Laporan dari Halmahera: Saat Muslim dan Nasrani Bertanding di Hari Natal dan Lebaran

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Laporan dari Halmahera: Saat Muslim dan Nasrani Bertanding di Hari Natal dan Lebaran

Dikirim oleh Abdu Rizal Syam


Di saat dunia sedang riuh oleh perselisihan yang mengatasnamakan agama, sepakbola sekali lagi bisa menjadi contoh tentang bagaimana agama bukan menjadi alasan untuk bertikai. Perbedaan agama, kendati pernah mengobarkan perseteruan, akhirnya justru menjadi bianglala yang merekahkan toleransi.

Itu terjadi secara nyata, bukan fiksi. Hal tersebut terjadi di dua desa pesisir yang terletak di selatan pulau Obi, Kab. Halmahera Selatan, di Maluku Utara, yakni Desa Fluk dan Desa Bobo.

Anda mungkin harus membuka peta untuk mengetahui letak kedua desa bertetangga ini. Jalan penghubung antar desa yang jaraknya 10 km lebarnya hanya muat untuk ukuran satu sepeda motor. Belum kondisi jalan yang bertanah dan berbatu, sebab jalan ini adalah jalan yang biasa digunakan masyarakat untuk pergi berkebun. Belum lagi harus menyeberangi sungai tanpa jembatan. Jadi untuk menyebranginya harus menunggu air surut. Dengan kondisi semacam itu, jangan berharap bisa menemukan sinyal ponsel di sana.

Fluk adalah desa dengan penduduk yang seluruhnya Muslim, sebaliknya Desa Bobo yang berada di sebelah timur adalah desa dengan masyarakat 100% Nasrani. Jelas betapa rentannya kedua desa ini dengan isu-isu intoleransi.

Pada akhir 90-an hingga akhir tahun 2000, ketika konflik horizontal sedang berkecamuk di tanah yang dulunya disebut oleh pedagang Arab sebagai Jazirah Al-mulk, Maluku, kedua desa ini juga dihadapkan pada pertikaian yang memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Aksi saling serang menjadi hal yang lumrah ketika itu. Rumah-rumah hangus ter(di)bakar. Semua hidup dalam rasa was-was. Kewaspadaan siang-malam sudah menjadi refleks keseharian.

Ketika perang antar agama sudah berakhir, sentimen-sentimen kecil masih terjadi. Namun para pemuda di kedua desa tersebut mempunyai satu medium untuk menghilangkan aroma permusuhan yang dulunya pernah menyala begitu kuat. Media itu bernama sepakbola.

peta fluk

Sebagaimana sepakbola bisa menyusup hingga di tengah-tengah puing sisa ledakan di Irak, atau sepakbola juga menjadi cara bagi Che Guevara dalam berbaur dengan masyarakat ketika berkeliling Amerika Latin, dua desa pesisir ini juga menggunakan sepakbola untuk melupakan luka yang pernah mereka buat satu sama lain.

Dengan cara apa kedua desa ini menggunakan sepakbola untuk mempererat persaudaraan? Jawabannya adalah dengan merayakan hari raya.

Hari raya adalah momentum bagi manusia untuk mengikat tali silaturahmi, bukan hanya dengan sesama penganut agama, namun dengan agama lain. Momentum hari raya keagamaan juga digunakan pemuda-pemuda di kedua desa ini untuk menjalin silaturahmi.

Sudah bertahun-tahun menjadi sebuah kebiasaan atau bahkan budaya, setiap salah satu di antara dua desa ini merayakan hari keagamaannya selalu diadakan pertandingan persahabatan sepakbola. Jika saat hari raya Idul Fitri, desa Fluk akan mengadakan laga persahabatan dan mengundang desa Bobo. Sebaliknya jika saat Natal atau Tahun Baru yang merupakan hari besar bagi umat Nasrani, desa Bobo akan menyelenggarakan pertandingan persahabatan dan tentu saja mengundang desa Fluk.

Ketika tahun 2014 hendak berganti ke 2015, desa Fluk diundang dalam laga persahabatan yang dilangsungkan di Desa Bobo. Pada saat itu, sebagian besar penduduk di desa Fluk menghadiri undangan tersebut. Ini serius. Saya tidak mendramatisirnya. Saat itu di desa Fluk hanya menyisakan para orang tua dan anak-anak saja, selain itu semua bertandang ke desa Bobo.

Tentu sebuah kisah yang luar biasa menarik di tengah terpaan pertikaian antar agama, Fluk hanya perlu mengirimkan 11 pemain untuk menghadiri undangan tersebut. Tapi yang terjadi justru warga Fluk berbondong-bondong menghadiri dan memeriahkan hari besar saudaranya yang berbeda iman. Tanpa paksaan apapun.

Pada saat itu, pemain dari Fluk menggunakan satu lombot (sebuah perahu yang bisa menampung 20 orang), sedangkan suporter atau penduduk Fluk sendiri menggunakan 1 kapal (kapal nelayan) dan 3 lombot serta puluhan sepeda motor yang menggunakan akses darat. Jika ditempuh melalui laut dengan menggunakan perahu, dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk menjangkau satu sama lain.

Sesampainya di desa Bobo, masyarakat Fluk ini diterima dengan baik. Mereka tinggal di rumah-rumah masyarakat Bobo. (Sudah) tidak ada lagi ketakutan seperti yang sering diteriakkan para fundamentalis.

Simak cerita yang agak mirip perihal toleransi dari lapangan sepakbola. Ini cerita dari sebuah desa di pinggiran Bandung:

Toleransi Beragama dari Lapangan Hijau.


Pertandingan dilangsungkan dan desa Fluk unggul hingga menit terakhir. Namun kekalahan tersebut tidaklah penting. Rasa`kecewa selalu ada ketika dihadapkan pada kekalahan, tapi itu tidak berlarut-larut. Sebab suka-cita pergantian tahun Masehi sedang berlangsung. Suka cita tersebut dibuktikan dengan “ditahannya” penduduk Fluk agar tidak langsung pulang ke desanya. Bahkan ada yang tak dibolehkan pulang selama seminggu. Dan itu dilakukan tanpa pretensi apapun selain persaudaraan.

Selama tinggal di Bobo, warga Fluk dijamu segala kebutuhannya. Dari tidur hingga makan. Untuk urusan perut, tentu saja warga Bobo tahu bahwa masyarakat Muslim punya beberapa jenis makanan yang diharamkan. Dan mereka tidak pernah menyodorkan makanan-makanan yang diharamkan dalam ajaran Islam.

Hal tersebut sebaliknya terjadi saat hari raya Idul Fitri. Pemuda Fluk juga menggelar laga persahabatan. Masyarakat Bobo diundang untuk merayakannya. Mereka juga diberi tempat tinggal dan dilayani sebagaimana saudara yang sedang bertandang ke rumah.

Beberapa hari yang lalu, sebelum hari raya Idul Fitri, saya juga mendengar kabar bahwa diadakan (lagi) laga yang mempertemukan dua penganut agama yang berbeda itu di lapangan sepakbola desa Fluk. Sayang sekali saya tidak bisa menyaksikannya karena Lebaran ini saya tidak pulang kampung ke Fluk.

Sesungguhnnya saya merindukannya. Selalu menyenangkan melihat bagaimana di lahan dengan rumput yang hijau itu dilepaskan pula sekat-sekat yang memisahkan. Menyaksikan bagaimana persaudaraan yang diiringi laju bola dan jatuh bangun 22 pemuda. Pada saat itu, saya rasa, yang membedakan mereka hanyalah warna kostum. Selain itu adalah soal berbagi keceriaan hari raya.

Kebaikan yang diterima selama Natal di Desa Bobo, dibalas dengan lunas dengan kebaikan yang sama oleh warga desa Fluk saat hari raya Idul Fitri. Mereka bertukar peran dan tempat. Dan mereka bertukar kebaikan pula.

Jika kebaikan berjumpa dengan kebaikan, niscaya akan bermekaranlah bunga-bunga kemanusiaan. Yang harum. Yang sedap dicium dan dihayati.

Permasalahan toleransi menjadi hal yang langka di negeri ini, segala permusuhan mengatasnamakan agama menjadikan jatuhnya korban yang belum tentu ikut terlibat dalam pertikaian. Bagiamana dikotomi mayoritas dan minoritas selalu menjadi bahan perdebatan, bahwa minoritas dikatakan harusnya sadar diri, lalu mayoritas dikatakan harusnya tidak bebal dengan tidak menghormati mayoritas. Perdebatan semacam itu tidak akan pernah selesai, sebab di manapun di dunia ini selalu ada menang dan kalah secara kuantitas, dan itu sangatlah relatif, di mana mayoritas di sini bisa menjadi minoritas di belahan bumi lain.

Saya teringat ucapan Albert Camus yang sangat terkenal itu: “Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab, saya belajar dan berhutang pada sepakbola.”

Dua desa itu menggunakan sepakbola untuk mempertanggungjawabkan sekaligus melebur permusuhan yang dulu pernah merampas keluarga mereka. Mereka menggunakan sepakbola untuk menjawab tanggung jawab akan kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang merayakan hidup dan bukan diabdikan untuk permusuhan yang merayakan kematian. Juga menjawab tuntutan tanggung jawab pada diri sendiri perihal bagaimana hidup bersosial tanpa memandang perbedaan dan batas-batas iman.

Penulis berasal dari Desa Fluk yang diceritakan dalam tulisan di atas. Kini menetap di Ternate Selatan, Maluku Utara. Dapat dihubungi melalui akun twitter: @rizArt_.

Foto di atas merupakan lapangan Desa Fluk. Diambil di hari-hari biasa, bukan saat peristiwa yang diceritakan.

Komentar