Mempertanyakan Kebijakan Satlak Prima untuk Timnas Indonesia

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mempertanyakan Kebijakan Satlak Prima untuk Timnas Indonesia

Oleh: Angga Septiawan Putra

‘Riedl Tambah Program Khusus bagi Timnas’, begitulah judul sebuah berita dalam harian Pikiran Rakyat, 31 Oktober lalu. Dalam berita itu, ada sebuah paragraf yang sedikit mengusik saya. Paragraf itu menyatakan bahwa timnas Indonesia harus mencapai babak final Piala AFF 2016 jika sepakbola ingin disertakan dalam tim SEA Games 2017 mendatang. Persyaratan itu dilontarkan oleh Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Gatot Dewa Broto.

Persyaratan itu, tutur Broto, mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima), yaitu cabor-cabor yang akan dikirimkan pada SEA Games nantinya hanyalah cabor yang memiliki potensi meraih medali perak atau emas.

Ada dua kemungkinan yang akan terjadi setelah pernyataan itu semakin tersebar. Pertama, persyaratan itu akan membuat para pemain, pelatih, serta jajaran tim nasional termotivasi untuk meraih hasil maksimal, dalam hal ini mencapai final atau mungkin meraih juara Piala AFF untuk pertama kalinya. Kedua, para pemain timnas, pelatih, berikut jajaran lainnya akan merasa terbebani dengan adanya persyaratan itu. Dari dua kemungkinan itu dan melihat kondisi sepak bola Indonesia sejauh ini, rasanya kemungkinan kedua lebih masuk akal.

Permainan Belum Maksimal

Dua kemungkinan yang dipaparkan sebelumnya, sama-sama bisa saja terjadi. Tanpa adanya persyaratan itu pun, timnas tentu memiliki motivasi serta semangat yang kuat dan amat besar untuk memberikan hasil terbaik bagi bumi pertiwi. Itu bisa dilihat dari bagaimana ngototnya para pemain timnas di beberapa laga uji tanding sebelumnya.

Saat uji tanding menghadapi Malaysia misalnya. Dalam laga itu, timnas bermain begitu ngotot dan penuh determinasi. Para pemain melakukan pressing ketat hingga ke pertahanan lawan. Hasilnya? Mereka berhasil menggondol Malaysia tiga gol tanpa balas, dengan dua gol yang tercipta berkat pressing ketat di pertahanan Malaysia.

Namun, jika dianalisis dari cara bermain, permainan timnas tidaklah se-superior hasil akhir. Timnas masih belum begitu memuaskan. Mereka masih kesulitan menguasai bola. Mereka juga kerap melakukan umpan panjang tanpa arah. Bahkan, beberapa kali para pemain mengirimkan umpan pendek yang tidak tepat sasaran. Dua gol yang diciptakan Boaz dan Bachdim pun, terjadi lebih karena pressing yang memanfaatkan kacaunya lini belakang Malaysia.

Di laga uji tanding lain, saat menghadapi Vietnam, Indonesia juga belum bermain dengan baik. Sama seperti saat menghadapi Malaysia, timnas kesulitan mengalirkan bola serta kesulitan membangun serangan dengan lancar. Mereka terlihat lebih mengandalkan penyerangan dengan memanfaatkan kemampuan individu dari Zulham Zamrun dan Andik Vermansyah.

Di laga yang berakhir imbang 2-2 itu, timnas bahkan bisa saja kalah andai saja tidak terbantu oleh kemampuan individu Zulham Zamrun yang mencetak gol lewat tendangan bebas. Saat menghadapi Myanmar, penampilan timnas bahkan makin memburuk.

Mengandalkan pola 4-4-2, timnas bermain seperti tanpa nyawa, begitu monoton. Mereka memang tampil lebih dominan. Namun, para pemain terlihat begitu kesulitan menciptakan peluang. Timnas kesulitan mengalirkan bola, terutama saat memasuki area middle third atau final third. Ketika melawan Vietnam untuk kedua kalinya di Hanoi, timnas malah kalah 3-2 setelah unggul 2-1.

Permainan yang masih terbilang buruk serta tidak padu itu barangkali disebabkan oleh komposisi tim yang benar-benar baru. Beberapa nama lawas semacam Firman Utina, Ahmad Jufriyanto, atau Zulkifli Syukur tidak lagi dipanggil. Timnas banyak dihuni wajah-wajah segar seperti Evan Dimas, Lerby Eliandri, hingga Yanto Basna.

Di luar aspek-aspek di lapangan, pada turnamen kali ini persiapan Indonesia masih kurang jika dibandingkan dengan para kompetitor. Singapura, misalnya. Negara ini bahkan sudah melakukan lebih dari tiga uji coba serta beberapa uji coba lain yang akan dilakukan ke depannya.

Kompetitor lain, seperti Thailand juga telah melakukan persiapan jauh-jauh hari. Ditambah, tim mereka juga sempat beberapa kali berlaga pada kualifikasi Piala Dunia 2018 yang tentunya membuat tim semakin padu dan kompetitif. Mereka juga kemungkinan besar masih akan membawa nama-nama seperti Chanatip Songkrasin dan Sarach Yooyen yang membawa Thailand juara Piala AFF 2014 lalu.

Belum lagi negara-negara lain seperti Vietnam, Myanmar, atau Filipina yang juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Perlu Realistis

Melihat fakta-fakta di atas, seperti yang saya tuliskan di bagian awal, kemungkinan kedua sepertinya lebih masuk akal. Satlak Prima harusnya bisa lebih realistis. Dengan mengambil kesimpulan bahwa permainan timnas masih belum maksimal di tiga laga uji tanding sebelumnya, jangankan untuk mencapai final, lolos dari fase grup pun rasanya begitu sulit.

Ditambah, timnas tergabung di grup yang dihuni oleh dua kekuatan utama sepak bola Asia Tenggara, yaitu Singapura dan Thailand, serta Filipina yang di Piala AFF 2014 lalu bahkan sempat menghajar timnas Indonesia, peluang timnas untuk lolos ke babak knockout cukup berat.

Satlak Prima, saya pikir, masih memandang Indonesia sebagai salah satu calon terkuat juara Piala AFF. Namun, kali ini akan berbeda. Meski masih dipandang sebagai calon peraih juara, kondisi sepakbola negeri ini sedang buruk. Semenjak mendapat sanksi dari FIFA, kompetisi resmi negeri ini vakum. Hanya ada turnamen-turnamen yang para pesertanya bahkan merupakan kesebelasan yang baru jadi kemarin hari.

Kalaupun menganggap turnamen-turnamen itu, katakanlah Indonesia Soccer Championship yang juga sekelas dengan kompetisi resmi, itu pun baru berjalan selama beberapa bulan dan nantinya malah, lebih parahnya lagi, akan berbarengan dengan penyelenggaraan Piala AFF.

Bandingkan dengan negara-negara lain yang liganya sudah berjalan cukup lama dengan lancar. Salah satu klub dari Liga Malaysia, yakni Johor Darul Ta’zim, tahun 2015 silam bahkan berhasil menjadi klub Asia Tenggara pertama yang meraih Piala AFC.

Saat Indonesia jalan di tempat, tidak kemana-mana, negara lain sudah melakukan berbagai persiapan dan perbaikan. Ada yang liganya semakin berkembang, ada pula yang timnasnya sudah berlaga dalam berbagai ajang internasional seperti kualifikasi Piala Dunia 2018 dan kualifikasi Piala Asia 2019.

Andaikan Indonesia gagal mencapai final Piala AFF tahun ini, dan Satlak Prima tetap dengan pendirian mereka, maka tidak akan ada sepakbola Indonesia di SEA Games tahun depan. Artinya, tim nasional tidak akan melakukan persiapan atau latihan apa-apa untuk memperkuat tim. Dengan begitu, besar kemungkinan kualitas permainan timnas tidak akan membaik. Bayangkan jika tahun depan timnas juga akan berlaga di SEA Games, tentunya mereka akan melakukan persiapan yang lebih matang dibandingkan dengan gelaran tahun ini.

Dengan tidak berlaganya timnas di SEA Games tahun depan mungkin pula akan membuat para pemain yang berlaga di kompetisi tidak memiliki motivasi. Sebab, seperti kata pelatih Persib Bandung, Djajang Nurjaman dalam sebuah berita di Inilah Koran, dampak positif pemanggilan timnas adalah bisa menaikkan moral serta kepercayaan diri pemain.

Satlak Prima juga harus mempertimbangkan para pencinta sepakbola Indonesia. Mereka harus sadar bahwa sepakbola, bagi negara ini sudah memiliki tempat yang spesial bahkan semenjak zaman kolonialisme. Jika tidak ada timnas sepakbola di SEA Games tahun depan, besar kemungkinan para pendukung timnas akan melakukan beragam aksi agar timnas dilibatkan dalam SEA Games. Seperti saya, misalnya, yang membuat tulisan ini.

Ah.. ayolah, tahun depan tidak akan sama dengan tahun ini. Memangnya, kalau timnas pada 2016 ini mencapai final Piala AFF, mereka bakal meraih medali tahun depan? Memangnya, kalau timnas tahun ini terpuruk, mereka bakal gagal di SEA Games tahun depan?

Kalaupun Satlak Prima ingin memberikan motivasi agar timnas bisa tampil maksimal, saya rasa, tak perlulah dengan persyaratan-persyaratan seperti itu. Persyaratan itu justru akan membuat timnas semakin terbebani. Biarkanlah timnas termotivasi karena keinginan mereka mengharumkan nama Indonesia.

Tak usah ditambah dengan embel-embel supaya bisa berlaga di turnamen-turnamen berikutnya: SEA Games-lah, Asian Games-lah, Piala Asia-lah. Sebab mereka akan dan memang pasti memiliki motivasi sendiri dengan cara masing-masing. Dengan begitu, sekali lagi, Satlak Prima harus kembali mempertimbangkan syarat yang mereka berikan kepada punggawa timnas ini.

Semua yang saya paparkan dan analisis di atas adalah kemungkinan terburuk dengan memandang kondisi sepakbola yang terjadi saat ini. Namun, tentu saja harapan terbesar saya dan seluruh masyarakat Indonesia adalah melihat tim nasional meraih juara Piala AFF untuk pertama kalinya.

Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad. Terjebak di antara desain dan tulisan. Dapat dihubungi lewat akun @sptwn_

Komentar