Mengenal Fergus Suter Melalui Mini Seri The English Game

Film

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Mengenal Fergus Suter Melalui Mini Seri The English Game

“Seorang yang bermain (sepakbola) untuk uang, tidak akan sebaik seorang yang bermain demi kecintaan pada permainan sepakbola.”

Sepenggal kalimat tersebut merupakan salah satu dialog dalam film seri “The English Game”. Pandemi corona yang menyebar hamper di seluruh pelosok dunia mengakibatkan kompetisi olahraga, khususnya sepakbola, mayoritas sudah resmi dihentikan. Sudah kurang lebih 14 hari kita tidak dapat menikmati salah satu hiburan krusial dalam hidup kita, yaitu pertandingan sepakbola.

Namun, Netflix menawarkan sensasi lain dalam menikmati sepakbola dengan menayangkan film seri The English Game. Miniseri yang disutradarai Julian Fellowes itu berkisah tentang bagaimana sepakbola Inggris berevolusi menjadi sepakbola profesional.

VIDEO: Update informasi sepakbola dunia



The English Game terinspirasi dari kisah nyata seorang pesepakbola profesional pertama di dunia, Fergus Suter. Cerita ini berlatar tahun 1878 di mana sepakbola Inggris masih dikuasai kaum bangsawan. Ketika itu belum ada nama Manchester United, Liverpool, Arsenal, apalagi Manchester City. Sepakbola Inggris kala itu dikuasai nama besar seperti Wanderers, Old Etonians, dan Royal Engineers.

Film ini juga menceritakan bagaimana sepakbola Inggris menjadi “nyawa” bagi kelas pekerja. Sepakbola adalah kebanggaan bagi kaum buruh, setelah lelah bekerja dan menghadapi banyak permasalahan, ada satu waktu yang selalu ditunggu untuk melepas penat, yaitu saat menonton pertandingan.

Awal Revolusi Sepakbola Inggris

Semua kisah berawal di tanah Inggris, negeri yang mengklaim dirinya sebagai asal muasal sepakbola. Dibuktikan dengan menggelar Piala FA yang merupakan turnamen sepakbola pertama di dunia dan bergulir pertama kali pada tahun 1871. Sejak saat itu, perebutan supremasi sepakbola di Inggris selalu ditentukan di kompetisi ini.

Sejak bergulir tahun 1871, Piala FA dikuasai oleh kaum bangsawan macam Wanderers dan Old Etonians yang menguasainya. Wanderers telah tampil dalam enam final Piala FA dengan lima diantaranya menjadi juara. Sedangkan Old Etonians, bermain dalam lima edisi final dan jadi juara sekali.

Selain Fergus Suter yang akan kita bahas nanti, ada satu sosok protagonis lainnya dalam The English Game. Seorang pria yang digambarkan gagah, tampan, dihormati dan bijaksana yang bernama Arthur Kinnaird. Kelak kita mengenal Arthur Kinnaird sebagai Ketua FA dengan masa bakti selama 33 tahun.

Artikel Kumparan menjelaskan bahwa Kinnaird adalah seorang bangsawan lulusan Eton College. Dalam karier sepakbolanya, dia pernah bermain di semua posisi, dari kiper sampai striker. Arthur Kinnaird, juga pernah memperkuat Wanderers dan Old Etonians, sehingga ia mampu mencapai sembilan kali partai puncak Piala FA, prestasi yang hingga kini belum bisa disamai pemain mana pun.

The English Game menunjukan bagaimana permainan sepakbola Inggris berkembang. Saat dikuasai oleh kaum bangsawan, sepakbola Inggris begitu keras, dan mengandalkan kemampuan individu yang menggiring bola sendirian hingga ke depan gawang lawan, persis permainan rugby.

Namun, semua berubah dengan kedatangan Fergus Suter bersama sahabatnya, Jimmy Love. Mereka berdua didatangkan dari Partick (sebuah klub dari Glasgow, Skotlandia) menuju Darwen, sebuah kesebelasan kelas pekerja yang beranggotakan para buruh pabrik tekstil.

Kedatangan Fergus Suter ke Darwen membuat dampak yang besar bagi persepakbolaan Inggris kala itu. Julian Fellowes menjelaskan kepada Radio Times betapa pentingnya Suter:

"Dia benar-benar mengubah permainan Inggris, Fergus Suter. Dia membawa dimensi berbeda ke Inggris, di mana sebelumnya, rugby sangat mempengaruhi permainan sepakbola. Dan mereka bermain cukup keras."

Sepakbola Skotlandia, tempat Suter tumbuh, merupakan antithesis dari sepakbola Inggris. Para pemain Skotlandia yang mayoritas bertubuh kecil, tidak mampu bermain dengan mengandalkan kekuatan fisik. Alhasil, sepakbola Skotlandia kala itu mengandalkan kolektivitas melalui operan pendek yang fluid.

Sebagai orang Skotlandia, kehadiran Suter memang membawa revolusi dalam sepakbola Inggris. Dalam salah satu adegan The English Game, Suter mencoba mengatur pergerakan dan posisi rekannya di Darwen untuk menghindari kontak fisik dan lebih mengandalkan operan.

Permainan ala Skotlandia lantas diadopsi oleh banyak tim-tim Inggris, salah satunya Preston North End 1888-89.Preston saat itu berhasil menjadi tim pertama yang menjuarai kompetisi liga dan Piala FA di tahun yang sama. Tujuh dari sebelas pemain tim utama Preston berasal dari Skotlandia yang menonjolkan permainan kolektif.

Selain membawa perubahan pada filosofi bermain, Suter juga menginspirasi bagaimana bakat, keterampilan dan kerja keras pesepakbola harus dihargai dan diapresiasi dengan dibayar secara profesional.

“Aku tidak disuap. Aku dibayar untuk menghibur orang banyak yang membayar mahal untuk melihat ku.”

Sebuah dialog yang dilontarkan oleh Fergus Suter dalam salah satu adegan menegaskan bahwa pesepakbola layak dihargai secara profesional.

The English Game memperlihatkan bagaimana para pemain hanya bermain dengan landasan loyalitas. Mereka yang bekerja sebagai buruh tak dibayar kecuali gaji mereka sebagai buruh. Konflik inilah menjadi plot utama miniseri The English Game.

Miniseri ini juga menunjukkan bagaimana sepakbola berpindah tuannya, dari yang awalnya dikuasai kaum bangsawan, sehingga menjadi milik para kelas pekerja dan masyarakat.

“Permainan ini sangat berarti untuk masyarakat. Mereka telah bekerja keras dalam sepekan, menanti hari Sabtu saat mereka bisa bersorak untuk tim mereka, melupakan beban pekerjaan mereka. Jika kalian (kaum bangsawan) mengambil semua ini, bukan hanya pemain yang kau sakiti, tapi semua rakyat yang berharap pada tim ini.” Sebuah sikap yang ditegaskan Suter bahwa sepakbola bukan milik sebagian kaum, tetapi milik bersama.

Sejak saat itu, sepakbola di Inggris khususnya, dapat dinikmati sebagai hiburan, melepas gundah, mereka yang telah bekerja keras.

Membuka Tabir Fergus Suter

Drama menjadi bumbu krusial dalam membuat sebuah film ataupun miniseri. Para penonton begitu menikmati hingga sampai pada proses mengharapkan bagaimana perasaan mereka akan diombang ambing. Hal yang menjadi kebutuhan komersil para penggiat film apapun genre-nya.

Tak terkecuali The English Game ikut menawarkan hal serupa. Persahabatan, keluarga hingga persaingan menjadi pelengkap cerita ini. Inilah yang membuat banyak sekali kisah Fergus Suter yang sedikit melenceng dari kejadian nyata nya.

Menurut artikel DigitalSpy "The English Game leave out some important details about the real Fergus Suter", Suter dan rekan setim nya Jimmy Love direkrut dan bermain untuk Darwen FC dari tim Skotlandia Partick FC pada tahun 1878. Dalam cerita, bos tim dan pemilik pabrik kapas James Walsh sendirilah yang mengintai bakat Fergus dan membayarnya demi bermain untuk Darwen.

Namun dalam kenyataannya, Suter membuat langkah sendiri. Setelah Jimmy Love mulai bermain di Darwen, Suter menulis surat lamaran kepada sekretaris klub, Tom Hindle, untuk menanyakan apakah ada tempat baginya di Darwen.

Darwen telah bermain melawan Partick sebelumnya, jadi tim sudah melihat bakat Suter. Tetapi di sisi lain, ini menunjukkan bagaimana Suter adalah pemain yang memiliki inisiatif dan tekad yang besar untuk berhasil.

Di awal episode, Suter digambarkan bekerja di pabrik kapas yang dijalankan oleh bosnya Darwen FC Walsh yang juga membayarnya untuk bermain sepak bola. Pada kenyataannya, ia harus pindah dari Skotlandia setelah kehilangan pekerjaannya sebagai tukang batu.

Keruntuhan keuangan City of Glasgow Bank pada Oktober 1878 telah membangkrutkan majikan Suter Peter Mckissock, memaksa Suter untuk berhenti bekerja pada semua proyek pembangunannya.

The Lancashire Evening Post menjelaskan: “Dia (Suter) datang dengan kedok seorang tukang batu tetapi nyata nya dia hanya bekerja di perdagangan selama satu atau dua minggu. Setelah itu dia dibayar untuk bermain sepakbola. "

Suter mengklaim bahwa ia tidak dapat bekerja sebagai tukang batu di North West England karena batu Lancashire membuat tangannya bengkak. Ini merupakan alasan yang dibuat oleh Suter agar tetap dibayar untuk bermain sepakbola saja. Pada tahun tersebut, FA memiliki peraturan bahwa pemain tidak boleh diupah sebagai pemain bayaran. Hal tersebut yang mendesak Suter mengaku sebagai tukang batu.

Dalam sebuah wawancara dengan The Lancashire Evening Post, Suter mengatakan: "Kami tidak memiliki upah tetap. Mungkin kami tak digaji selama tiga minggu untuk kemudian dibayar £ 10."

Itu merupakan jawaban Suter saat ditanya bagaimana mungkin seorang buruh diupah 10 paun pada saat upah rata-rata pekerja kurang dari £ 2 per minggu.

Kondisi yang menjadi kontroversi yang dianggap bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan FA untuk menjaga keadilan antar pemain.

Suter akhirnya meninggalkan Darwen setelah dua musim, sama seperti yang dikisahkan dalam The English Game. Suter telah menjadi kapten di Darwen, tetapi dia ditawari lebih banyak uang oleh Blackburn Rovers. Hal yang memicu emosi para pemain Darwen hingga pendukungnya. Kejadian inilah yang mungkin menjadi awal pemain dianggap berkhianat dan disebut Judas.

Dalam miniseri ini digambarkan Suter sangat membutuhkan uang untuk membantu ibu dan saudara perempuannya melarikan diri dari ayah mereka yang kejam dan pemabuk. Namun pada kenyataannya, tidak ada bukti mengenai hal ini. Diketahui, Suter hanya meninggalkan Darwen karena dia menginginkan lebih banyak uang.

Sebaliknya, sejarawan Andy Mitchell menemukan alasan lain mengapa Suter meninggalkan Darwen. Dalam sebuah artikel tentang sejarah olahraga Skotlandia, Mitchell menyatakan:

"Menurut kabar dari keluarganya, dia [Suter] telah menghamili seorang pelayan perempuan, dan kepindahan nya ke Blackburn disinyalir untuk mendapatkan uang guna menghidupi kekasih dan calon anaknya tersebut."

Pada tahun 1888, liga sepak bola dibentuk untuk klub profesional, tetapi pada saat itu pria yang dikenal sebagai pemain bayaran pertama, berhenti bermain. Suter memutuskan pensiun dari sepakbola dan menjadi pengusaha perhotelan.

Konflik utama film ini menitikberatkan bagaimana usaha Suter untuk memperjuangkan keadilan bagi para pemain sepakbola. Blackburn Rovers (tim Suter) yang merepresentasikan kelas pekerja, coba untuk dirugikan oleh kaum bangsawan. Perjuangan kelas pekerja untuk dapat ambil bagian, menikmati sepakbola.

Miniseri ini juga membuktikan bagaimana sepakbola merupakan hiburan bagi masyarakat dan bagaimana kecewanya masyarakat ketika hiburan tersebut diambil. Hal serupa yang kini kita rasakan. Hiburan yang saat ini direbut oleh wabah corona semoga segera dapat kembali ke hadapan kita. Dan sampai saat itu tiba, kita bisa menikmati sepakbola dengan cara lain, menonton The English Game.

Banyak informasi mengenai sejarah sepakbola Inggris yang kita dapatkan dalam satu judul miniseri ini. Bagaimana perkembangan sepakbola di Inggris dari berbagai aspek. Kita juga dapat memahami bagaimana perjuangan Fergus Suter menjadi pesepakbola profesional pertama.

Tanpa kehadiran dan perjuangannya, mungkin tak banyak anak-anak yang bercita-cita sebagai pesepakbola, dan tentunya Cristiano Ronaldo tak dapat berpenghasilan sebesar sekarang.

Komentar