Ledakan Mendadak Dinamit Denmark

Backpass

by Redaksi 11

Redaksi 11

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ledakan Mendadak Dinamit Denmark

Piala Eropa memang lahan basah bagi kejutan dahsyat terjadi. Turnamen antarnegara Eropa relatif ramah untuk beberapa kontestan yang dipandang sebelah mata menjadi juara.

Pada edisi terakhir, Portugal juara tanpa sekalipun menang di babak grup. Terganggu ngengat pada laga final yang ditentukan one-hit wonder bernama Nene. Sementara megabintang Cristiano Ronaldo cedera di tengah laga, lalu mengambil alih kendali tim dengan bertindak bak pelatih utama. Begitu cara Selecao das Quinas meraih trofi elite pertama mereka.

Sementara pada Piala Eropa 2004, Yunani mahsyur berkat pertahanan grendel. Selalu menang 1-0 di fase gugur untuk juara. Puncak sepak bola negeri para dewa. Titik kulminasi sepak bola pragmatis Otto Rehaggel. Siapa sangka, mereka juara Piala Eropa lebih dulu dari negara penemu sepak bola modern, Inggris.

VIDEO: Sepakbola Indonesia sudah jadi industri? Pandit Talk Episode 4 ft. Ekomaung dan Kuntowiyoga



Jauh ke belakang, kejutan spektakuler terjadi pada Piala Eropa 1992. Berlangsung di Swedia, delapan negara terbaik bertanding di putaran final turnamen. Ada juara bertahan Belanda lengkap dengan memori sepakan voli Marco van Basten empat tahun sebelumnya.

Sementara Jerman ingin membuktikan diri, karena baru saja alami unifikasi. Kebalikannya, Uni Soviet justru belum lama bubar dan bertanding di bawah bendera CIS (Negara-negara persemakmuran). Prancis berada dalam era Eric Cantona. Inggris kedatangan darah muda pada diri Alan Shearer. Juga Skotlandia yang megintip kejayaan bersama Gary McAllister.

Namun, tim unggulan Yugoslavia gagal berangkat karena perang saudara. Predrag Mijatovic, dkk. hanya bisa gigit jari dan terus berandai-andai. Skuad mereka sedang memasuki periode emas, pasca juara Piala Dunia Usia Muda pada 1987. Negara itu bubar, terpecah menjadi beberapa negara baru.

Denmark mengambil jatah Yugoslavia. Negara Skandinavia finis di bawah mereka dengan selisih satu poin saat babak grup kualifikasi. Hanya berselisih 11 hari dari turnamen, Denmark menyiapkan diri. Beredar rumor, beberapa pemain Denmark sebetulnya sedang bersantai di pantai saat mengetahui keikutsertaan dadakan ini.

Kurang dari dua minggu, De rød-hvide (Si Merah Putih) mesti membentuk tim. Dalam periode singkat, Denmark masih sempat beruji tanding dengan CIS.

Mereka minus pemain terbaik tim, Michael Laudrup yang memilih pensiun dari timnas sejak babak kualifikasi. Adiknya, Brian Laudrup juga sempat undur diri. Brian akhirnya memutuskan kembali ke tim untuk putaran final turnamen. Laudrup bersaudara memang hilang selera sejak timnas ditukangi Kepala Pelatih, Richard Moeller Nielsen.

Dua laga awal mereka tidak jumpa menang. Imbang dengan Inggris dan keok dari Swedia. Pertandingan terakhir melawan Prancis, bisa saja mereka anggap angin lalu.

“Kami tidak bisa (dianggap) gagal, karena memang tidak ada ekspektasi apapun. Jika kami kalah 0-5 tiga kali, sebenernya bukan persoalan juga,” ujar gelandang Kim Vilfort kepada BBC.

Vilfort saja tidak main pada duel versus Les Blues. Dia harus pulang ke Kopenhagen, karena anaknya Line yang berusia tujuh tahun sakit Leukimia. Dewi fortuna mengintervensi nasib Denmark. Prancis mereka tundukan 2-1 lewat gol penghujung waktu Lars Elstrup. Denmark menemani Swedia lolos ke babak semifinal.

Pengganti Vilfort, Henrik Larsen sanggup mencetak gol pertama pada kemenangan dramatis tersebut. Ketika Vilfort kembali ke tim, pelatih Nielsen secara jitu memainkkan kedua gelandang pada laga semifinal. Salah satu faktor ampuh bermain

> imbang 2-2 Belanda pada waktu normal.

Larsen memborong dua gol. Sementara Vilfort menjadi jenderal lini tengah berduel dengan gelandang sekelas Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Namun, bintang utama justru Peter Schmeichel. Kiper yang saat itu baru semusim memperkuat Manchester United menepis sepakan Marco van Basten pada babak adu penalti. Di hadapan Schmeichel, pahlawan Belanda pada Piala Eropa 1988 berubah wujud menjadi pesakitan.

Kepalang tanggung, mengapa tidak Denmark menghajar Jerman di partai final? Apakah mungkin? Skuad die Nationalmannschaft padat pemain yang juara Piala Dunia 1990 dengan Jerman Barat. Menjuarai Piala Eropa 1992 jelas menjadi hadiah membahagiakan bagi negara yang alami penyatuan. Apa daya, lagi-lagi takdir baik tahun itu jatuh untuk Denmark.

John Jensen membuka keunggulan lewat sepakan keras yang langsung mengacak-acak naskah skenario Jerman juara. Gol kedua sang gelandang tengah dalam 49 partai internasional. Alasan Arsenal merekrutnya selepas turnamen, sekalipun kariernya memble di London Utara.

Diwarnai banyaknya praktik

>backpass yang masih sah, Denmark mencoba mempertahankan kemenangan. Bek mengoper untuk ditangkap kiper. Kiper mengoper bek lalu dikembalikan kepadanya. Begitu terus.

Sebelas menit jelang bunyi panjang peluit, ekstase memuncak.

>Vilfort mencetak gol penyegel kemenangan. Dinamit Denmark meledak begitu keras dan nyaring. Menyajikan trofi penting pertama negara Nordik. Dua minggu lalu, mereka tidak lolos turnamen. Sebulan berselang, mereka keluar sebagai juara.

Bagi Vilfort, kejayaan ini dia persembahkan untuk Line. Anaknya sendiri yang meminta Vilfort untuk kembali timnas untuk berjuang di semifinal. Alasan performa garang berujung gol terakhir bagi sang pemenang. Sedihnya, beberapa pekan kemudian Line wafat karena sakit yang dia idap.

Vilfort, Jensen, Schmeichel, dan tujuh personel lain semusim sebelumnya memang berada dalam gerbong yang mengantar Brondby menembus semifinal Piala UEFA 1990-91. Bersama pragmatisme Nielsen, faktor tersebut sering dilihat sangat menentukan kesuksesan timnas di Piala Eropa 1992. Tetap saja masih sulit dibayangkan, kalau membandingkannya dengan Belanda berkat poros tim Piala Eropa 1988. Apalagi dengan Jerman yang berfondasi tim juara Piala Dunia 1990.

“Kami punya semangat yang fantastis. Tim ingin menang dan itu sangat bagus pada level tertinggi. Ketika kami berada di bawah tekanan Jerman, semangat itu yang membantu kami. Kami tidak punya pemain terbaik, tapi punya tim terhebat,” kenang Vilfort.

Sampai sekarang, kejayaan ini masih menjadi puncak prestasi sepak bola Denmark. Tercapai bukan pada era Preben Elkjaer, minus kehadiran bakat terhebat bernama Michael Laudrup, dan terasa mustahil diulangi generasi-generasi berikutnya. Nicklas Bendnter saja gagal.

Kejayaan Denmark turut menandai beberapa perubahan. Aksi legal back pass menemui ajal, sekaligus mengubah lanskap taktik sepak bola. Penyesuaian atas aturan ini kelewat drastis.

Sedangkan dilarangnya Yugoslavia ikut serta, masih terus menyisakan sesal. Pada akhir Mei tahun ini, pemain mereka yang kini menjadi pelatih, Slavisa Jokanovic memberi komentar kemungkinan lain yang bisa terjadi kala itu.

“Kami punya Piala Eropa yang direbut dan tidak pernah dikembalikan. Kami tim yang lebih baik daripada Denmark. Kami bisa menggapai sesuatu yang besar dengan pemain bintang yang kami punya, sebulan sebelumnya tim kami lebih tangguh.”

“Situasi yang sangat buruk terjadi saat itu. Banyak negara enggan melakukan uji coba dengan kami. Dua minggu berselang, mereka melarang keikutsertaan kami. Sangat mengecewakan. Kami teramat ingin menunjukkan apa yang kami bisa, tapi politik menghalanginya. Terasa buruk,” ungkap Jokanovic.

Kejayaan mengejutkan Denmark beserta kisah di seputarnya sukses memperkaya kisah kaya Piala Eropa. Turnamen antarnegara yang tidak pernah terpisah dari imbas gejolak benua. Tanah subur bagi banyak kejutan beranak pinak. Denmark ’92 mendahului kejutan yang berlangsung selepasnya.

Sayang, turnamen edisi tahun 2020 mesti tertunda. Format baru yang mesti tertahan sampai setahun kemudian. Ketika nanti akhirnya berlangsung, apa kejutan besar yang paling kalian nantikan?

Sumber: BBC/These Footy Times/Sports Cafe.

Komentar