bersama dengan Piala UEFA dan diubah namanya menjadi Europa League UEFA untuk menjanjikan pertandingan yang lebih kompetitif.

Terhitung sejak digelar pada tahun 1971 (semenjak berganti nama dari Fairs Cup), sudah ada 27 tim berbeda yang memenangkan Piala ini. Sevilla tampil sebagai juara terbanyak dengan raihan empat trofi, yang ajaibnya diraih dengan dua kali sebagai juara berturut-turut, yaitu pada tahun 2006 dan 2007 serta pada tahun 2014 dan 2015. Catatan menarik pun ditorehkan oleh Chelsea. Mereka adalah tim pertama yang berhasil meraih Juara Champions League dan Europa League secara berturut-turut pada tahun 2012 dan 2013.

Menarik melihat bagaimana tim papan atas seperti Chelsea ikut bersaing di kompetisi Eropa tingkat kedua seperti Europa League. Sah-sah saja memang, mengingat juara Europa League nantinya akan bersaing melawan juara Champions League untuk memperebutkan trofi UEFA Super Cup. Dari kasus Chelsea kita dapat mengambil sebuah kesimpulan: Europa League adalah rute lain menjadi  juara Eropa bagi kesebelasan yang tersingkir dari fase grup Champions League (Chelsea menjadi juara Europa League setelah tersingkir dari Champions League musim 2012/13).

Kasus Chelsea seharusnya membuat beberapa tim papan atas tak pelu malu mengakui tujuan menjadi juara Europa League. Jika memang mereka sadar tak mampu bersaing di Champions League, apa salahnya mengalihkan tujuan ke Europa League? Toh di Europa League mereka tetap bersaing dengan tim Eropa dan jika menang maka mereka bisa tampil di EUFA Super Cup, dibandingkan harus absen pada kompetisi Eropa dan tidak memperoleh apa-apa.

*Ralat

Kalimat ini: "Catatan menarik pun ditorehkan oleh Chelsea. Mereka adalah tim pertama yang berhasil meraih Juara Champions League dan Europa League secara berturut-turut pada tahun 2012 dan 2013"  terdapat info yang keliru karena juara Europa League/UEFA Cup dan Liga Champions yang berturut-turut untukpertama kalinya adalah FC Porto pada tahun 2003 dan 2004 lalu.


Penulis adalah karyawan swasta. Berdomisili di Kebon Pala, Jakarta Timur. Dapat dihubungi lewat akun Twitter @ariandanucatur. Tulisan-tulisannya yang lain dapat dibaca di arianarena.blogspot.com.

Komentar