Mengapa Juventus Melempem di Serie A tapi Garang di UCL?

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Mengapa Juventus Melempem di Serie A tapi Garang di UCL?

Juventus kembali berhasil meraih kemenangan pada ajang UEFA Liga Champions (UCL). Jika pada pertandingan pertama mereka berhasil menjungkalkan tuan rumah, Manchester City, kali ini giliran Sevilla yang dihantam dengan skor 2-0.

Dua kemenangan Juventus atas City dan Sevilla ini seolah menunjukkan bahwa Juventus tidak sedang dalam masalah. Padahal di liga domestik, Juve terpuruk di peringkat ke 15 setelah hanya mampu mengumpulkan lima poin dari enam pertandingan, terpaut 10 poin dari pemuncak klasemen, Fiorentina.

Melawan Sevilla, Juventus memang terlihat superior dengan mendominasi sepanjang permainan. Dari jumlah tembakan selama 90 menit, Juve melepaskan 20 tembakan, dengan Sevilla yang hanya satu kali kesempatan.

Atas hasil dan performa tersebut, banyak yang bertanya-tanya mengapa Juve di Liga Champions berjalan mulus sempurna sementara di Serie A melempem. Apakah ini karena faktor Sevilla yang juga sedang tampil buruk di La Liga (berada di papan bawah klasemen)?

Seburuk-buruknya performa Sevilla, secara kualitas tentunya Sevilla lebih baik dari kesebelasan debutan Serie A, Frosinone. Tapi pada kenyataannya, Frosinone mampu meraih satu poin saat bertandang ke Juventus Stadium pada pekan kelima dengan skor 1-1.

Dalam pengamatan saya, hasil-hasil negatif yang diperoleh Juve di Serie A disebabkan rotasi pemain yang dijalankan Allegri tidak berjalan dengan baik. Hal inilah yang membuat serangan-serangan Juventus kerap tersia-siakan atau gagal menjadi gol.

Menyoal sistem permainan, Juventus sebenarnya tak pernah kesulitan untuk menyerang. Hal ini terbukti dengan jumlah tembakan Juventus pada setiap pertandingannya yang selalu tinggi.

Saat imbang melawan Frosinone, yang sebelum melawan Juve selalu menelan kekalahan, Juve mencatatkan 38 tembakan dalam 90 menit. Namun yang menjadi gol hanya satu dan hanya tujuh tembakan yang mengarah ke gawang.

Dari situ kita bisa melihat betapa tidak efektifnya serangan Juventus. Dan sebenarnya tidak hanya saat melawan Frosinone saja serangan Juve tidak efektif, melawan kesebelasan Serie A lain pun demikian.

Dari enam pertandingan, rata-rata jumlah tembakan Juventus mencapai 19.7, tertinggi kedua di Serie A (di bawah AS Roma). Hanya saja, jumlah tembakan yang tinggi tersebut dibarengi dengan tendangan melenceng atau tidak mengarah ke gawang. Anehnya, Juve menjadi kesebelasan dengan jumlah tendangan melenceng tertinggi di Serie A, dengan total 11 tembakan melenceng per pertandingan.

Paul Pogba menjadi pemain dengan rataan tembakan terbanyak dalam skuat Juventus. Ia berhasil melesatkan 3,8 kali tembakan per pertandingan di Serie A. Namun dari upaya sebanyak itu, gelandang asal Prancis tersebut baru mencetak satu gol.

Terlalu mengandalkan Pogba menjadi salah satu persoalan Allegri. Dari seluruh rotasi pemain Juventus, ia selalu dimainkan di setiap pertandingan dan hanya sekali masuk sebagai pemain pengganti.

Tak salah sebenarnya jika Allegri begitu mengandalkan Pogba. Tapi jika terlalu sering memberikan tandem yang berbeda pada Pogba, bukannya tak mungkin ia bakal kesulitan menemukan irama permainannya sendiri.

Dari enam laga, Allegri telah memasang 22 pemain yang merasakan bermain sejak menit pertama. Terlampau seringnya rotasi yang dilakukan Allegri menimbulkan kesulitan dalam menciptakan kepaduan antar pemain (team cohesion) di lapangan.

Bandingkan dengan Internazionale Milan dan ACF Fiorentina yang memuncaki klasemen Serie A saat ini. Inter hanya mengombinasikan 17 pemain pada setiap starter-nya. Sementara Fiorentina telah memainkan 20 pemain hingga giornata keenam ini.

Rotasi pemain Inter dan Fiorentina yang lebih sedikit ini berbeda dengan rotasi yang dilakukan Juventus. Inter dan Fiorentina meski sering melakukan rotasi, terdapat beberapa pemain yang menjadi tulang punggung permainan selalu dimainkan.

Di Inter, Samir Handanovic, Davide Santon, Gary Medel, dan Geoffrey Kondogbia selalu bermain di setiap pertindangannya. Fredy Guarin hanya sekali tak bermain sejak menit pertama. Sementara Jeison Murillo, Joao Miranda, Mauro Icardi, Stevan Jovetic dan Ivan Perisic bermain sebanyak empat kali sebagai starter.

Perubahan starter itupun terjadi karena Joao Miranda sempat mengalami cedera dan Perisic baru bergabung jelang tenggat transfer musim panas. Ditambah lagi dengan Assane Gnoukouri dan Adem Ljajic yang baru sekali bermain sejak pertama.

Fiorentina pun demikian. Ciprian Tatarusanu, Facundo Roncaglia, dan Borja Valero menjadi pemain yang selalu bermain di Serie A. Gonzalo Rodriguez dan Marcos Alonso hanya sekali tak bermain sejak menit pertama. Sementara Nenad Tomovic dan Milan Badelj cuma tak tampil dua kali sebagai starter.

Dari catatan tersebut, Inter dan Fiorentina tetap sering memainkan pemain yang mereka andalkan di setiap pertandingannya, sementara Juve tidak.  Gianluigi Buffon, Leonardo Bonucci, dan Pogba hanya lima kali menjadi starter. Disusul oleh Andrea Barzagli, Giorgio Chiellini, Stephan Lichtsteiner, Patrice Evra, Stefano Sturaro, dan Roberto Pereyra empat kali bermain sejak menit pertama. Padoin yang notabene pemain cadangan, bermain sejak menit pertama sebanyak tiga kali, termasuk saat dikalahkan Napoli.

Allegri memang tak leluasa dalam menentukan pemainnya pada musim ini. Cedera pemain yang melanda Sami Khedira, Claudio Marchisio, dan Alvaro Morata pada awal musim membuat Allegri terus merotasi pemainnya. Ditambah lagi beberapa minggu ke belakang Martin Caceres dan Mario Mandzukic harus menepi karena cedera.

Jangan lupakan pula fakta bahwa Allegri masih terus mencari skema ideal untuk mengakali hengkangnya Carlos Tevez, Andrea Pirlo, dan Arturo Vidal yang musim lalu menjadi pilar utama permainan Juventus. Berbagai macam formasi yang ia gunakan membuatnya terus mencoba semua pemainnya, agak  mengesampingkan hasil akhir.

Pendapat tersebut lahir dengan seringnya Paulo Dybala dibangku cadangkan Allegri di Serie A. Menjadi pencetak gol terbanyak Juventus dengan dua gol, Dybala hanya bermain sebanyak lima kali dengan hanya tiga kali sebagai starter. Padahal penyerang asal Argentina tersebut tak pernah mengalami cedera atau akumulasi kartu.

Sekarang bandingkan ketika Juve bermain di Liga Champions. Tiga perubahan sebenarnya dilakukan Allegri saat menghadapi Sevilla. Namun itu dilakukan lebih karena pemain cedera: Barzagli menggantikan Lichtsteiner, Dybala menggantikan Mandzukic.

Sementara Khedira yang baru sembuh dari cedera, bisa dibilang ia menjadi pengganti Marchisio, meski ia menggantikan peran Sturaro yang bermain saat melawan Manchester City. Jika saja Lichtsteiner dan Mandzukic tak cedera, keduanya kemungkinan besar dimainkan.

Pemain yang diturunkan Allegri di Liga Champions memang merupakan formasi dan pemain terbaik yang bisa diturunkan Juventus musim ini. Mario Lemina, Neto, Simone Zaza, dan Pereyra yang beberapa kali diturunkan sejak menit pertama di Serie A, belum pernah atau hanya masuk sebagai pemain pengganti saat di UCL. Bahkan Simone Padoin yang mencatatkan tiga kali starter, tak termasuk dalam daftar pemain untuk Liga Champions.

Maka bisa disimpulkan, perbedaan hasil Juventus di Serie A dan Liga Champions lebih karena sistem rotasi yang digunakan di Serie A belum berjalan dengan baik. Sementara di Liga Champions, Juve selalu menampilkan para pemain terbaiknya, yang memberikan kemudahan bagi Pogba untuk mengeluarkan potensi terbaiknya. Jadi jika saja para pemain andalan Juve seperti Marchisio dan Mandzukic, serta Morata dan Khedira di awal musim tak cedera, rotasi Allegri mungkin akan berjalan lebih baik dan Juve tak akan terlalu kesulitan saat menjalani laga di Serie A.

foto: theworldgame.sbs.au

Komentar