Tragedisme, Steven Gerrard, dan Awal Kisah Barunya

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Tragedisme, Steven Gerrard, dan Awal Kisah Barunya

Dikirim Oleh: Bergas Agung Brillianto*


Sebuah karya sastra pastilah memiliki aliran yang mewakilinya. Aliran dalam sebuah karya sastra biasanya berhubungan dengan pandangan hidup yang dianut oleh penulisnya.

Salah satu aliran yang ada dalam sebuah karya sastra adalah aliran tragedisme. Tragedisme yang mulanya berakar dari drama Yunani kuno ini merupakan sebuah aliran dalam karya sastra yang di mana dalam sebuah karya tersebut ceritanya melukiskan mengenai tragedi-tragedi yang dialami oleh protagonis, yang berakhir dengan keputusasaan atau kehancuran sang protagonis. Cerita-cerita beraliran tragedisme biasanya tak jauh dari kesedihan, yang protagonisnya menemui kehancuran karena kelemahan juga kekurangan yang dimiliki.

“Shakespearean Tragedy”, adalah klasifikasi drama yang ditulis oleh sastrawan tersohor asal Inggris, William Shakespeare. Shakespeare memang kerap menggunakan aliran tragedisme dalam beberapa karyanya. Dalam “Shakespearean Tragedy” itu,  dijelaskan bahwa tragedisme biasanya memiliki protagonis yang mulia, namun memiliki beberapa kelemahan/kekurangan. Kemudian ditempatkan dalam situasi stres tinggi, dan berakhir dengan kesimpulan fatal.

Plot tragedisme, menurut Shakespeare, fokus pada pembalikan keberuntungan dari karakter utama yang mengarah ke kehancuran mereka dan pada akhirnya, bisa berupa kematian.

***

Jika melihat teori tragedisme di atas, lalu kita menengok ke dalam dunia sepak bola, kita juga dapat menemukan kisah-kisah yang jika dijadikan karya sastra, maka kisah tersebut akan beraliran tragedisme. Salah satu di antaranya adalah kisah perjalanan karir Steven George Gerrard–selanjutnya disebut Gerrard—ketika berbaju Liverpool FC maupun Timnas Inggris. Entah sebuah kebetulan atau tidak, kisah perjalanan panjang Gerrard memiliki kriteria-kriteria sebagai sebuah kisah beraliran tragedisme.

Sebagai sang protagonis, Gerrard adalah seorang protagonis yang mulia. Sebagai seorang gelandang, kemampuannya tak usah diragukan lagi. Kita tentu sudah tahu bagaimana Hollywood pass dan tendangan keras yang Ia miliki. Gerrard juga hampir memiliki segala trofi yang ia bisa dapatkan, dari mulai Piala FA hingga Liga Champions. Lebih lagi, Ia juga adalah seorang kapten tim, ketika berbaju Liverpool FC maupun timnas Inggris.

Namun sebagai protagonis, Gerrard juga mempunyai kekurangan yang kemudian menjadi beban tersendiri bagi dirinya. Kekuranga Gerrard mungkin bukan terletak pada kemampuannya mengolah si kulit bundar. Kekurangan Gerrard bisa jadi adalah nasib sial bersama Liverpool di Liga Inggris, juga bersama timnas Inggris di level internasional. Kekurangan yang membuat Gerrard sebagai protagonis, sering dijadikan bahan lelucon.

Jika saja Gerrard memiliki keberuntungan lebih untuk mengubah nasib itu, mungkin cerita mengenai karirnya bukanlah sebuah kisah beraliran tragedisme. Ending-nya tentu sudah pasti bahagia.

Plot dalam kisah tragedisme biasanya mengenai pembalikan keberuntungan atau kejayaan protagonis ke arah kehancuran; karir Gerrard pun demikian. Memulai karir bersama Liverpool pada usia 19, pria Merseyside ini sudah memenangi tiga gelar dua musim kemudian, lalu didaulat menjadi kapten tim. Gerrard memenangi gelar Liga Champions pada usia keemasan dan beberapa kali masuk dalam nominasi Ballon D’Or dan PFA team of the year, serta mampu meraup gol dan assist dengan jumlah yang tak sedikit.

Di timnas Inggris, ia sudah jadi pilihan utama sejak Piala Eropa 2004 dan sudah menjadi kapten tim pada Piala Dunia 2010. Itu adalah masa-masa kejayaan dalam karir bapak dari tiga anak ini.

Lalu, masa itu berbalik dalam beberapa tahun terakhir. Gerrard harus mengalami beberapa kehancuran-kehancuran dalam karirnya. Ketika sudah mulai dimakan usia, permainannya menurun, mobilitasnya berkurang, sehingga Gerrard kerap kali dianggap sebagai kelemahan dalam tim. Tragedi kemudian menerpa Gerrard sebelum menemui akhir perjalanannya. Kita tentu masih ingat bagaimana tragedi terpelesetnya Gerrard sebagai sebuah puncak kehancuran yang menerpa kisah perjalanannya.

Di timnas Inggris, kehancuran Gerrard terjadi ketika ia tak mampu membawa tim asuhan Roy Hodgson berbicara banyak di kejuaraan internasional terakhirnya. Inggris pulang dengan hanya mendapat satu poin di Piala Dunia 2014.

Kemudian, setelah mengalami kehancuran, sampai-lah Gerrard pada “kematian karirnya” di Liverpool dan timnas Inggris. Ia lebih dulu memutuskan mengakhiri karir internasionalnya bersama pasukan Tiga Singa setelah peristiwa tragis di Piala Dunia 2014. Kemudian selang beberapa waktu, Ia memutuskan menyudahi karirnya di klub kesayangaannya.

Kematian atau akhir karir Gerrard bersama The Reds justru menambah kisah perjalananya menjadi lebih tragis. Di akhir-akhir perjalananya itu Gerrard justru mendapat pil pahit. Pertandingan perpisahan di Anfield berakhir dengan kekalahan. Yang lebih mengecewakan lagi, kematian karirnya bersama Liverpool juga berakhir dengan kekalahan, kali ini lebih memalukan. Begitulah kisah tragedisme yang dialami Steven Gerrard berakhir.

***

Saat ini, kisah tragedisme dalam karir Gerrard sudah berakhir. Gerrard kini tengah memulai kisah barunya bersama LA Galaxy. Dalam kisah ini, Gerrard masih menjadi seorang protagonis yang mulia. Pada kisah baru, segala hal-hal buruk yang menimpa Gerrard pada kisah kemarin sudah dibuang jauh-jauh.

Tapi tentu, tak ada yang tahu apakah kisah ini juga akan beraliran tragedisme atau justru sebaliknya. Tapi saya percaya, banyak yang berharap akan terjadi sebaliknya. Banyak yang berharap pada kisah barunya yang mungkin hanya sebentar ini, kebahagiaan dan kejayaan adalah akhir terbaik bagi Steven Gerrard.

Mungkin dalam kisah baru ini, akan berakhir dengan gelar juara di tangan Gerrard setelah Ia berhasil mengalahkan pemain-pemain bintang lain di MLS.

Penulis adalah mahasiswa, serta anggota @komunitasTembok Rawamangun. Bisa dihubungi melalui akun twitter @bergasss.

Komentar