Ada Pelangi di Mata Alfred Riedl

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Ada Pelangi di Mata Alfred Riedl

Artikel #AyoIndonesia karya Miftachul Huda
Entah saya harus bersyukur atau harus bagaimana, Tuhan menganugerahi saya rasa cinta yang kadarnya ada pada level langit terhadap timnas Indonesia. Karena derajat kecintaan yang saya sendiri tidak menduga betapa tingginya terhadap kesebelasan negeri ini, saya harus secara konsisten merasakan kekecewaan yang terus berulang.
Kekecewaan ini harus saya rasakan menjadi semacam tradisi dua tahunan, atau saat Indonesia mengikuti ajang Piala AFF ini.
Bagi saya, Piala AFF menjadi semacam hari raya kecil, saya selalu menantikannya, di mana saat itulah saya bisa melupakan semua kekecewaan terhadap banyak hal. Piala AFF ini adalah momen di mana saya bisa ‘moksa’ dari dunia yang dipenuhi dengan para agen pulsa ini.
Saya masih ingat saat tahun 2010 lalu ketika Indonesia tembus ke final bertemu Malaysia. Duh, betapa saya merasa menjadi orang yang paling bahagia dibanding kebahagiaan orang di belahan dunia manapun. Bahkan berhari-hari sebelum partai itu tiba, hari-hari saya selalu dipenuhi beribu pengharapan yang indah.
Hampir semua yang berkaitan dengan timnas baik itu di koran, televisi maupun di internet saya lahap habis. Saya membaca dan melihatnya dengan perasaan seperti orang yang jatuh cinta. Bahkan ada sesuatu yang luar biasa yang bisa saya lakukan saat itu: bangun pagi. Ya, bangun pagi adalah sesuatu yang bagi saya adalah sebuah kemewahan-- hingga saat ini.
Saat itu pagi hari adalah waktu yang tepat menyaksikan ulasan televisi usai timnas menang di setiap laga dari babak penyisihan hingga semi final. Saya masih ingat betul, betapa Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales berubah menjadi sosok artis mengalahkan idola saya Rhoma Irama.
Lagu-lagu pembakar semangat seperti Garuda di Dadaku seakan menjadi lagu wajib setiap televisi. Sampai sekarang saya masih menganggap November-Desember tahun 2010 adalah tahun yang paling membahagiakan bagi saya.
Saya merasa hidup ini sangat berwarna layaknya pelangi. Iya pelangi, deretan warna yang membuat hidup tidak kelam dengan satu warna saja. Adalah Alfred Riedl yang memberikan warna itu. Cukup dengan menyaksikan ia melatih, ada pancaran pelangi dari mata pelatih yang mengawali karier sebagai pemain sepak bola di klub lokal Austria yaitu FK Austria Wien, ini.
Pamor si Opa yang dalam masa mudanya sempat empat kali bermain untuk timnas Austria ini membuat mahkluk yang bernama Nurdin Halid saat itu bahkan menjanjikan bonus hingga Rp 5,5 miliar, jika mampu mengangkat trofi Piala AFF.
Namun takdir berkata lain, mimpi untuk merengkuh tropi untuk pertama kalinya harus direnggut oleh 11 pemain timnas Malaysia. Saat itulah, senjakala sepakbola Indonesia mulai ditiup.
Mimpi yang Sama
Enam tahun itu sudah berlalu, namun entah kenapa saya selalu bermimpi Indonesia bisa juara meskipun itu jauh dari fakta yang ada. Sepakbola yang bagi sebagian suporter Indonesia adalah sebuah agama, menjadi jalan pelarian dari segala persoalan yang ada.
Kini muncul pertanyaan yang akan terus diulang oleh siapapun yang mengaku cinta pada negeri ini, akankah Riedl mampu mengangkat tropi Piala AFF 2016? Mampukah ia sekadar menghadirkan pelangi sekali lagi untuk 254,9 juta penduduk Indonesia?
Mustahil rasanya berharap timnas Indonesia berbicara banyak dalam Piala AFF yang digelar di Filipina dan Myanmar ini. Itu sama mustahilnya berharap pendukung Persija dan Persib bisa dalam satu stadion menikmati pertandingan sepakbola. Tapi apa sih yang tidak mungkin
Mourinho pun sulit Bikin Indonesia Juara
Namun sebelum berharap banyak pada timnas Indonesia, ada baiknya agar tidak terlalu sakit hati jika nanti timnas gagal di babak penyisihan. Ada banyak alasan timnas bisa gagal dalam gelaran tahun ini.
Pertama adanya regulasi ‘aneh’ yang harus membatasi kuota pemain dalam setiap klub hanya dua orang. PT Gelora Trisula Semesta (GTS) bersama 18 klub Indonesia Soccer Championship (ISC) sepakat hanya melepas dua pemain untuk timnas. Alasannya karena persiapan timnas menuju Piala AFF berbarengan dengan kompetisi ISC, keputusan ini tentunya menyulitkan pelatih Alfred Riedl memilih pemain. Ia tidak bisa mengeksplorasi stok pemain yang berlimpah di negeri ini.
Dalam posisi ini, maka semua orang bisa bebas memberikan tafsir bahwa kepentingan klub lebih utama dibanding dengan kepentingan negara. Jangan salah juga kalau klub dibilang tak nasionalis, sama sekali tidak.
Kedua, adanya sikap pembangkangan dari klub saat tidak mau melepas pemainnya untuk timnas, kasus terbaru adalah ketika jajaran pelatih menginginkan Ferinando Pahabol sebagai ganti Irfan Bachdim yang gagal dibawa ke Filipina akibat cedera. Sebelum itu, Jandia Eka Putra pun tak dilepas Semen Padang ke timnas. Ini yang bikin nyesek pelatih; sudah pemainnya dibatasi, memanggil pemain dalam kondisi darurat pun tak direstui. Klop sudah.
Ketiga, Indonesia yang disanksi FIFA hingga setahun lamanya tidak bisa merasakan aura yang kompetitif dalam ajang internasional. Tentu ini berpengaruh terhadap mental bertanding para pemain.
Keempat, waktu persiapan yang sangat terbatas juga menjadi kendala bagi timnas. Jika Anda membayangkan dengan para rival, maka ibarat balap lari, maka jarak start timnas Indonesia dengan skuat lawan bisa sepelemparan batu jauhnya.
Skuat Thailand jauh hari sebelum Piala AFF 2016, pasukan Gajah Perang ini aktif bertanding di babak kualifikasi Piala Dunia. Demikian juga Filipina yang kompetisi domestiknya sudah rampung sebelum piala AFF digelar. Singapura juga, dengan pelatih barunya Varadaraju Sundramoorth sempat berlatih di Qatar.
Lalu Indonesia? Dengan persiapan yang serba minimalis, timnas hanya uji tanding dengan negara tetangga yakni timnas Malaysia, Myanmar dan Vietnam. Itupun masih dalam rangka mencari komposisi pemain, bukan mematangkan pemain yang sudah dipersiapkan.
Dengan empat alasan di atas, rasanya juga akan sangat berat misalnya timnas Indonesia dilatih Mourinho sekalipun membawa timnas Indonesia juara. Namun, alasan klise yang selalu digemborkan para presenter sepakbola di TV bahwa bola itu bundar masih memungkinkan banyak hal, termasuk keberlanjutan Indonesia ke babak berikutnya.
Di akhir tulisan ini saya mengajak marilah kita bersikap optimistis untuk sepakbola Indonesia ke depan, 10 tahun, 20 tahun atau entah 100 tahun lagi, yakinlah lagu kebangsaan Indonesia Raya akan menggema bersama lagu-lagu di negeri nun jauh di sana, di Piala Dunia.
Terimakasih Opa Riedl, kau sempat menorehkan warna-warna pelangi untuk kami. Kami berharap di partai sisa nanti, kau dengan kepala tegak lalu berucap: Kita lolos. Namun seandainya, harus berakhir lebih dini, kami selalu bangga. Kami akan terus mendukung dengan gembira.

Penulis tinggal di Denpasar, penikmat sepakbola liga lokal, pendukung PSIR Rembang, pecinta timnas garis lurus. Bisa dihubungi lewat Facebook: Miftachul Huda. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar