Intanba Mu Rugamba

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Intanba Mu Rugamba

Barangkali, jika kita tidak membuka peta, kita tidak akan tahu di Afrika bagian mana Burundi terletak. Dalam sepakbola, kita serba asing dengan negara itu: tidak pernah lolos Piala Dunia dan belum pernah juara Piala Afrika (Indonesia pun memang baru pertama kali ini akan berhadapan dengan Burundi).

Berita tentang perang saudara di negara itu, antara etnis Hutu dan Tutsi, justru lebih akrab dibanding sepakbolanya. Dan, perang saudara itu juga yang membentuk sejarah sepakbola negara yang merdeka dari kolonisasi Belgia pada 1962 itu.

***

Jerman menjadi negara pertama yang menjajah Burundi setelah Konferensi Berlin (konferensi yang membagi "kue" jajahan Afrika bagi negara-negara Eropa disepakati pada 1884). Sebelum Jerman datang pada 1897, Burundi merupakan wilayah kerajaan yang kuat dan tanpa konflik etnis.

Raja Mwezi Gisabo, yang memimpin Burundi saat itu, dibunuh dan Jerman mengangkat Mwambutsa Bangiricenge sebagai raja baru. Ia digunakan Jerman untuk mengontrol tanah jajahan.

Jerman angkat kaki dari tanah Afrika pasca Perang Dunia I. Burundi (bersama Rwanda dan Kongo) akhirnya berada di bawah penguasaan Belgia. Di bawah kolonialisme Belgia inilah titik balik perpecahan etnis di Burundi dimulai.

Pada 1928-1934, Belgia menerapkan kebijakan reformasi administratif. Pemimpin tradisional yang berasal dari etnis Hutu diganti dari golongan etnis Tutsi. Mereka menempatkan orang-orang dari etnis Tutsi sebagai pemimpin dalam berbagai sektor. Pemimpin Hutu yang masih berkisar 20% pada 1929, menjadi 0% pada 1945.

Populasi etnis Tutsi sebenarnya lebih sedikit dibanding etnis Hutu. Namun, dalam komunitas mereka, terdapat anggapan bahwa mereka lahir untuk memimpin. Maka kebijakan administratif yang Belgia terapkan membuat segregasi etnis di Burundi semakin tajam.

Di masa kemerdekaan, etnis Tutsi ingin melanjutkan dominasi mereka di bidang pemerintahan yang sudah mereka dapat sejak era kolonialisme Belgia. Situasi diperparah dengan kematian Raja Louis Rwagasore yang sebenarnya ingin menyatukan Burundi. Rwagasore diduga dibunuh oleh lawan politiknya atas persetujuan dengan pemerintah Belgia.

Di bawah Unite pour le Progres National (UPRONA), Rwagasore berusaha mengintegrasikan etnis Hutu dan Tutsi serta menyusun proyek pembangunan negara yang jelas. Kematian Rwagasore membuat konflik Hutu dan Tutsi makin mencuat.

Pada Oktober 1965, etnis Hutu yang dipimpin oleh beberapa kelompok mencoba melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah. Usaha itu gagal. Buntutnya adalah pembunuhan ribuan etnis Tutsi oleh petani-petani Hutu di Provinsi Muramvya.

Pembunuhan ini berlanjut pada aksi pembalasan oleh etnis Tutsi. Tentara Tutsi, yang saat ini menguasai negara, membunuh sekitar 5.000 orang etnis Hutu di Muramvya. Ini menjadi penanda ekskalasi kekerasan politik yang terjadi di Burundi. Michel Micombero, Perdana Menteri Burundi saat itu, menjadi Presiden Pertama Burundi.

Setelah itu, percobaan kudeta di Burundi terjadi lagi pada 1976, 1987, dan 1993. Melchior Ndadaye, kepala negara yang terpilih melalui pemilu, dibunuh pada 1993. Dia adalah presiden pertama Burundi yang terpilih melalui pemilu dan orang pertama dari kelompok Hutu yang menjabat sebagai Presiden sejak kemerdekaan Burundi pada 1962. Kematian Ndadaye memicu krisis politik dan kekerasan suku yang belum pernah ada persedennya.

Ribuan orang Burundi tewas dalam perang saudara. Baru pada 1999, perjanjian damai ditandatangani di Arusha, Tanzania.

Sepakbola di Burundi

Belgia-lah yang mengenalkan sepakbola kepada masyarakat Burundi. Sepakbola dimainkan untuk bersenang-senang oleh para murid sekolah dan dimainkan dalam perayaan tertentu.

Namun, karena Burundi merupakan tanah jajahan, terbentuk juga tim bagi orang kulit putih (Eropa) dan bagi rakyat bumiputera. Orang Eropa membentuk Federation Europeene de Football Amateur du Rwanda-Urundi (FEFARU), sedangkan masyarakat lokal membentuk Federation Indigene de Football d`Usumbura (FIFU).

Pada 1948, Asosiasi Sepakbola Burundi terbentuk dan sepakbola di Burundi mulai terorganisir. Namun gerakan kemerdekaan membuat orang-orang Eropa yang berkecimpung dalam sepakbola meninggalkan Burundi dan sepakbola di sana menjadi mati suri. Di masa kemerdekaan, sepakbola Burundi vakum. FIFA dan Confederation of African Football (CAF) kembali mengakui Asosiasi Sepakbola Burundi pada 1972.

Lalu, bagaimana sepakbola berusaha meredam kekerasan yang sudah mengakar itu?

Kompetisi jadi jawabannya. Eks kombatan CNDD-FDD berkompetisi bersama tentara pemerintah dan masyarakat sipil.

Yussuf Mossi, pengurus kompetisi Asosiasi Sepakbola Burundi di awal 2000-an, menyediakan segala keperluan selama kompetisi yang ditujukan untuk rekonsiliasi dan perdamaian sosial.

"Dalam beberapa kesempatan, kami telah menciptakan peluang pertunjukan sepak bola untuk mencapai persatuan dan kohesi antara kelompok berbasis etnis dan daerah di distrik ibu kota Bujumbura. Secara bertahap, pertunjukan ini membuahkan hasil karena timnas melihat seleksi yang kurang lebih homogen dari anak muda dari semua kecenderungan etnis dan berkontribusi dalam meredanya konflik lingkungan dan desa," ujar Mossi kepada peneliti Celestin Mvutsebanka.

Pemilihan Umum 2005 membawa era baru bagi politik dan sepakbola Burundi setelah Pierre Nkurunziza terpilih menjadi Presiden.

Kelindan Sepakbola dan Politisi di Burundi

Nkurunziza menjadikan sepakbola sebagai alat untuk hadir di tengah-tengah masyarakat. Ia juga menyelenggarakan Presiden Cup setahun setelah terpilih, yang sampai sekarang pun masih bergulir meski Nkurunziza meninggal pada 2020 lalu.

Di tengah kritik kepadanya karena melawan oposisi politik, aktivis, dan jurnalis, Nkurunziza terus mengadakan charity match bersama klub sepakbola amatir yang dibentuk pada 2005, bernama Halleluya FC.

Tak hanya itu, Nkurunziza juga menjadi pemilik dari dua klub dengan nama yang sama, tapi bermain di dua divisi yang berbeda, yakni Le Messager Football Club. Tak hanya Nkurunziza saja yang mempunyai kendali atas klub sepakbola. Mayoritas klub-klub di Burundi memang dikendalikan oleh para elit politik.

Kepala Ombudsman Burundi, Edouard Nahimana, merupakan Presiden klub Kayanza United FC, sedangkan Wakil Presidennya, Joseph Butore merupakan Presiden klub Bumamuru FC. Ketua Majelis Nasional Burundi, Pascal Nyabenda, adalah Presiden Elephants FC. Duta besar Burundi, Bikebako, merupakan Presiden Delta Sport FC.

Merujuk pemaparan Mossi Bigirimana, dalam penelitiannya yang berjudul Football and Peace Building in Post-Conflict Society: The Role of Diaspora Footballers in Burundi, memaparkan bahwa sepakbola digunakan oleh para politisi untuk menurunkan ketegangan antara dua kelompok etnis di negara tersebut dan memperkuat visi persatuan nasional dan identitas kolektif mereka serta meyakinkan mereka yang meninggalkan Burundi untuk kembali dan berkontribusi dalam pembangunan negara.

Sepakbola menjadi oase di tengah konflik yang tak kunjung selesai. Hanya di sepakbolalah, etnis Hutu dan Tutsi bisa bersatu dan melupakan sejenak konflik yang sedang terjadi.

"Pertandingan sepakbola diselenggarakan, dan para pemain membantu pemerintah untuk menciptakan perdamaian, mendukung para pengungsi untuk kembali dan mempromosikan pembangunan sosial. Hutu dan Tutsi menikmati ini bersama," ujar Hamza, seorang Hutu yang tinggal di Turki, kepada Mossi Bigirimana.

Tampaknya, usaha menjadikan sepakbola sebagai salah satu peredam konflik cukup berhasil - meski tidak langsung meredakan konflik secara keseluruhan karena pemerintah Burundi terus mencoba memberangus pengkritiknya dari kalangan jurnalis dan aktivis.

Intanba Mu Rugamba

Intanba Mu Rugamba atau Si Angsa, julukan Burundi, memang tidak terlalu mentereng. Di Piala Afrika, Burundi baru satu kali berpartisipasi, yakni di tahun 2019. Itu pun, berakhir dengan tiga kali kekalahan di fase grup.

Saat ini, Burundi berada di peringkat ke-141 Ranking FIFA, selisih 10 peringkat dari Indonesia yang berada di posisi ke-151.

Di tengah konflik, timnas Burundi menjadi contoh persatuan yang menarik. Masih merujuk pemaparan Mossi Bigirimana, Intamba Mu Rugamba merupakan campuran dari Hutu dan Tutsi. Timnas adalah satu-satunya tempat semua orang Burundi dapat bertemu, berbicara dengan bebas, dan menikmati kebersamaan sebagai satu bangsa. Oleh karena itu perasaan yang luar biasa ini membawa keharmonisan tidak hanya bagi para pemain, melainkan juga untuk para penggemar.

Konflik di Burundi memang belum sepenuhnya mereda, namun tampaknya sepakbola adalah hal yang berbeda.

Komentar