Iran vs Amerika Serikat: Bumbu Konflik di Luar 90 Menit

Piala Dunia

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Iran vs Amerika Serikat: Bumbu Konflik di Luar 90 Menit

Pertandingan antara Iran melawan Amerika Serikat dalam laga terakhir grup B akan tersaji dengan tensi yang berbeda. Selain menentukan siapa di antara kedua tim yang lolos ke fase 16 besar, politik dalam negeri Iran juga menjadi latar belakang yang tak bisa ditampik membuat laga ini makin panas.

Pada 25 November 2022, akun Twitter tim nasional sepakbola laki-laki Amerika Serikat (USMNT) mengunggah foto bendera Iran tanpa lambang Republik Islam (perisai yang membentuk lafal Allah). Mereka mengklaim ini adalah bentuk dukungan terhadap para perempuan Iran yang sedang memperjuangkan hak asasi manusia.

Dengan mengutip pasal 13 peraturan FIFA soal diskriminasi, Federasi Sepakbola Iran mengirim surat protes pada FIFA. Mereka meminta Amerika dihukum dengan larangan sepuluh kali bertanding.

Untuk diketahui, pasal 13 itu berbunyi: “Siapa pun yang menyinggung martabat atau integritas suatu negara, seseorang atau sekelompok orang, akan dikenakan sanksi skorsing yang berlangsung setidaknya sepuluh pertandingan atau periode tertentu, atau tindakan disipliner lain yang sesuai”.

Politik dalam negeri Iran memang sedang dilanda ketidakstabilan pasca kematian Mahsa Amini , perempuan 22 tahun yang ditangkap polisi moral lantaran dianggap melanggar aturan pemakaian jilbab dan pakaian longgar. Amini disiksa oleh pihak kepolisian dan meninggal di rumah sakit pada 22 November 2022 setelah koma selama tiga hari. Namun kepolisian menyangkal penyiksaan itu adalah penyebab kematiannya. Mereka mengklaim Amini terkena serangan jantung.

Kematian Amini membuat banyak protes menuntut kesetaraan dilancarkan di beberapa kota. Kewajiban memakai jilbab dan pakaian longgar yang dibuat otoritas Iran dianggap para pengunjuk rasa sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan dan kesetaraan.

Piala Dunia 2022 pun menjadi ajang unjuk rasa dari para pemain maupun suporter Iran. Sebelum bertanding melawan Inggris, pemain Iran tidak menyanyikan lagu kebangsaan.

“Mereka harus tahu bahwa kita bersama mereka dan kami mendukung mereka. Kami bersimpati dengan mereka terkait kondisi tersebut,” ujar Ehsan Hajsafi, kapten timnas Iran.

Beberapa suporter pun melakukan protes dengan menuliskan kalimat-kalimat perlawanan, seperti “freedom” (kebebasan). Bahkan, ada satu perempuan yang tertangkap kamera mengecat bagian bawah matanya dengan simbol air mata sebagai lambang tangisan darah.

Dilansir dari The Guardian, beberapa suporter bahkan membawa bendera berlambang matahari dan singa. Itu merupakan bendera Iran di masa kepemimpinan monarki yang dipimpin oleh Shah Mohammad Reza Pahlevi. Iran di bawah Pahlevi merupakan Iran yang dekat dengan Amerika.

Pahlevi merupakan pemimpin monarki Iran terakhir sebelum Ayatollah Khomaeni melakukan revolusi untuk mendirikan Republik Islam Iran pada 1979. Hubungan Iran dan Amerika ketika Pahlevi berkuasa cukup erat, lantaran Amerika membantu Pahlevi menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh pada 1953.

Selain itu, Iran dan Amerika menandatangani perjanjian kerja sama nuklir untuk kepentingan sipil pada 1957. Program ini adalah inisiasi Presiden Eisenhower yang menyasar tiga negara, yakni Israel, Pakistan, dan Iran.

Hubungan itu berubah ketika Khomaeni berkuasa. Iran memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan dengan negara barat secara umum. Amerika, sebagai negara liberal, ingin menancapkan pengaruhnya di mana saja. Sedangkan Iran, yang sudah berubah menjadi negara Islam, juga ingin mengambil sikap yang bebas dengan menerapkan kebijakan non-blok (tidak berpihak kepada satu negara/kubu).

Meski bersitegang, Iran dan Amerika tidak pernah terlibat konflik bersenjata secara langsung. Mereka hanya terlibat dalam Perang Iran-Irak atau perang antara Amerika dan Irak, sebagai upaya perebutan hegemoni di Timur Tengah.

Namun demikian, kedua negara pernah bersitegang ketika kapal perang Amerika terkena ranjau laut di Teluk Persia pada 15 April 1988. Amerika membalas serangan itu dengan sebuah operasi bernama Praying Mantis dan juga penembakan terhadap Iran Air Flight 655 yang menewaskan 290 penumpang. Iran mengibarkan bendera gencatan senjata setelah itu.

Selanjutnya, konflik Iran dan Amerika berkisar pada persoalan nuklir. Mahmoud Ahmadinejad (Presiden Iran 2006-2013), mengembangkan nuklir sebagai program politik luar negerinya. Amerika tidak menyetujui hal tersebut.

Sikap keras Ahmadinejad untuk tetap mempertahankan program nuklir membuat negara-negara Barat termasuk Amerika memberlakukan sanksi ekonomi kepada Iran. Hubungan antara Iran dengan Amerika yang tidak harmonis membuat Presiden Iran setelah Ahmadinejad, Hassan Rouhani, mencari cara agar hubungan diplomatik kedua negara membaik dan membebaskan Iran dari kesulitan ekonomi akibat embargo Amerika.

Namun, pada 2019, sebuah pesawat tanpa awak milik Amerika, Global Hawk, ditembak di selat Hormuz, di perbatasan antara Iran dan jazirah Arab. Insiden itu membuat Presiden Amerika saat itu, Donald Trump, marah. “Iran telah melakukan kesalahan besar!” seru Trump melalui akun Twitternya.

Iran menganggap Global Hawk memasuki wilayah Iran, sementara Amerika mengklaim bahwa pesawat tersebut berada di kawasan internasional. Balasan Amerika untuk serangan itu adalah sebuah serangan di bandara internasional Baghdad, Irak, yang menewaskan Jenderal Qasem Soleimani, komandan Pasukan Quds Garda Revolusi Iran.

Iran membalas kematian Soleimani dengan menyerang pangkalan militer Amerika di Iraq. Serangan itu tidak menewaskan pasukan Amerika, namun membuat hubungan antara Iran dan Amerika semakin meruncing dan peperangan di depan mata. Merespons serangan itu, Trump mengatakan tidak akan membalasnya.

Bumbu sejarah perselisihan kedua negara itu ditambah dengan “debat” yang datang dari dua orang yang bukan warga negara Amerika atau Iran, namun mempunyai hubungan erat dengan kedua negara itu. Orang pertama adalah Jurgen Klinsmann, orang Jerman yang pernah melatih Amerika, dan orang kedua adalah Carlos Queiroz, orang Portugal yang saat ini menjadi pelatih Iran (dan pernah membantu Federasi Sepakbola Amerika untuk menyusun dokumen Project 2010, sebuah cetak biru sepakbola Amerika Serikat).

Klinsmann mengomentari karakter pemain-pemain Iran ketika bertanding yang menurutnya mengganggu wasit cadangan.

“Ini bukan karena kebetulan. Ini semua sengaja. Ini hanya bagian dari budaya mereka. Begitulah cara mereka memainkannya dan mereka bekerja sebagai wasit. Anda melihat pemain di bangku cadangan Iran selalu melompat, selalu bekerja di posisi keempat, hakim garis dan wasit keempat di pinggir lapangan, selalu di telinga mereka. Mereka terus-menerus berada di hadapan Anda di lapangan,” ujar Klinsmann kepada BBC.

“Ini adalah budaya mereka dan mereka membuat Anda kehilangan fokus dan membuat Anda kehilangan konsentrasi dan apa yang benar-benar penting bagi Anda,” lanjut pria yang melatih Amerika dari 2011 hingga 2016 itu.

Queiroz menanggapi perkataan Klinsmann dengan sebuah utas di akun Twitternya, @Carlos_Queiroz. Queiroz menyebut komentar Klinsmann sebagai komentar yang keterlaluan.

“Kami ingin mengundang Anda (Klinsmann) sebagai tamu kami, untuk datang ke kamp Tim Nasional kami, bersosialisasi dengan pemain Iran dan belajar dari mereka tentang negara, rakyat Iran, penyair dan seni, aljabar, dan semua budaya Persia. Dan juga dengarkan dari para pemain kami betapa mereka mencintai dan menghormati sepakbola,” tulis Quiroz.

“Sebagai orang Amerika/Jerman, kami memahami tidak ada dukungan Anda. Tidak masalah. Dan terlepas dari komentar keterlaluan Anda di BBC yang mencoba merusak upaya, pengorbanan, dan keterampilan kami, kami berjanji kepada Anda bahwa kami tidak akan membuat penilaian apa pun terkait budaya, akar, dan latar belakang Anda dan bahwa Anda akan selalu diterima di keluarga kami (jika Anda mengunjungi kami).”

“Pada saat yang sama, kami hanya ingin mengikuti dengan penuh perhatian apa keputusan FIFA mengenai posisi Anda sebagai anggota Technical Study Group Piala Dunia 2022. Karena, jelas, kami mengharapkan Anda mengundurkan diri sebelum Anda mengunjungi kamp latihan kami,” tutup Queiroz.

Memori Piala Dunia 1998

Iran dan Amerika Serikat pernah bertemu di babak grup pada Piala Dunia 1998 yang digelar di Prancis. Nuansa pertandingan tersebut juga dilingkupi suasana politis yang datang dari hal-hal di luar sepakbola.

Diputarnya film Not Without My Daughter sebelum pertandingan itu dianggap mencemarkan nama baik Iran, hingga Tim Melli mengancam akan mengundurkan diri dari turnamen. Film arahan sutradara Brian Gilbert itu diangkat dari sebuah novel yang berjudul sama, yang menceritakan seorang perempuan bersama putrinya yang kabur dari perlakuan kasar suaminya yang berasal dari Iran.

Aparat keamanan sudah berjaga ketat sebelum pertandingan. Konon, FIFA mendapat surat ancaman akan mendapat kekerasan yang disampaikan oleh oposisi Iran.

Namun demikian, yang tersaji di lapangan adalah permainan sepakbola. Sebelas melawan sebelas. Iran dengan ujung tombaknya, Ali Daei, dan Amerika Serikat dengan Cobi Jones. Pertandingan itu sendiri berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan Iran. Dua gol Iran dicetak oleh Hamid Estili dan Mehdi Mahdavikia, sementara satu gol Amerika dicetak oleh Brian McBridge. Seusai pertandingan tidak ada pemain yang bersitegang. Mereka justru saling bertukar jersei.

Barangkali para pemain Amerika dan Iran akan kembali saling bertukar jersei di pertandingan nanti.

Eric Wynalda, pemain timnas Amerika dari 1990 hingga 2000, menyebut pertandingan Amerika melawan Iran di Piala Dunia 2022 bukan merupakan urusan politik, melainkan karena The Yankees tidak tahu bagaimana cara meraih kemenangan.

Namun, bukan berarti Wynalda menampik adanya urusan politik, terutama di kubu Iran. "Pukulan terbesar di wajah yang bisa kita berikan kepada rezim Iran saat ini adalah dengan mengalahkan mereka di pertandingan nanti," tulis pencetak 34 gol bagi Amerika itu dalam sebuah esainya di Guardian.

Sementara itu, Ali Daei bersikap berbeda. Ia menolak datang ke Qatar sebagai bentuk solidaritas kepada pada pemrotes. Di akun Instagramnya, pencetak 109 gol untuk timnas Iran itu menulis, "Saya menolak undangan FIFA dan Federasi Sepakbola Qatar untuk menghadiri Piala Dunia bersama istri maupun anak perempuan saya. Saya lebih suka berada di Iran dan menunjukkan simpati kepada semua keluarga yang kehilangan orang yang dicintai selama ini."

Komentar