Kejahatan Oliver dalam Ironi Karier Buffon

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi 42191

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Kejahatan Oliver dalam Ironi Karier Buffon

Apa yang paling menyedihkan dari tersingkirnya Juventus dari perempat final Liga Champions 2017/18? Amarah Gianluigi Buffon yang berbuah kartu merah untuknya. Amarahnya itu, yang ditujukan kepada wasit pertandingan yakni Michel Oliver, cukup beralasan. Juventus tengah unggul 0-3, mengejar kekalahan 0-3 di leg pertama; pada injury time babak kedua, Real Madrid mendapat hadiah penalti.

Buffon menganggap jatuhnya Lucas Vazquez oleh Medhi Benatia bukanlah sebuah insiden yang layak diganjar pelanggaran. Ia pun sadar penalti itu akan membuatnya menghadapi Cristiano Ronaldo, yang sejauh ini cukup hobi mengoyak jalanya, setidaknya seperti pada leg pertama. Lebih dari itu, satu gol Real Madrid itu akan memastikan tiga gol Juventus di Santiago Bernabeu pada Kamis (12/4) dini hari WIB tersebut menjadi sia-sia.

Sekarang bayangkan diri Anda adalah Buffon pada situasi itu. Dalam kariernya dan kini ia sudah berusia 40 tahun, ia dilabeli sebagai penjaga gawang terbaik dunia. Tapi ia selalu gagal menjuarai Liga Champions. Lantas dua gol Mario Mandzukic dan satu gol Blaise Matuidi pun memunculkan kembali asa untuknya meraih gelar yang paling ia idamkan.

Penalti yang diberikan Oliver itu bagi Buffon memang kenyataan pahit, yang tidak hanya untuk saat ini saja, tapi juga mungkin untuk seluruh kariernya. Terlebih dengan usia kepala empatnya, juga tahun kontrak terakhirnya bersama Juventus, Liga Champions musim ini adalah kesempatan terakhir untuknya.

Akan tetapi seironis apapun kisah Buffon di Liga Champions, itu tak berarti apa-apa bagi Oliver. Jahat memang. Tapi sebagai wasit yang berusaha bertindak adil ia memang harus tega memberi penalti dan mengganjar Buffon dengan kartu merah ketika ia merasa Benatia melakukan pelanggaran dan Buffon melakukan sesuatu yang tidak pantas padanya.

Jika Buffon, juga pihak Juventus lain yang merasa Oliver telah melakukan sebuah kejahatan (karena di akhir laga Oliver dihampiri sejumlah pemain Juventus—bahkan presiden klub mereka pun sampai turun ke lapangan), mereka tidak sendirian. Nyatanya wasit asal Inggris ini dikenal sebagai wasit yang `kejam`.

Arsene Wenger, manajer Arsenal, pada November lalu, menggunakan kata "atrocious" yang berarti "jahat", "kejam", "mengerikan", bahkan "kurang ajar", untuk mendeskripsikan kepemimpinan Oliver. Pada laga Arsenal melawan Manchester City tersebut Wenger merasa kekalahan timnya disebabkan oleh keputusan kontroversial Oliver pada dua gol yang dicetak City (skor akhir 3-1 untuk City).

Sebelum Wenger, Jose Mourinho menyindir kualitas kepemimpinan Oliver saat Manchester United kalah dari Chelsea pada Piala FA 2016/17. Saat itu kekalahan United dihiasi kartu merah Ander Herrera. Mou mengatakan bahwa Oliver seharusnya bisa memimpin laga lebih baik dari kepemimpinannya pada laga tersebut. Beberapa pandit pun menganggap bahwa Herrera melakukan pelanggaran yang seharusnya tidak perlu diganjar kartu kuning kedua.

Juergen Klopp, manajer Liverpool, juga tak ketinggalan pernah berkomentar miring tentang Oliver. Menurutnya, wasit kelahiran kota Ashington ini menjadi penyebab kegagalan timnya meraih kemenangan saat menghadapi Chelsea pada Desember lalu.

"Saya marah besar padanya [Oliver] karena ketika saya hendak mengubah sistem permainan tapi ia tidak mengizinkannya," kata Klopp yang menunda pergantian pemain Liverpool sebelum akhirnya Chelsea menyamakan kedudukan. "Saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Ia mengatakan sesuatu tentang terlalu lama, saya tidak mengerti. Kami tidak berencana mengulur waktu. Kami ingin mengubah sistem permainan. Karena itulah saya marah padanya."

Pada 2016, mantan wasit Liga Primer, Mark Hasley, mengkritik keputusan Professional Game Match Officials Limited (PGMOL), semacam badan wasit Liga Primer, yang masih menggunakan wasit-wasit penuh kontroversi pada laga penting. Salah satu wasit yang disorotinya adalah Oliver.

"Michael Oliver, seorang pendukung berat Newcastle United, yang memimpin laga Crystal Palace vs Norwich. Saya tidak meragukan integritasnya. Tapi saat itu ia melewatkan penalti yang jelas untuk Norwich ketika Damien Delaney dijatuhkan Matt Jarvis. Kenapa PGMOL tidak bertindak atas insiden tersebut?" kritik Hasley seperti yang dikutip dari Talk Sport.

Meski kritikan cukup deras datang pada Oliver, hal itu tak berarti banyak bagi PGMOL. Pada musim 2016/17, Oliver justru menjadi wasit dengan jumlah pertandingan terbanyak, yakni 33 pertandingan ketika wasit lain seperti Mike Dean dan Jon Moss rata-rata memimpin 30 pertandingan.

Seorang kolumnis Telegraph, Alistair Tweedale, juga langsung menunjuk Oliver di awal tulisannya ketika ia membahas buruknya kualitas wasit di Inggris. Dalam analisisnya, minimnya wasit berkualitas memaksa PGMOL terus menerus menunjuk Oliver memimpin pertandingan ketika kepemimpinannya banyak dikritisi.

"Tim riset kami, bersama tim You-are-the-ref dan mantan wasit Liga Primer yakni Keith Hackett, menganalisis soal penunjukan wasit pada musim ini [2016/17]. Hal yang paling kami soroti adalah sosok Michael Oliver yang lebih sering memimpin laga Liverpool dan Tottenham, di mana ia masing-masing memimpin tujuh kali. Ini menunjukkan bahwa Oliver, yang seringkali menciptakan kontroversi, dianggap sebagai wasit terbaik PGMOL. Menurut Hackett ini menjadi pertanda bahwa kualitas wasit di Liga Primer cukup buruk."

Tapi sekejam, atau sekontroversial, apa pun kepemimpinan Oliver, pada kenyataannya setiap keputusan wasit tetap punya derajat tertinggi dalam sebuah pertandingan sepakbola. Bahkan meski itu di saat tergenting, di saat situasi comeback yang luar biasa, juga di saat sebuah insiden melibatkan seorang Buffon yang, mungkin, diharapkan banyak orang bisa mengakhiri kariernya dengan pernah merasakan gelar juara Liga Champions. Ketika itu sebuah pelanggaran dan penalti bahkan kartu merah, maka wasit punya hak untuk memberikan keputusan tersebut.

Pada insiden penalti untuk Real Madrid pun sebenarnya itu memang layak berbuah penalti. Tidak ada upaya diving dari Vazquez. Benatia memang berusaha menyentuh bola untuk melakukan sapuan. Sialnya bagi Juventus, saat Benatia melakukan aksi defensif itu ada dorongan yang membuat Vazquez terjatuh.

Luapan emosi dari Buffon saat Oliver menghukum timnya dengan penalti di menit akhir pun sebenarnya lebih menunjukkan bahwa ia tersentak. Dengan derajat wasit yang tinggi itu ia panik dengan kegagalan berikutnya yang semakin berada di depan matanya. Karenanya ia tak peduli lagi catatan penyelamatan 31 penalti dari 98 penalti sepanjang kariernya, dua penyelamatan penalti dari lima penaltinya terjadi pada musim ini. Sang kapten sudah terlanjur marah dengan kenyataan pahit yang harus diterimanya bahwa akhir kariernya tidak berakhir indah akibat sebuah kontroversi.

"Saya tidak mempertanyakan apa yang dilihat wasit karena itu situasi yang meragukan. Saya mengatakan padanya bahwa, `jika Anda memberikan penalti seperti itu pada menit ke-93, Anda bukan manusia, Anda binatang; menghancurkan mimpi sebuah tim yang telah mengerahkan segalanya yakni hati, antusiasme, permainan dan karakter.` Kami layak mendapatkan babak tambahan, setidaknya," aku Buffon usai laga.

Kartu merah pun tak terelakkan untuk Buffon. Karenanya juga ia tak lagi menghiraukan Wojciech Szczesny yang meminta Buffon untuk percaya kepada kemampuannya. Bagi Buffon, ini soal mimpi yang pupus dengan begitu kejam. Yang terjadi pun catatan penyelamatan penalti Szczesny pun tetap 12 kali saja dari 48 kesempatan. Tendangan Cristiano Ronaldo, meski arahnya tertebak, tetap tak mampu dihalau kiper asal Polandia tersebut.

Gol itu pun membuat Real Madrid kalah 1-3 dari Juventus. Tapi kekalahan itu berarti keberhasilan Madrid melangkah ke semifinal dengan agregat 4-3. Jika pada akhir musim ini Buffon benar-benar pensiun, maka laga ini akan menjadi saksi bagaimana Buffon mengakhiri karier laga terpentingnya dengan kekalahan dan kartu merah.

Insiden ini disaksikan oleh Zinedine Zidane yang, serupa dengan Buffon, mengakhiri kariernya dengan kekalahan dan kartu merah di laga terpenting dalam kariernya; final Piala Dunia 2006. Menariknya, lawan yang dihadapi Zidane bersama timnas Prancis pada final tersebut adalah timnas Italia yang gawangnya dijaga oleh Buffon.

Komentar