Degradasi dan Krisis yang Menimpa Sampdoria

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Degradasi dan Krisis yang Menimpa Sampdoria

Gol Roberto Pereyra dan Adam Masina bagi Udinese pada pertandingan yang digelar di Dacia Arena (8/5/2023) menjadi dua penanda bagi tim lawan, yakni Sampdoria. Mereka gagal meraih tiga poin sekaligus membuat mereka terdegradasi untuk yang pertama kali sejak 2012/2013.

Terakhir kali klub berjuluk Il Blucerchiati itu terdegradasi adalah musim 2010/2011 dan untungnya mereka hanya satu musim di Serie B. Terdegradasi musim ini bukan hasil yang mengejutkan sebab mereka berkutat di papan bawah dalam beberapa musim terakhir.

Hal ini jauh berbeda dibandingkan era 1980 hingga 1990-an. Di rentang waktu itulah trofi yang mereka koleksi berasal. Mereka berhasil meraih gelar Coppa Italia pada musim 1984/1985, 1987/1988, dan 1988/1989.

Raihan trofi itu terus berlanjut di akhir dekade abad 20. Pada 1990, mereka berhasil meraih trofi UEFA Cup Winners. Klub yang berasal dari kota Genoa itu juga berhasil meraih Scudetto di musim 1990/1991, dilanjutkan dengan trofi Supercoppa musim 1991/1992 dan kembali meraih Coppa Italia pada 1993/1994.

Jangan lupakan pula bahwa Sampdoria pernah mencapai babak final Liga Champions di musim 1991/1992. Sayangnya Roberto Mancini dan kawan-kawan takluk 0-1 dari Dream Team Barcelona di bawah asuhan Johan Cruyff.

Setelah itu, prestasi Sampdoria menurun. Bahkan mereka terdegradasi pada musim 1998/1999 dan baru kembali ke Serie A pada 2002/2003 dan kembali terdegradasi enam tahun kemudian.

Pemilik yang Problematik

Massimo Ferrero, pengusaha sekaligus produser film, mengambil alih Sampdoria dari Edoardo Garrone pada 2014 setelah Garrone meninggal pada 2013. Keluarga Garrone sudah menjadi pemilik Sampdoria sejak 2002 dan ketika Ferrero mengambil alih, Garrone meninggalkan utang sebesar 15 juta dolar.

Di akhir musim 2014/2015, Il Doria berhasil finis di peringkat tujuh yang membuat mereka mendapat tiket play off Liga Europa karena rival sekota mereka, Genoa, yang berada di peringkat enam tidak memenuhi syarat lisensi UEFA. Sayangnya, anak asuh Sinisa Mihajlovic dikalahkan oleh Vojvodina, klub asal Serbia.

Setelah itu, Ferrero nyatanya tetap tak mampu menjadikan Sampdoria stabil dan mengejar prestasi. Mereka kerap menjual pemain yang tampil apik ke klub lain untuk menjaga keberlangsungan mereka sendiri.

Eder, yang tampil apik dengan mencetak 12 gol di paruh pertama musim 2015/2016, dijual ke Inter. Sebagai gantinya, mereka mendatangkan Fabio Quagliarella dari Torino.

Keadaan semakin menyedihkan kala pemain yang menjadi tulang punggung mereka dibeli oleh klub dengan kondisi finansial yang baik dan berambisi bersaing di papan atas.

Luis Muriel yang menjadi andalan sejak 2015 dijual ke Sevilla. Duvan Zapata pun akhirnya dilepas ke Atalanta. Lucas Torreira dipinang Arsenal, Bruno Fernandes dibajak Manchester United, Patrik Schick dipinang AS Roma.

Nama-nama itu masih bisa diperpanjang. Joachim Andersen dilepas ke Lyon. Milan Škriniar dijual ke Inter. Dennis Praet dijual ke Leicester City. Mikkel Damsgaard dipinang Brentford.

Membayangkan pemain-pemain di atas bermain di Sampdoria, rasa-rasanya tidak akan membuat Il Doria betah berlama-lama di papan bawah. Tapi, menjual pemain ini yang mereka andalkan. Karena strategi ini pula tampaknya Sampdoria kerap ganti pelatih.

Sejak Ferrero datang hingga akhir musim ini, Sampdoria sudah delapan kali ganti pelatih. Mihajlovic yang tampil apik di musim 2014/2015 digantikan Walter Zenga di musim berikutnya. Zenga hanya bertahan lima bulan dan digantikan oleh Vincenzo Montella.

Montella dipinang AC Milan dan Marco Giampaolo datang dan menetap cukup lama. Giampaolo melatih Sampdoria dari 2016 hingga 2019. Ia menyulap Quagliarella, pemain yang saat itu berusia 36 tahun, menjadi top skor Serie A musim 2018/2019 dengan 26 gol.

Baca Juga:

UEFA mendakwa Jose Mourinho atas "Makian" Terhadap Anthony Taylor

Claudio Ranieri masuk pada musim 2019 hingga 2021. Karena tidak menemukan kesepakatan kontrak, Ranieri pergi dan digantikan Roberto D`Aversa yang akhirnya dipecat pada Januari 2022.

Marco Giampaolo kembali ditunjuk untuk menangani Sampdoria setelah kepergian D`Aversa. Namun, Giampaolo tidak bertahan lama. Ia didepak pada Oktober 2022 karena hanya bisa mengumpulkan dua poin dari delapan laga.

Dejan Stankovic ditunjuk menjadi pengganti dan diharapkan bisa mengangkat Sampdoria dari zona degradasi - sebuah misi yang kita tahu gagal.

Selain kerap menjual pemain potensialnya, Sampdoria pun harus berkutat dengan pemilik mereka yang bermasalah.

Setelah menjadi pemilik Sampdoria, Ferrero langsung berbuat masalah. Ia pernah menghina Erick Thohir yang saat itu menjadi Presiden Inter dengan sebutan rasis "Fillipino." Atas ulahnya itu, ia dihukum oleh federasi sepakbola Italia (FIGC) dengan denda dan larangan menonton di stadion.

Pada 2018, petugas pajak Italia menyita uang sejumlah 2,6 juta euro dari Sampdoria dan Ferrero beserta lima orang staf diselidiki atas kasus penipuan.

Kasus itu bermula dari penjualan Pedro Obiang pada 2015 ke West Ham United. Ferrero diduga menyalahgunakan sebagian dari hasil untuk membersihkan neraca perusahaan bisnisnya yang lain, demikian tulis Reuters.

Tak hanya itu, Polisi menemukan bahwa Ferrero menggunakan uang klub untuk memproduksi film dan membeli properti di wilayah Florence.

Pada Desember 2021, Ferrero ditangkap atas tuduhan terlibat dalam kasus korupsi. Pihak manajemen Sampdoria memastikan bahwa kasus itu tidak ada kaitannya dengan klub sama sekali. Ferrero pun terpaksa mundur sebagai presiden Sampdoria.

Kesialan terus menerpa Sampdoria. Mereka kesulitan membayar gaji pemain dan staf di akhir tahun 2022 dengan nilai total berkisar 11 juta dolar. Untungnya gaji tersebut berhasil dibayarkan dan Sampdoria tidak dikenai pengurangan poin.

Baca Juga:

Erick Thohir, PSSI, dan Isu Cawapres

Harapan dari Calon Pemilik Baru

Meski harus terdegradasi, fans Sampdoria setidaknya bisa mendengar kabar baik. Pemegang saham klub asal kota Genoa itu telah menyetujui restrukturisasi. Sebelumnya, Ferrero sangat keras kepala terhadap tawaran yang datang padanya terkait penjualan Sampdoria.

Ferrero, misalnya, menolak tawaran Alessandro Barnaba - pemilik klub Lille di Ligue 1 Prancis - untuk membeli Sampdoria. Padahal, Barnaba telah mengajukan proposal rancangan yang begitu matang.

Dengan adanya restrukturisasi ini, ada celah bagi pemilik Leeds United Andrea Radrizzani dan rekan bisnisnya, Matteo Manfredi, untuk mengakuisisi Sampdoria. Qatar Sport Investment (QSI), lembaga yang menaungi Paris Saint-Germain (PSG) pun dikabarkan akan membeli saham meski dalam jumlah kecil.

Sebenarnya, pada 2019, Gianluca Vialli sudah menjalin komunikasi dengan Ferrero untuk membeli Sampdoria.

Mantan pemain Sampdoria itu, bersama pengusaha asal Amerika Serikat James Dinan dan pengusaha Inggris yang lahir di Rusia Alexander Knaster, memimpin sebuah konsorsium bernama Calciolnvest yang akan membeli Sampdoria senilai 100 juta euro. Namun, kesepakatan itu gagal lantaran Ferrero dan Viali tak menemukan titik temu negosiasi.

Kini Radrizzani dikabarkan akan mengajukan Stadion Elland Road, kandang Leeds United, sebagai jaminan senilai 26 juta paun agar ia bisa membeli Sampdoria melalui perusahaannya, Aser. Aser mempunyai bidding partner yang bernama Gestio Capital. Perusahaan yang disebut terakhir didirikan oleh Matteo Manfredi.

Mau tidak mau, Ferrero manajemen Sampdoria harus bergerak cepat agar mereka tidak dinyatakan bangkrut dan dipastikan ikut berlaga di Serie B musim 2023/2024. Penggemar Il Blucerchiati tentu tidak mau klub kebanggaannya dinyatakan bangkrut dan harus memulai kompetisi dari Serie D.

Komentar