Bagaimana City dan PSG jadi "Buronan" FFP?

Cerita

by redaksi

Bagaimana City dan PSG jadi "Buronan" FFP?

Legenda Jerman Franz Beckenbauer pernah berkata, “Sepakbola menyatukan manusia. Tua-muda, pemain-suporter, kaya-miskin, semua sama”. Ungkapan indah yang sejalan dengan julukan sepakbola sebagai olahraga rakyat, ‘The People’s Game’. Namun seiring dengan perkembangan zaman, hal itu terlihat seperti angan-angan. Kenyataannya, kekayaan berbicara banyak di atas lapangan. Lihat saja Paris Saint-Germain (PSG) dan Manchester City.

Usai pesohor Arab Sheikh Mansour mengakuisisi 90% saham klub, City menjelma menjadi kekuatan baru di Inggris dan mulai diakui sebagai salah satu kesebelasan terbaik Eropa. Padahal, pada akhir 90-an hingga awal milenium ketiga, mereka masih kesulitan untuk mempertahankan diri di Premier League.

Hal serupa tidak bisa dikatakan untuk PSG, sebelum kehadiran pengusaha asal Qatar, Nasser Al-Khelaifi, Les Parisien memang sudah diperhitungkan di Prancis. Akan tetapi, mereka bukan tim dominan seperti sekarang. Sejak dipegang Khelaifi pada Oktober 2011, PSG berhasil menjuarai Ligue 1 tujuh kali dalam 10 tahun terakhir. Empat di antaranya diakhiri dengan quadruple trofi domestik.

Bukan Sekedar Uang

Kehadiran para pengusaha berlimpah harta ini bukanlah yang pertama kalinya untuk kedua klub. Sebelum Al-Khelaifi, Canal+ pernah menjadi penyokong dana utama PSG. Dengan uang yang dimiliki, mereka mendatangkan Yourri Djorkaeff, George Weah, David Ginola, dan lain-lain ke Paris.

Manchester City juga sama, sebelum Sheikh Mansour, politikus sekaligus pengusaha asal Thailand, Thaksin Shinawatra, membeli the Cityzens dengan dana sebesar 81,6 juta Paun. Ia bahkan berhasil mendatangkan Robinho dari Real Madrid, terlepas pemain sayap asal Brasil tersebut tidak pernah mengetahui keberadaan Manchester City sebelumnya.

Perbedaan paling mencolok antara PSG era Canal+ dengan Al-Khelaifi, atau Manchester City di bawah kepemilikan Shinawatra dan Sheikh Mansour adalah kepintaran mereka memutar uang di dunia sepakbola. Atau mungkin lebih tepatnya mengakali celah-celah yang ada di dunia sepakbola untuk memutar uang.

Sheikh Mansour merupakan wakil perdana menteri Uni Emirat Arab, sekaligus saudara dari presiden negara tersebut, Khalifa bin Zayed Al Nahyan. Dengan koneksi yang ia miliki dan kekayaan yang ada, sponsor-pun berdatangan untuk Manchester City. Sponsor yang tidak jauh dari koneksi Mansour, Etihad Airways.

Etihad adalah perusahaan maskapai asal Arab milik keluarga Kerajaan Abu Dhabi. Bisnis itu dipimpin oleh keturunan Kerajaan Abu Dhabi sekaligus salah satu direktur Manchester City, Mohamed Mubarak Al Mazrouei.

Al-Khelaifi juga demikian, sponsor PSG tidak jauh dari lingkarannya di Qatar. Ooredoo, Qatar National Bank, Qatar Tourism Authority, bahkan beIN Sports yang juga berada di bawah kekuasaan Al-Khelaifi menjadi sponsor klub. Bahkan pada kampanye penuh pertama PSG di bawah kepemilikan Al-Kheilafi (2012/2013), beIN Sport menjadi pemegang hak siar Ligue 1.

Kehadiran sosok seperti Sheikh Mansour dan Al-Khelaifi kemudian membuat Asosiasi Sepakbola Eropa (UEFA) menerapkan regulasi Financial Fair Play (FFP). Regulasi ini sudah mulai diperbincangkan sejak 2009, sekitar satu tahun setelah Sheikh Mansour datang ke Kota Manchester. Namun baru mulai diterapkan di musim 2011/12, tidak jauh dari akuisisi PSG ke tangan Al-Khelaifi.

FFP bertujuan untuk mengontrol finansial tim-tim Eropa, menyeimbangkan neraca keuangan klub, dan memastikan kondisi ekonomi mereka tetap stabil dan saat pertama dicanangkan, fokus utamanya adalah untuk memastikan tidak ada doping finansial dari para pemilik.

Terlepas dari penerapan FFP, kedua tim tetap aman membangun kekuatan menggunakan uang yang didapat dan berputar tidak jauh dari pemiliknya.

Football Leaks Gagal Lengserkan Manchester City

Kemudian pada 2018, muncul laporan Football Leaks; Dalam laporan tersebut, City disebut melakukan kecurangan dalam kesepakatan dengan perusahaan Arab, Aabar senilai 15 Paun. Rupanya nominal dari kesepakatan tidak sesuai dengan yang dilaporkan ke UEFA. “Persyaratan 12 juta Paun sisanya akan datang dari sumber alternatif yang disediakan oleh Yang Mulia [Mansour],” ucap Klub Eksekutif, Simon Pearce.

Selain Aabar, dalih kesepakatan curang juga terjadi dengan Etihad Airways. Perusahaan maskapai Arab tersebut menjadi sponsor utama City dengan kesepakatan £67,5 juta. Etihad hanya memberi delapan juta Paun, sisanya lagi-lagi berasal dari kantong Mansour.

Bukan hanya curang nominal, City acap kali mengubah waktu kesepakatan dengan pihak ketiga demi menyeimbangkan neraca tahunan. Kepala Keuangan City, Jorge Chumillas meminta Pearce untuk mengakali kesepakatan tersebut lewat surat elektronik. “Tentu saja, kita bisa melakukan apapun yang kita inginkan,” ucap Pearce.

Tarik mundur ke 2013, satu tahun setelah City akhirnya menyabet gelar juara Premier League di bawah arahan Roberto Mancini, di mana teriakan “AGUEROOOOOO” dari Martin Tyler sepertinya didengar di seluruh dunia, mereka juga disebut memanipulasi defisit dari pemecatan Mancini. Hal itu terkuak dalam pengakuan Chumillas yang menyebut, “Kita kekurangan dana 9,9 juta Paun untuk mematuhi FFP musim ini”.

“Defisit ini akibat Mancin dipecat. Saya pikir satu-satunya jalan menambah jumlah pendapatan sponsor Abu Dhabi untuk menutupi kekurangan ini,” tutur Chumillas dalam dokumen Football Leaks.

Menurut Deloitte, setidaknya ada tiga sumber pemasukkan klub, hari pertandingan, penyiaran, dan komersial. Bedasarkan laporan Football Leaks, City bisa dibilang gagal untuk mendulang dana dari tiga hal tersebut sehingga pemasukan tidak seimbang pengeluarannya, dan akhirnya menjajal jalan pintas yang mengelabui FFP.

Kubu Manchester City sebenarnya sempat divonis melanggar FFP pada 2014 setelah laporan keuangan mereka memperlihatkan kerugian sebesar 149 juta Euro. UEFA lalu memberiikan denda sebesar 60 juta Euro ke pihak klub. Mereka juga terancam absen di kompetisi antar klub Eropa karena hal ini.

Tapi, lagi-lagi Football Leaks menguak bahwa ada kesepakatan antara Gianni Infantino dan Manchester City yang membuat hukuman menjadi jauh lebih ringan. Sanksi denda tetap dijatuhkan, akan tetapi mereka tetap dapat bermain di kompetisi antar klub Eropa dengan jumlah pemain yang terbatas. .

Laporan Football Leaks ini kemudian membuat Dewan Peradilan dan Pengawasan Finasial UEFA (CFCB) melakukan investigasi Manchester City. The Cityzens disebut sengaja melakukan rekayasa laporan keuangan antara periode 2012 hingga 2016. Tindakan CFCB tersebut kembali mengancam Manchester Biru absen dari kompetisi antar klub Eropa. Lebih dari itu, mereka juga dikenai denda 25,2 juta Paun, dan pengurangan poin di Premier League.

Adu Berhitung UEFA & PSG

Tidak tinggal diam, Manchester City mengajukan banding ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) dengan dalih investigasi CFCB cacat prosedur. Menang, pihak klub akhirnya hanya didenda 8,4 juta Paun. CFCB bisa melakukan usaha banding, masalahnya agenda kompetisi sudah terlalu dekat, menjadi sulit untuk membuat keputusan tersebut diubah.

Sementara itu, PSG juga memiliki kontroversi mereka sendiri. Salah satu sponsor mereka, Otoritas Kepariwisataan Qatar, dicurigai telah mengeluarkan uang lebih banyak daripada jumlah yang disertakan pihak klub ke UEFA.

Pihak UEFA sempat menggaet perusahaan marketing olahraga, Octagon Worldwide untuk melakukan analisis terkait kesepakatan PSG dengan Otoritas Kepariwisataan Qatar. Dari laporan Octagon Worldwide, Otoritas Kepariwisataan Qatar mengalirkan dana 84 juta Paun lebih ke PSG.

Bukan tanpa perlawanan, PSG juga menunjuk firma hukum, Nielsen, untuk melakukan hal serupa. Menurut hitungan Nielsen, total dana yang didapat klub dari sponsor itu hanyalah sekitar 4,2 juta Paun.

Sponsor terakhir dicurigai menggelontorkan dana melebihi laporan PSG ke UEFA. UEFA pun menggaet perusahaan marketing olahraga, Octagon Worldwide, guna menganalisis nilai kesepakatan antara PSG dan Qatar Tourism Authority. Investigator UEFA Yves Leterme kemudian mempercayai hitungan Nielsen, dan menutup kasus tersebut.

Putusan tersebut kemudian membuat UEFA dikritik oleh media Amerika Serikat, The New York Times, yang menyebut payung sepakbola Eropa tersebut sudah menggelapi hasil investigasi mereka sendiri.

Musim Penentuan?

Curang, nakal, atau cerdik, aksi PSG dan Manchester City tetap memberikan hasil di atas lapangan. Terlepas dari bagaimana mereka mendapatkan uang, keduanya memperlihatkan ambisi. Ambisi kemudian dikuatkan dengan dominasi di atas lapangan lewat konsistensi meraih prestasi.

Memasuki musim 2021/22, artinya kedua tim setidaknya sudah satu dekade mengeluarkan serta memutar uang untuk bisa diakui sebagai klub adidaya. Dari pemain-pemain bintang, nakhoda berkualitas hingga petinggi-petinggi dengan pengetahuan dan pengalaman di dunia sepakbola juga direkrut untuk memenuhi ambisi tersebut. Walaupun masih ada satu yang belum terpenuhi, gelar juara Champions League. Status penguasa Eropa.

Manchester City diakui sebagai salah satu raksasa Premier League di bawah arahan Roberto Mancini, dan berhasil dipertahakan oleh Manuel Pellegrini, Manchester City menunjuk Pep Guardiola sebagai manajer.

Pihak klub memang sudah mempersiapkan diri untuk kedatangan Pep, jauh sebelum nakhoda asal Spanyol itu ditarik dari Bayern Muenchen, pihak klub telah merekrut mantan Wakil Presiden Barcelona Ferran Torres sebagai CEO. Torres kemudian disusul oleh Direktur Olahraga Barcelona yang membantu Pep meraih enam piala dalam satu tahun, Txiki Bergenstain. Ketika Pep datang, Manchester City sudah memenangkan semua piala kecuali UEFA Champions League. Itu target utama Sheik Mansour.

Target yang hampir terealisasi di musim 2020/2021 ketika mereka berhasil melangkah sampai partai puncak melawan Chelsea. The Cityzens kalah, tapi sebelum pertandingan Pep mengakui bahwa pencapaian ini adalah hasil tempaan dari pendahulunya.

“Orang-orang mungkin merasa sangat mudah bagi kami untuk mencapai final. Jika melihat empat atau lima tahun ke belakang -sejak awal Pep menangani Manchester City-, sampai di sini pada tahun ini adalah hal yang masuk akal,” aku Pep memberikan indikasi bahwa perjuangan klub untuk ada di final Champions League sudah dimulai sebelum dia datang.

Pernyataan Vincent Kompany di 2014 atau dua tahun sebelum Pep menangani Manchester City semakin memperkuat indikasi tersebut. “Sebelum juara Premier League, memang cukup berat untuk punya keyakinan bahwa kami bisa memenangkan Champions League. Meskipun demikian, saya yakin pada akhirnya kita akan mencapai target tersebut,” kata Kompany yang saat itu menjabat sebagai kapten tim.

Kompany pensiun, sudah beralih profesi sebagai pelatih, bahkan telah diabadikan menjadi patung, Manchester City belum berhasil memenuhi target. Hampir, tapi tetap saja belum. Guardiola pun mulai kehabisan waktu untuk merealisasikan hal tersebut. Memiliki kontrak hingga akhir musim 2022/23, Guardiola berarti hanya memiliki dua kesempatan lagi untuk memenuhi ambisi Sheikh Mansour.

Waktu semakin sedikit, halangan justru bertambah untuk Guardiola dan Manchester City. Pasalnya, Premier League berencana untuk memperketat kentetuan sponsor yang bisa masuk ke setiap klub peserta setelah Public Investment Fund (PIF) resmi mengakuisisi Newcastle United dari Mike Ashley.

Datang dengan restu Pangeran Arab Saudi Mohammed Bin Salman, PIF berjanji Newcastle United tidak akan dikontrol oleh Arab Saudi. Meski demikian, mungkin belajar dari pengalaman, melihat bagaimana Manchester City begitu dekat dengan Uni Emirat Arab, ketentuan sponsor akan tetap diperketat oleh pihak liga. Melarang sponsor yang memiliki kaitan dengan pemilik klub untuk masuk.

Hal ini belum mempengaruhi Manchester City karena perjanjian mereka dengan Etihad sudah berjalan sebelum aturan diterapkan. Akan tetapi, setiap perjanjian ada kadaluwarsa dan ketika hal itu terjadi belum tentu the Cityzens bebas dari aturan sponsor yang baru.

PSG juga dihadapi dengan masalah serupa. Serupa tapi tak sama. Ligue 1 tidak memperketat aturan sponsor mereka, artinya PSG masih bisa memutar uang dengan segala koneksi yang dipunyai Al-Khelaifi, terutama di Qatar. Al-Khelaifi juga memiliki ambisi merajai Eropa seperti Sheikh Mansour. PSG bahkan sudah lebih dulu mencapai final (2020) dibanding Manchester City walaupun sama-sama kalah.

Setelah kekalahan di partai puncak Champions League 2019/2020, Al-Khelaifi berjanji PSG akan kembali ke final dan keluar sebagai pemenang. Usaha mereka untuk memenuhi janji harus dipupuskan oleh Manchester City dan Pep Guardiola di 2020/2021. Musim ini, mereka mencoba memenuhinya dengan kembali mendatangkan nama-nama tenar seperti Achraf Hakimi, Gianluigi Donnarumma, Sergio Ramos, Georginio Wijnaldum, dan Lionel Messi.

Dari nama-nama di atas, hanya Hakimi yang memakan dana transfer. PSG harus membayar 60 juta Euro ke Inter Milan untuk mendatangkan bek kanan Maroko tersebut, sisanya gratis. Messi, Ramos, Wijnaldum, total memiliki delapan piala Champions League, dan semuanya didatangkan dengan cuma-cuma.

Bebas dana transfer bukan berarti tidak mengeluarkan uang, biaya agen, kontrak pemain yang memiliki banyak detil dari gaji per pekan hingga hak penggunaan gamber tetap harus dibayarkan oleh PSG. Dengan pemain-pemain seperti Messi, Ramos, Neymar Jr, dan Kylian Mbappe, pasti dana yang dikeluarkan PSG tetap banyak.

Bahkan menurut laporan Bob Williams dari Sports Business, keputusan PSG mendatangkan Messi membuat beIN Sports harus menjual hak siar La Liga mereka di Amerika Serikat dan hanya fokus dengan kompetisi sepakbola Prancis.

Ada hak beli kembali yang beIN Sports miliki apabila mereka kemudian memutuskan untuk menyiarkan La Liga di Amerika Serikat lagi. Namun, untuk sementara melepas hak siar La Liga berarti mengurangi biaya operasional, termasuk tapi tidak terbatas pada jumlah pegawai. Pengurangan pengeluaran beIN Sports berarti juga mengurangi dana yang harus dikucurkan oleh pemilik mereka, sekaligus penguasa PSG Al-Khelaifi.

Langkah ini mirip dengan keputusan PSG di musim panas 2017, ketika mereka memecahkan rekor transfer dunia untuk mendatangkan Neymar dari Barcelona. Saat itu, salah satu tumbalnya adalah divisi eSports PSG yang baru dibangun pada Desember 2016, terutama tim League of Legends.

Awalnya PSG punya ambisi tinggi dalam persaingan gim tersebut, mendatangkan nama-nama tenar berpengalaman untuk meraih prestasi. Tak lama kemudian, Neymar datang dan seketika pemain-pemain League of Legends yang sudah mereka kumpulkan mulai diputus.

Setelah pemutusan kontrak bintang-bintang League of Legends, tim tersebut juga masih harus mengalami pemangkasan biaya. Alhasil, tim League of Legends jadi satu-satunya eSports PSG yang belum meraih satupun gelar juara.

PSG tidak hanya bergerak di dunia sepakbola, dan itu membantu perputaran uang klub. Meski demikian, sepakbola tetap yang diutamakan karena dari sini mereka lahir dan dikenal. Bukan dari bidang lain. Masalahnya, sudah satu dekade PSG ditransformasi Al-Khelafi, status sebagai klub terbaik Eropa belum juga diraih.

Neymar mungkin masih memiliki kontrak hingga 2025, tapi hanya dia satu-satunya pemain dari trisula tenar PSG yang sudah berjanji untuk bertahan di Paris. Messi yang membuat beIN Sport memberanikan diri untuk fokus ke kompetisi Prancis di pasar Amerika Serikat, hanya memiliki kontrak hingga 2023 alias akhir musim depan.

Walaupun ada opsi perpanjangan setahun dalam kontrak Messi, belum tentu La Pulga akan bertahan di Paris mengingat Barcelona, tim yang membesarkan dia perlahan mulai berbenah dan kini diasuh oleh rekannya, Xavi Hernandez.

Sementara itu kontrak salah satu bintang mereka, Kylian Mbappe, akan hangus di akhir musim 2021/22. Mbappe sejauh ini tercatat sebagai pencetak gol terbanyak PSG di Champions League dan berpeluang pergi tanpa sepeserpun biaya transfer untuk klub.

Ini mungkin satu-satunya musim di mana trio Messi, Neymar, dan Mbappe akan bermain bersama. Setelah itu tidak ada yang tahu bagaimana nasib PSG, apalagi jika Mbappe lepas cuma-cuma.

PSG dan Manchester City sama-sama sudah mengunci tiket ke 16 besar dengan satu pertandingan tersisa di fase grup Champions League 2021/22. Namun, perjuangan mereka untuk merealisasikan ambisi dan mengembalikan investasi pemilik masing-masing baru akan dimulai dan mungkin adalah kesempatan terakhir untuk keduanya.

Atau mungkin jika gagal juga, mereka akan kembali menemukan cara lain untuk mengakali regulasi finansial yang semakin ketat. Mereka sudah berpengalaman soal itu. Lagipula dengan prestasi dan citra yang sudah dibagun selama ini, seharusnya akan lebih mudah bagi keduanya mempertahankan status sebagai raksasa di Eropa. Sekalipun belum pernah menyandang titel raja, di sepakbola yang kaya dan miskin tidaklah sama.

Komentar