Kala Tulip Oranye Layu di de Kuip

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kala Tulip Oranye Layu di de Kuip

Oleh FM Aditomo*

20 November 1985 menjadi hari yang kelam untuk Tim Nasional Belanda. Pasalnya, impian tim Oranye untuk berlaga di Piala Dunia 1986 di Meksiko direnggut oleh tetangga mereka sendiri, Belgia.

Belanda kala itu masih berada di persimpangan jalan setelah generasi emas yang dipimpin Johan Cruijff satu persatu memutuskan untuk gantung sepatu setelah hasil mengecewakan di Piala Eropa 1980. Alhasil, tim Oranye mengalami paceklik karena gagal tampil di dua turnamen internasional beruntun, Piala Dunia 1982 di Spanyol dan Piala Eropa 1984 di Perancis.

Peruntungan manajer Kees Rijvers, yang memberikan debut bagi trio AC Milan Ruud Gullit, Frank Rijkaard and Marco van Basten di timnas Belanda, lambat laun habis. Kekalahan lawan Hongaria di kandang di pembukaan kualifikasi Piala Dunia 1986 membuatnya harus angkat kaki dari posisi manajer tim nasional.

Rinus Michels akhirnya harus turun gunung dan kembali membesut tim nasional Belanda. Namun, masalah jantung yang diderita Michels membuat KNVB menunjuk Leo Beenhakker, pelatih Volendam, jadi pelatih sementara.

Tugas Beenhakker yang terbagi-bagi membuatnya harus merelakan Volendam, yang ia bawa ke peringkat tiga Eredivisie, terdegradasi ke Eerste Divisie. Kendatipun begitu, Beenhakker berhasil membawa Belanda menang 1-0 melawan Austria, yang kala itu diperkuat bintang seperti Herbert Prohaska dan Bruno Pezzey. Hasilnya Belanda berada di posisi kedua Grup Lima, satu setrip di bawah Hongaria yang sudah melenggang ke Meksiko terlebih dahulu.

Di sisi lain, Belgia sedang jaya-jayanya. Tim Setan Merah, julukan Belgia, di bawah racikan Guy Thijs menjelma sebagai kekuatan baru di belantika sepak bola dunia.

Setelah jadi runner-up Piala Eropa 1980, Belgia berhasil menumbangkan juara bertahan Argentina pada laga pertama Piala Dunia 1982 di Spanyol. Piala Eropa 1984 di Prancis jadi pelajaran berharga bagi tim Setan Merah setelah mereka dihajar Prancis 0-5 dan kalah melawan Denmark 2-3.

Pemain-pemain berkelas seperti kiper Jean-Marie Pfaff, bek Eric Gerets, gelandang Franky Vercauteren, penyerang lubang Jan Ceulemans dan pemain muda Enzo Scifo. menjadikan Belgia sebagai tim penuh bintang di bawah asuhan Guy Thijs. Pendeknya, Belgia sudah bukan lagi “tetangga berisik” yang bisa diremehkan Belanda.

Kendatipun begitu, Belgia kala itu belum lama kehilangan dua pemain terbaiknya. Setelah harus kehilangan kapten Eric Gerets akibat skandal pengaturan skor antara Standard Liege lawan Waterschei yang melanda Liga Belgia pada tahun 1982, gelandang Ludo Coeck wafat karena kecelakaan mobil di pertengahan 1985.

Tanpa dua pemain di atas, Belgia akhirnya juga terseok-seok di fase kualifikasi. Kekalahan 0-2 lawan Albania membuat Belgia harus menang melawan Polandia di laga terakhir, dan mereka malah ditahan imbang.

Akhirnya, Derbi der Lage Landen tersaji sebagai penentu tim ke-21 yang lolos ke Meksiko. Dua pertandingan kandang-tandang yang tersaji di bulan Oktober dan November 1985 tersebut jadi penentuan harga diri kedua kerajaan yang bertetangga.

Leg pertama berlangsung di Stadion Constant Vanden Stock, Brussels. Pada laga di ibukota Belgia tersebut, permainan kotor antar kedua tim terus menerus terjadi, di mana Vercauteren akhirnya jadi sorotan. Polahnya di awal pertandingan membuat bomber Wim Kieft menerima kartu merah, dan ia lalu mencetak gol di menit ke-20; gol tersebut jadi satu-satunya yang tercipta di laga panas tersebut.

Kemenangan 1-0 Belgia membuat Belanda ketar-ketir karena mereka gagal mencetak gol dan tidak punya keunggulan gol tandang. Penderitaan tim Oranye makin bertambah karena selain Kieft yang dikartu merah, Marco van Basten juga menerima kartu kuning di laga tersebut dan harus absen di leg kedua akibat akumulasi kartu.

Tanpa kedua penyerang terbaiknya, Leo Beenhakker bingung. Ia memutar akal dengan memasang Peter Houtman sebagai ujung tombak pada leg kedua yang berlangsung di cuaca dingin kota Rotterdam.

Kedua tim buang-buang peluang pada babak pertama. Ceulemans dan Vercauteren sama-sama gagal mencetak gol untuk Belgia, begitupun Houtman yang ditemani winger Simon Tahamata dan Rob de Wit gagal memecah kebuntuan untuk Belanda.

Beenhakker lantas melakukan perjudian dengan mengganti stoper Michel van de Korput dengan striker Utrecht, John van Loen. Keputusan tersebut mengubah jalannya pertandingan bagi kedua tim.

Thijs lantas memasukkan stoper Georges Grün di babak kedua. Upaya ini berbuah manis karena Grün berulang kali menggagalkan bola panjang yang dikirim para pemain Belanda ke van Loen.

Belanda lalu mendapati mereka bisa lolos ke Meksiko di sepertiga akhir pertandingan. Tandukan Houtman di menit ke-60 membawa Belanda berada di atas angin dan 12 menit kemudian sontekan de Wit membuat seisi de Kuip bergemuruh lewat golnya; skor 2-0 untuk keunggulan Belanda.

Situasi genting di pertandingan tersebut lalu ditanggapi berbeda oleh kedua tim.

Beenhakker,yang bermain aman, memindahkan Gullit ke posisi libero demi menjaga keunggulan tim Oranye. Di sisi lain, Thijs mendorong Grün, yang kerap menang duel udara, jauh lebih ke depan demi gol tandang yang sangat berharga.

Gawang Belanda yang dikawal oleh Hans van Breukelen terus-menerus dibombardir oleh serangan bertubi-tubi dari Belgia, namun belum menemui hasil. Setidaknya hingga menit ke-85.

Memanfaatkan kemelut di depan gawang Belanda, Eric Gerets melepaskan umpan lambung ke tengah kotak penalti. Grün, yang lepas dari kawalan Gullit dan van Loen, berhasil menyambar umpan tersebut. Skor berubah jadi 2-1.

Sontak, setelah gol dari Grün, kontingen pendukung Belgia yang berjumlah sedikit langsung bersorak-sorai; kontras dengan seisi de Kuip yang didominasi pendukung Belanda.

Peluit panjang pun ditiup oleh George Courtney asal Inggris. Belgia melenggang ke Meksiko. Sebagai informasi, Belgia melaju hingga semifinal dan berhasil menjadi peringkat keempat di Piala Dunia 1986.

Malam itu, Belanda memang jadi pemenang, namun mereka gagal lolos ke tiga turnamen besar secara beruntun. pencapaian kelam yang mereka samai tiga dekade kemudian.

Gullit memang gagal mencegah gol Belgia malam itu. Namun, ia ditunjuk jadi pengganti Wijnstekers sebagai kapten setelah Piala Dunia Meksiko. Pemain berambut gimbal tersebut akhirnya tersenyum lebar setelah berhasil memimpin Belanda menjadi kampiun Euro 1988 di Jerman Barat, di mana Belgia kala itu gagal lolos.

Yang jelas, pada 20 November 1985, Tulip Oranye layu di tengah dinginnya angin pelabuhan Rotterdam.

*penulis dapat ditemui di Instagram dan Twitter @fmaditomo.

*Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi

dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar