Makna Lord Atep dan Bobotoh buat Saya

Nasional

by Tokoh Utama

Tokoh Utama

Tempat berbagi kisah para pemain, pelatih, agen, dan mereka yang terlibat langsung di sepakbola, di mana mereka menjadi "tokoh utama"-nya.

Makna Lord Atep dan Bobotoh buat Saya

Nama saya Atep. Hanya Atep. Nama Atep Rizal memang sempat muncul setelah beberapa tahun karier saya di Persib Bandung. Ada juga yang menambahkan Atep Ahmad. Ada lagi yang menambahkan Atep Ahmad Rizal. Tapi nama asli saya Atep. Hanya Atep.

Saya lahir di Cianjur. Pernah berseragam Persija Jakarta dan tim nasional, dan terakhir Persib Bandung. Kepindahan saya ke Persija sempat jadi kontroversi, begitu juga waktu pindah ke Persib dari Persija. Karier saya memang merangkum pujian dan cacian.

Bergabung ke Persija tahun 2004 murni keputusan saya. Masuk ke situ lewat Timnas Indonesia U20. Waktu itu saya asli jebolan Persib yang main di Piala Soeratin, pernah bawa juara juga. Dari situ juga saya ikut seleksi timnas bahkan terpilih jadi pemain perwakilan Jawa Barat. Selama masa seleksi dan di timnas itulah Persija terus memantau saya.

Tapi tentu keinginan saya adalah bermain untuk Persib. Saya tahu kalau masuk Persib harus punya nama besar dan harus punya kualitas di atas rata-rata. Cuma waktu itu memang belum ada tawaran masuk Persib sampai akhirnya saya terima penawaran Persija.

Saya beruntung mengambil kesempatan itu. Saya bisa bertemu dengan pemain-pemain nasional seperti Kurniawan Dwi Yulianto atau Hamka Hamzah yang mendidik saya. Lalu selama tiga tahun itu juga saya berusaha menguatkan mental dan mempersiapkan diri untuk masuk Persib. Tujuannya memang tetap satu: main di Persib.

Akhirnya kesempatan gabung Persib tiba pada 2008. Saya diajak gabung Persib oleh manajemen. Padahal waktu itu saya salah satu pemain yang dipertahankan oleh Persija karena saya masih muda. Tawaran Persib saya ambil karena kalau tidak saat itu, kapan lagi? Itu kesempatan terbaik.

Walau Persija adalah rival Persib, dari pihak bobotoh sangat mendukung kepindahan saya. Ketika datang ke Bandung, saya disambut baik karena memang saya adalah salah satu putra daerah yang diharapkan bisa membela Persib. Walaupun memang, akhirnya saya disambut tidak baik oleh pendukung Persija. Tapi itu sebuah risiko dalam diri seorang pesepakbola, apalagi berada di tim yang berseteru.

Terbukti, alhamdulillah, saya bisa bertahan sampai 10 tahun. Dengan kontrak pemain Indonesia yang hanya satu tahun-satu tahun, saya cukup beruntung bisa terus berseragam Persib. Bahkan tahun 2012 saya ditunjuk jadi kapten menggantikan Maman Abdurrahman yang hengkang. Walau berat, saya harus belajar memikul beban itu.

Sebagai kapten, saya juga bersyukur bisa mengakhiri puasa gelar Persib yang sempat tak juara liga selama hampir 20 tahun pada 2014. Skuat 2014 itu memang beda. Skuat 2014 itu, ibaratnya, tanpa instruksi Pa Djajang pun bisa jalan karena para pemainnya saling mengerti satu sama lain. Tapi di beberapa kesempatan juga Pa Djajang kasih instruksi khusus ke pemain yang bisa mengubah pertandingan.

Kebersamaan memang terjalin di skuat 2014. Sebelum pertandingan, walau harus tetap serius di pertandingan, kami selalu bisa bercanda-canda, joget-joget.... cair lah. Ruang ganti enak, pas pertandingan pun enak. Antar pemain memang kompak.

Mental kami diuji betul waktu itu. Pertandingan babak semifinal jadi salah satu momen penting sebagai uji mentalitas kami, khususnya buat saya.

Waktu itu lawan Arema, saya cadangan. Permainan Persib tidak berkembang. Selama 45 menit tertekan oleh Arema. Persib tertinggal 0-1 lewat gol Beto Goncalves. Mungkin mereka lebih nothing to lose karena yang hadir di Stadion Jakabaring rata-rata bobotoh. Mereka bisa bermain enjoy. Sementara itu saya mengamati apa yang harus saya lakukan ketika saya masuk dari bangku cadangan.

Menit ke-76 saya masuk gantikan Tantan. Pa Djajang bilang saya harus sering menusuk.

Setelah menit ke-83, gol terjadi oleh Vladimir Vujovic. Di situ momentumnya berbalik. Dari tertekan, motivasi jadi mulai bangkit.

Tidak lama dari kick-off perpanjangan waktu, saya melihat ada celah. Waktu itu bola dipegang oleh Makan Konate: dia dribel ke tengah, saya langsung menusuk. Saya sangat mengerti biasanya bola-bola Konate seperti itu (umpan daerah menyusur tanah). Ketika saya lari, bolanya menusuk melewati celah stopper dan wing-back kanan Arema, kalau gak salah Benny Wahyudi.

Bola itu langsung berhadapan dengan kiper. Saya berpikir cepat, "Kalau bola saya kontrol, ini pasti kiper akan bisa baca". Tapi saya melihat ruang, saya arahkan bola itu ke tiang jauh. Akhirnya terjadilah gol itu. Gol pembalik keadaan.

Dengan spontan saya berlari mendekati suporter karena menurut saya ini layak untuk dirayakan bersama-sama bobotoh. Menurut saya, pertandingan akan kita menangkan walaupun sebenarnya waktu itu masih ada beberapa menit lagi. Bahkan saya sudah merasa juara padahal masih ada satu pertandingan lagi. Tapi sisanya, seperti yang kalian tahu, sejarah....

Meski begitu, memang setelah juara tersebut saya mulai jalani karier yang jauh lebih tidak mudah. Saya mulai lebih sering dengar julukan Lord Atep. Waktu awal dapat julukan itu saya agak risih, "Ieu naon, sih? (Ini apaan, sih?)". Artinya semacam pangeran lah. Saya tau waktu itu agak nyindir, agak bercanda.

Seiring berjalannya waktu, prestasi saya mulai meningkat lagi. Gol demi gol lahir. Saya bawa Persib juara Piala Presiden 2017. Julukan itu akhirnya jadi membuat positif, sebuah ciri khas. Jadi siapapun pencetus julukan itu, berkat dia julukan itu kini melekat pada diri saya sampai sekarang.

Bukan cuma Lord Atep. Saya juga mendapat julukan Si Sirip Hiu. Ini identik dengan rambut saya yang sejak 2008 bergaya mohawk. Mungkin beberapa tahun ke belakang orang mulai lihat ini kayak hiu karena ada siripnya. Apalagi kalau kena hujan, naik. Bentuknya mulai terlihat.

Uniknya kalau sirip hiunya kena hujan dan bereaksi, biasanya cetak gol, walaupun tidak melulu terjadi. Tapi ada beberapa momen ketika rambut saya berdiri, sirip hiunya berfungsi, saya bisa cetak gol.

Soal mencetak gol, saya juga tahu kalau bobotoh akan melakukan push-up ketika saya bikin gol. Pada awalnya mungkin sebuah tantangan. Sejarah awalnya kalau gak salah waktu saya jarang cetak gol, di sosial media mulai rame: karena Atep jarang cetak gol dan ketika dapat peluang jarang jadi gol, bobotoh mau push-up. Da moal gol meureunan.

Tapi selalu ada rezeki buat saya. Bola susah jadi gol, kadang bola enak gak jadi gol. Makanya semakin ke sini semakin termotivasi untuk membuktikan. Jadi sering cetak gol juga. Akhirnya mereka melakukan itu, push-up kalau saya cetak gol. Sebenarnya lucu, tapi jadi ciri khas seorang Atep: setiap Atep buat gol, bobotoh akan push-up.

Atep Seven juga jadi sindiran lainnya yang dialamatkan pada saya karena saya identik dengan nomor tujuh. Tapi soal nomor tujuh ini punya cerita tersendiri. Nomor itu pemberian dari pelatih yang menemukan dan membawa saya ke timnas, Peter Withe. Dulu saya sering pake nomor 9 atau 21, gak tentu bahkan. Tapi Peter Withe memberikan nomor 7 karena saya pemain sayap. Itu selalu melekat pada saya. Nomor tersebut terus saya gunakan sebagai bentuk penghargaan saya ke beliau.

Cacian lain yang dialamatkan pada saya adalah saya dianggap anak emas coach Djajang Nurjaman dan Umuh Muchtar. Padahal kedekatan saya dengan Pak Haji Umuh dan Pak Djajang hanya sebagai rekan kerja biasa.

Mungkin terlihat dekat karena saya sering berkomunikasi dengan Pak Djajang sebagai tugas kapten. Pa Umuh juga seperti itu walaupun agak berbeda. Kalau pak Haji Umuh: "Ayo, Tep. Ajak anak-anak, kita makan atau ke mana..."

Saya hanya menyampaikan pesan dari Pak Djajang atau Pak Haji Umuh ke anak-anak. Tidak ada kedekatan lain. Kami profesional. Gak ada anak emas. Semua pemain yang ada di Persib diperlakukan sama oleh Pak Umuh dan Pak Djajang. Jadi intinya kedekatan kami mungkin karena posisi saya sebagai kapten dan pemain Jawa Barat terlama di Persib.

***

Kemarin hari Minggu (13/1) saya ditelepon, bicara dengan manajemen Persib, pada akhirnya kontrak saya tidak diperpanjang karena gak masuk skema 2019. Buat saya gak masalah. Ini demi kebaikan Persib. Saya juga menyadari kalau kemampuan saya tidak sebagus dulu. Saya terima keputusan manajemen. Saya hormati, saya terima.

Memang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya berharap bukan terjadi pada saya: orang yang sudah memberikan segalanya buat tim, tapi hanya dihargai dengan pemutusan kontrak lewat telepon. Tentunya yang saya harapkan, saya datang ke Bandung dengan sambutan, keluar pun dengan sambutan. Saya datang ke Bandung baik-baik. Saya pun ingin keluar dengan baik-baik. Berpisah baik-baik dengan bobotoh, karena bobotoh yang membesarkan nama saya.

Jujur untuk waktu dekat saya belum bisa.... belum bisa memutuskan apakah saya lanjut atau saya mengakhiri karier di Persib. Butuh proses. Ya, mudah-mudahan ada jalan yang terbaik buat saya.

Tapi saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk bobotoh. Apresiasi dari bobotoh sangat saya rasakan. Menurut saya, ketika saya main bagus, pantas untuk disanjung. Ketika saya main jelek, pantas dihujat. Itu bentuk dari kecintaan mereka, kecintaan bobotoh. Mereka yang membesarkan saya, bobotoh yang membesarkan saya.

Apapun itu, bobotoh harus tetap semangat mendukung Persib. Karena sampai kapanpun, saya akan tetap menjadi bobotoh... bersama kalian.

Komentar