Kampanye Rainbow Laces dan Isu Homofobia Sepakbola Inggris

Cerita

by redaksi

Kampanye Rainbow Laces dan Isu Homofobia Sepakbola Inggris

Liga Primer Inggris kembali mengumumkan mereka akan melakukan kampanye dukungan terhadap kaum Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) terhitung mulai dari Jumat (30/11) hingga Rabu (05/12).

Hal itu didasari pada kerja sama antara pihak penyelenggara kompetisi dengan Stonewall, wadah bagi para pelaku olahraga yang ingin mencurahkan hatinya mengenai LGBT.

Pada kampanye bertajuk Football Laces tersebut, seluruh kesebelasan peserta Liga Primer Inggris diharuskan mendukung kampanye tersebut mulai dari motif pelangi pada layar besar dan papan skor, papan pergantian pemain, tali sepatu pelangi bagi para pemain, dan ban kapten bermotif pelangi bagi masing-masing kapten kesebelasan.

Stonewall adalah mitra yang sangat baik bagi kami dan kami menghargai pekerjaan kami yang berkelanjutan untuk mendukung liga dan kesebelasan kami dalam mempromosikan keberagaman di seluruh olahraga,” ujar Direktur Eksekutif Liga Primer Inggris, Bill Bush, kepada Sky Sports. “Kesebelasan kami bekerja fantastis di bidang ini untuk memperkuat pesan bahwa sepakbola adalah untuk semua orang. Kami bangga menjadi bagian dari kampanye Rainbow Laces kami.”

Tak hanya Liga Primer Inggris, Carabao Cup (Piala Liga) juga melakukan kampanye serupa. Terhitung mulai Sabtu (24/11) hingga Sabtu (01/12), kesebelasan yang tersisa di Carabao Cup harus menyiapkan atribut bermotif pelangi seperti pada ban kapten dan tali sepatu.

Masih dari sumber yang sama, Chief Executive Carabao Cup, Shaun Harvey, juga mengkungkapkan antusiasme turut berkomitmen terhadap kampanye tersebut.

“EFL (English Football League) terus berkomitmen untuk memberikan pengalaman pertandingan hari yang aman dan ramah kepada semua pendukung di semua kompetisi kami. Kami berharap inisiatif Rainbow Laces khusus tahun ini, yang mencakup papan pergantian pemain bermotif pelangi serta mengubah semua bendera di EFL menjadi warna pelangi, akan kembali menarik perhatian penggemar sepakbola di seluruh negeri,” kata Harvey.

Kontradiktif dengan Isu Homofobia

Oktober silam, jajak pendapat daring BBC menunjukkan bahwa 82 persen responden akan baik-baik saja dengan kehadiran pemain gay di tim mereka, sementara 8 persen responden mengatakan mereka akan meninggalkan tim mereka.

Akan tetapi hasil jajak pendapat tersebut sangat bertolak belakang dengan yang terjadi sebenarnya. Inggris bukanlah tempat yang ramah bagi para kaum LGBT. Mantan penyerang Norwich City dan Nottingham Forest, Justin Fashanu, adalah bukti betapa sepakbola Inggris bukanlah tempat yang tepat bagi para pemain LGBT.

Pada musim 1981/82, Fashanu diboyong Forest dari Norwich senilai 1 juta paun. Dalam otobiografinya, Manajer Forest saat itu, Brian Clough, mengungkapkan bahwa dirinya sangat terganggu dengan perilaku Fashanu yang sering mengunjungi klub gay.

“’Ke mana kamu pergi jika kamu ingin sepotong roti?’ Aku bertanya padanya (Fashanu), ‘Tukang roti, kurasa.’ ‘Ke mana kamu pergi jika kamu ingin kaki domba?’ ‘Tukang daging.’ ‘Jadi mengapa kamu terus pergi ke klub gay itu?’”

Pada 1988/89, Fashanu mencoba peruntungannya di Amerika Serikat dengan bergabung bersama Los Angeles Heat. Semusim berikutnya, dia kembali ke Inggris dengan membela Manchester City dan West Ham United.

Pada saat itulah dia membeberkan identitasnya sebagai gay kepada The Sun. Fashanu mengungkapkan bahwa dia diterima oleh pemain-pemain lain di ruang ganti. Namun kenyataan bahwa dirinya adalah penyuka sesama jenis sering kali dijadikan candaan oleh pemain lain.

Baca selengkapnya: Mengenang Justin Fashanu, Pesepakbola Homoseksual dalam Nuansa Musik Rock

Setelah itu dia sempat berpindah-pindah kesebelasan hingga akhirnya memutuskan pensiun di kesebelasan Selandia Baru, Miramar Rangers, pada akhir musim 1997/98.

Namun sesaat setelah mengumumkan pensiun, dia ditemukan gantung diri di garasi rumahnya. Pada surat wasiat terakhirnya, dia mengungkapkan alasannya mengakhiri hidupnya. Fashanu mengeluhkan tentang putusan pengadilan yang tidak berimbang terhadap dirinya terkait kasus kekerasan seksual terhadap aktris, Julie Goodyear, sebagai seorang homoseksual.

Sementara itu eks bek kiri Leeds United, Robbie Rogers, juga menjelaskan betapa mengerikannya nasib kaum LGBT di sepakbola Inggris. “Berjalan ke ruang loker Leeds itu seperti menyelam ke ruang yang dipenuhi kotak penuh dengan gladiator bermuatan testosteron,” tulis Rogers dalam memoarnya yang berjudul Coming Out to Play.

“Ada lebih banyak komentar homofobia daripada yang bisa aku hitung. Rekan setimku akan membuang kata ‘homo’ sebagai sesuatu yang direndahkan.”

Pada era Liga Primer Inggris, hanya mantan gelandang Aston Villa dan West Ham, Thomas Hitzlsperger, yang terang-terangan membuka identitasnya bahwa dia adalah gay. Dia mengungkapkan hal tersebut sesaat setelah gantung sepatu pada tahun 2014.

Dari kasus-kasus di atas, terutama Fashanu, setidaknya kita jadi tahu latar belakang gerakan Rainbow Laces di Premier League. Mereka melakukannya bukan untuk mendukung LGBT agar menjamur, melainkan meminta kesetaraan kepada masyarakat untuk bisa menerima kaum LGBT di sekitar mereka. Menurut mereka sepakbola belum siap untuk kaum gay.

[ilham/dex]

Komentar