Harapan Baru untuk Persiwi Wonogiri, Harapan untuk Menonton Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing 32502

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Harapan Baru untuk Persiwi Wonogiri, Harapan untuk Menonton Sepakbola

Oleh: Abizar Aziz Purnomo

Sejak kecil saya adalah penggemar sepakbola yang lumayan fanatik, walau belum masuk kategori “garis keras”. Kenapa saya bilang begitu, karena tingkatan kegemaran saya masih sebatas penonton layar kaca. Nonton pertandingan langsung pun hanya selevel tarkam di lapangan yang kala turun hujan bisa dikatakan sebagai sebuah telaga daripada lapangan bola.

Miris memang, di usia menginjak 20 tahun saya belum sekalipun menginjakkan kaki di stadion-stadion untuk menonton bola dan merasakan atmosfer misuh secara langsung.

Sebetulnya di kota kabupaten tempat saya tinggal terdapat satu stadion yaitu Stadion Pringgodani, stadion berkapasitas sekitar 8.000 penonton yang terletak sekitar 5 km dari pusat kota Wonogiri. Ya, saya tinggal di Wonogiri, sebuah kabupaten yang terletak di selatan kota Surakarta yang terkenal dengan Arseto FC yang sekarang menjadi Persis Solo.

Seperti orang Indonesia pada umumnya, warga Wonogiri juga mempunyai sebuah klub kebanggaan, Persiwi Wonogiri. Sebuah klub yang pernah moncer pada era 1970an dan hampir lolos ke Divisi 1 kompetisi PSSI pada tahun 1987/1988. Saat itu Persiwi yang terkenal dengan permainan bola pendek dari kaki ke kaki khas Wonogiren harus melawan Persijasel Jakarta Selatan dalam laga play-off di Stadion Sriwedari.

Stadion itu sendiri penuh dengan warga Wonogiren yang datang berombong-rombong walau akhirnya Persiwi kalah 1-0 dan gagal lolos ke Divisi 1. Saya sendiri sempat tidak percaya dengan kisah tersebut karena sulit sekali mencari sejarah klub ini bahkan dengan googling pun saya tidak mendapat data yang cukup untuk menuliskan kapan klub ini berdiri.

Sulitnya mencari saksi sejarah Persiwi ini ternyata berbanding lurus dengan sulitnya klub ini untuk bertahan hidup di kancah persepakbolaan Indonesia. Jangankan di level nasional, untuk sekedar level regional Jawa Tengah saja masih megap-megap. Tidak heran Persiwi sempat mati suri dan hilang dari ingatan masyarakat sekitar.

Sangat disayangkan memang karena Persiwi memiliki kompetisi internal dengan klub-klub dari berbagai kecamatan yang mengikutinya. Kompetisi ini diadakan sekaligus juga untuk ajang seleksi bagi pemain-pemain daerah yang ingin masuk skuad Persiwi.

Vakumnya Persiwi secara tidak langsung mengubur talenta-talenta daerah yang sangat mencintai sepakbola serta menurunkan animo masyarakat desa pada umumnya yang haus akan tontonan sepakbola. Berbagai cara dilakukan untuk menghidupkan kembali klub kebanggaan kota gaplek ini, seperti yang dilakukan para pemuda yang menamakan diri mereka dengan sebutan Laskar Gajah Mungkur, sebuah fans klub Persiwi Wonogiri yang menginisiasi pembangkitan Persiwi.

Kala itu diadakan festival parade kesenian untuk memperingati hari jadi kota Wonogiri dan saya menjadi salah satu pesertanya. Pemuda-pemuda tersebut berasal dari berbagai kecamatan dan berbaris di urutan paling belakang dengan bermacam-macam atribut serta spanduk yang bertuliskan “Ayo pak Bupati, Persiwi diuripne”, “Ayo Persiwi diragati”, tak lupa chant-chant penyemangat agar Persiwi kembali dihidupkan.

Suara-suara dari pihak luar pun seperti didengar para petinggi. Persiwi sempat dibangunkan dari kematian sekitar Februari 2015 untuk mengikuti Liga Nusantara 2015 di bawah asuhan pelatih Lilik Agung. Persiwi tergabung di grup A bersama Persebi Boyolali, Persekat Tegal, Persiharjo Sukoharjo serta Persibara Banjarnegara. Sebagai tim yang lama vakum permainan Persiwi cukup mengejutkan dan dijuluki kuda hitam dengan meraih tujuh poin dari empat laga putaran pertama.

Namun di tengah euforia kebangkitan, kompetisi tiba-tiba dibubarkan. Ironisnya pada waktu yang bersamaan tim Persiwi U-17 juga mengundurkan diri dari Piala Suratin padahal mereka akan melawan PSISRA Sragen U-17 dan masih berpeluang melaju ke babak selanjutnya. Semenjak saat itu Persiwi kembali hilang dari peredaran. Sejatinya klub ini tidak bubar dan masih melakukan latihan di akhir pekan dan beberapa kali mengadakan uji coba dengan klub-klub daerah sekitar Karesidenan Surakarta.

Sungguh beruntung nasib Persiwi, walau cukup lama vakum dalam hal kompetisi namun mereka tidak ditinggalkan para suporter. Laskar Gajah Mungkur (LGM) tetap berada di belakang Persiwi dan menyokong dengan berbagai macam dukungan. Kelompok suporter ini dengan mandiri hidup dengan membuat serta mengedarkan merchandise yang tetap diburu para suporter walau Persiwi tidak turun laga. LGM juga aktif di media sosial Twitter dan sering bercuit perihal perkembangan tentang Persiwi.

Menengok curhatan LGM, masalah utama Persiwi saat ini adalah dana dan kurang perhatian oleh petinggi yang ada di kabupaten Wonogiri. Sampai saat ini Persiwi bertahan dengan skuad seadanya dan pemain muda yang belum berpengalaman. Tim pelatih belum berani menyeleksi dan mencari pemain baru karena belum adanya kucuran dana. Sebuah masalah klise yang hampir selalu dihadapi klub-klub di Indonesia namun memang inilah fakta di lapangan.

Coba kita bayangkan, apabila Persiwi dibiayai dengan lancar mengingat banyak pengusaha kaya di Wonogiri, dikelola secara profesional, didukung oleh pemerintah daerah dan bisa mengikuti kompetisi nasional, Liga Nusantara misalnya, persepakbolaan Wonogiri bisa bangkit lagi.

Pemain-pemain muda berbakat tidak putus asa serta bisa mewujudkan mimpinya membela klub kebanggaan daerah, penjualan merchandise meningkat dan basis LGM semakin besar, hidupnya euforia ini bisa membantu perekonomian warga kota gaplek. Potensi wisata di berbagai daerah Wonogiri juga bisa terdongkrak apabila ada tim yang bertandang dan tentunya membawa massa suporter yang cukup banyak.

Namun, persoalan dukungan dana serta pengelolaan yang belum profesional menjadi kendala utama bagi Persiwi. Mengharapkan dana dari sponsor bukanlah hal yang mudah mengingat Persiwi bukanlah klub besar yang kaya akan prestasi, sedangkan perusahaan lokal pun seakan enggan berjudi membiayai Persiwi karena kemungkinan merugi tetaplah besar dengan masih tidak jelasnya keikutsertaan Persiwi dalam kompetisi nasional.

Saya sebagai insan penikmat sepakbola sangatlah ingin menikmati pertandingan secara langsung di stadion yang katanya membuat bulu kuduk merinding, apalagi jika klub kebanggan daerah yang bertarung di lapangan. Sepakbola bukanlah sekedar berpeluh selama 90 menit namun dimasa kini sepakbola adalah salah satu alat pemersatu masyarakat.

Dalam lubuk hati saya berkeinginan Persiwi bangkit dari keterpurukan berharap ada orang berbaik hati membangun ulang tim ini, ingin sekali saya melihat Persiwi berlaga di kompetisi nasional dan tentunya merasakan nikmatnya “misuh” secara real di dalam stadion.

Catatan:

Misuh adalah bahasa Jawa dari mengumpat
Diragati adalah bahasa Jawa dari dibiayai

foto: @chesterseven_

Penulis adalah mahasiswa asal Wonogiri yang ingin Persiwi bangkit kembali. Biasa bercuit di akun Twitter @abizazizp


Tulisan ini merupakan bagian dari Pesta Bola Indonesia, meramaikan sepakbola Indonesia lewat karya tulis. Isi tulisan dan opini tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis

Komentar