Batu Akik dan Sepakbola Instan

Editorial

by Ammar Mildandaru Pratama

Ammar Mildandaru Pratama

mildandaru@panditfootball.com

Batu Akik dan Sepakbola Instan

Hanya ada dua hal yang membuat lelaki tak saling mengenal bisa mendadak akrab: sepakbola dan batu akik.  Kalimat tersebut saya baca di meme yang dibagikan oleh rekan saya di jejaring sosial Path. Menggambarkan bagaimana hebatnya fenomena batu akik sekitar 2 bulan terakhir.

Memakai batu akik, terutama yang disematkan di jari sebagai cincin, sebenarnya bukan hal baru. Praktik yang sudah sangat lazim di Indonesia. Tetapi yang terjadi akhir-akhir ini amat berbeda. Lapak pedagang batu akik di pasar yang biasanya hanya bisa dihitung dengan jari kini menjamur. Saking meledaknya para penjual juga beredar di jalan-jalan besar di hampir seluruh kota di Indonesia.

Perhiasan yang dulunya identik dipakai oleh lelaki dewasa ini juga sudah berubah menjadi barang milik semua kalangan. Tidak hanya disukai para remaja tetapi bahkan sudah mulai merambah ke anak-anak sekolah dasar. Juga kaum perempuan. Bentuknya yang indah dan beragam menjadi salah satu alasan kenapa banyak orang menyukainya.

Tetapi kenapa fenomena ini bisa sangat meledak di Indonesia dengan sangat cepat? Menurut Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas ekonomi Universitas Indonesia, hal ini terjadi karena masyarakat sering latah.

“Masyarakat Indonesia itu cepat sekali terbawa euforia sesaat. Contoh ketika bunga antorium dan ikan lauhan booming, banyak masyarakat yang memburu dan berbisnis itu, lalu tak lama euforianya luntur dan harganya anjlok," kata Rhenald Kasali dikutip dari CNN Indonesia.

Maraknya jual beli batu akik membuat beberapa orang ketiban rejeki dadakan. Warung rokok di seberang kantor Pandit Football misalnya, menjadi ramai belakangan karena sang penjaga beralih profesi menjadi penggosok batu akik. Bermodalkan mesin yang baru dibeli, ia mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat daripada jualan rokok. Tarifnya sekali menggosok batu hingga mengkilap adalah 25.000 rupiah dan terkadang naik hingga 35.000 ketika harus lembur karena banyak pesanan.

Tetapi bisnis ini tak seutuhnya baik dan menguntungkan. Masih menurut Rhenald Kasali, menjadi kekhawatiran jika yang beralih profesi adalah para pekerja-pekerja produktif karena dikhawatirkan hanya akan menjadi tren sesaat.

Model seperti ini juga pernah menimpa di sepakbola terutama kesebelasan-kesebelasan yang mendadak berprestasi tetapi menurun drastis setelahnya. Kesebelasan nasional Yunani mengalaminya ketika menjadi juara Eropa secara mengejutkan pada 2004.

Pasca menjadi juara Eropa, Yunani justru tidak lolos ke Piala Dunia 2006. Pada gelaran Piala Eropa selanjutnya di 2008 mereka juga hanya tertahan sampai fase grup saja. Beberapa anggapan muncul, anak asuh Otto Rehhagel hanya dianggap sedang beruntung saja. Sebuah anggapan yang wajar karena iklim sepakbola di sana sedang mengalami penurunan akibat krisis ekonomi. Yunani gagal memanfaatkan momentum juara Eropa tadi sebagai tonggak kebangkitan sepakbola mereka.

Pembahasan mengenai krisis di Yunani dan sepakbola dapat anda baca di sini

Sedangkan contoh yang baik dalam memanfaatkan momen adalah kesuksesan Manchester City. Pasca diambil alih oleh Sheikh Mansour pada 2008, mereka tidak hanya membawa prestasi secara instan tetapi juga membangun ulang sepakbola di sana.

"We are building a structure for the future, not just a team of all stars". kata Sheikh Mansour pada awal ia mengambil alih Manchester City. Kalimat yang juga ditempel di kantor baru mereka dan dijadikan pedoman untuk menjalankan klub.

Hasilnya dapat terlihat ketika saat ini The Citizens sudah tidak lagi merasa inferior ketika menghadapi rival sekotanya Manchester United. Bahkan bukan tidak mungkin kemudian di masa mendatang posisinya menjadi terbalik, Setan Merah yang akan merasa minder ketika menghadapi Manchester City.

Pihak manajemen City sepertinya sadar bahwa mereka harus bekerja keras agar kesebelasan yang mereka kelola mendapat tempat di hati penggemar sepakbola seluruh dunia. Karena tradisi secara prestasi tidak mereka miliki dan harus membangunnya mulai dari sekarang.

Di sepakbola Indonesia, Persik Kediri adalah contoh nyata fenomena tren sesaat. Kesebelasan ini pernah menjadi yang terkuat saat menjadi juara pada 2003 dan 2006. Walikota Kediri saat itu H. Maschut yang gemar sepakbola memanggil Iwan Budianto yang tidak lain adalah menantunya. Iwan yang sedang menangani Arema dipanggil untuk menukangi Persik sekaligus membawa penggawa kuncinya. Juara pertama yang diraih pada 2003 juga tergolong istimewa karena dicapai seketika setelah kesebelasan ini promosi ke divisi utama (teratas saat itu).

Pada periode tersebut dana APBD masih diperbolehkan untuk mendanai kesebelasan sepakbola. Bermodalkan pemimpin daerah yang gemar sepakbola, Persik merekrut banyak pemain bintang. Hasilnya adalah dua gelar tertinggi sepakbola berhasil mampir ke kota Kediri. Sayangnya tidak ada pengembangan untuk sektor sepakbola masa depan di sana.

Mulai dari pembinaan usia muda, pengelolaan manajemen, infrastuktur, dsb tidak ikut digarap dengan baik. Sehingga ketika penggunaan dana APBD sudah dilarang dan Walikota sudah beralih kaena habisnya masa periode, Persik perlahan mulai tenggelam. Kabar terbaru justru lebih menyedihkan karena tim berjuluk Macan Putih ini tidak bisa mengikut ISL 2015 karena tidak memiliki dana.

Sekarang sulit untuk menciptakan kembali tren sepakbola di kota Kediri sehingga manajemen mulai kelimpungan mencari sponsor. Dua bintang yang melekat di atas lambang kostum seolah tidak berarti apa-apa. Padahal dahulu potensi ini sangat besar karena selain dihuni banyak pemain bintang, Persik juga berlaga di level Asia mewakili Indonesia.

Kebiasaan masyarakat Indonesia yang mudah ikut tren ini seharusnya mampu dimanfaatkan dengan baik. Akan sangat menguntungkan jika semua kesebelasan-kesebelasan besar khususnya ISL berlomba-lomba membangun tren membangun sepakbola. Sehingga tren tadi dapat diikuti oleh kesebelasan lainnya yang ada di level bawah agar mereka mampu bersaing secara sehat.

Amerika harus susah payah menciptakan tren sepakbola di negaranya dengan menjalankan MLS. Sebuah sistem kompetisi yang tergolong segar dan mampu beradaptasi di negara yang olahraga utamanya bukanlah sepakbola. Mereka memanggil para pemain bintang dunia agar para penonton rela berbondong-bondong ke stadion. Langkah yang akhirnya menjadi tren dan ditiru oleh India dengan Indian Super League.


Baca juga:


Ambisi Besar Indian Super League


Cara Mewah Sepakbola India untuk Bangkit dari Keterpurukan



Andai saja Indonesia mampu menciptakan tren sepakbola dengan pembinaan dan kompetisi yang baik, bukan tidak mungkin prestasi akan mampir di kemudian hari. Langkah ini pernah dilakukan oleh PSSI dengan menjalankan kompetisi berlabel profesional ISL pada 2008. Tetapi hasilnya belum tampak hingga tujuh tahun kompetisi ini bergulir.

Dengan itulah sepakbola sebagai tren bisa diubah menjadi lebih permanen, bukan sekadar tren yang memang hanya temporer dan sesaat. Di situlah selisih antara sepakbola sebagai tren yang temporer dan sepakbola sebagai sebuah strategi jangka panjang yang pilar-pilarnya dibangun untuk sesuatu yang melintasi berbagai generasi. Agar tren sepakbola tak terjerembab menjadi sepakbola instan yang serba ingin lekas, serba ingin cepat jadi bak makanan cepat saji.

Harapan tentunya masih ada asalkan semua aspek mau berbenah. Sembari kita bayangkan entah berapa tahun mendatang kesebelasan nasional kita bertanding di Piala Dunia. Dan jangan lupa, sebelum tanding nanti saat kedua kapten bertukar cinderamata kita beri lawan 11 cincin batu akik.

foto: aesyanordin1101.blogspot.com

Komentar