Di Bawah Langit Biru Tehran

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Di Bawah Langit Biru Tehran

Pelbagai macam emosi bercampur aduk di Stadion Azadi, Tehran pada 10 Oktober 2019. Di salah satu bagian tribun, suporter Kamboja menjadi saksi pembantaian 14-0 oleh Republik Islam Iran, seorang diri. Sementara, di bagian tribun lain, ribuan suporter perempuan berpesta pora merayakan kemenangan; di dalam dan luar lapangan.

Skor 14-0 bukanlah hasil yang umum dalam sepakbola. Meski Iran berstatus kesebelasan terbaik Asia berdasarkan Peringkat FIFA (peringkat ke-23 dunia) dan hanya sekali kalah pasca Piala Dunia 2018 (15 kali menang dari total 17 pertandingan), Kamboja sendiri (seharusnya) tidak selemah yang ditunjukkan hasil akhir. Mereka mampu menahan imbang Hong Kong 1-1 dan hanya kalah 0-1 melawan Bahrain dalam dua pertandingan pertama Kualifikasi Piala Dunia 2022.

"Saya tidak percaya hal ini dapat terjadi," ucap seorang jurnalis perempuan, Raha Poorbakhsh, kepada AFP. Ia tidak tengah berbicara angka di papan skor. "Setelah bekerja di bidang ini selama bertahun-tahun, menyaksikan segalanya lewat televisi, sekarang saya bisa merasakannya langsung."

Poorbakhsh berbicara tentang pengalaman sebagai salah satu dari sekitar 4.000 perempuan Iran yang berada di stadion. Ia berbicara tentang kebebasan yang diimpikan sejak 1981. Untuk pertama kalinya, para perempuan Iran diizinkan membeli tiket dan datang langsung ke stadion.

Arena olahraga dan perempuan memang bukan dua hal yang akrab di Iran pasca revolusi yang dipimpin Ruhollah Muzavi Khomeini. Kaum konservatif yang menguasai republik melihat stadion sebagai salah satu pusat potensi dosa karena perempuan bisa melihat atlet pria yang setengah telanjang, terpapar sumpah serapah, dan aksi kekerasan. Bahkan, Iran pernah melarang perempuan memegang papan nama negara pada Olimpiade 1988 di Korea Selatan.

"Saya tidak pernah berpikir kami bisa masuk ke stadion, tetapi saya senang karena hal ini akhirnya terjadi," kata karateka putri pengoleksi delapan emas Kejuaraan Asia dan satu emas Asian Games, Hamideh Abbasali.

Mungkin, inilah cara semesta bekerja bagi para perempuan Iran yang terus bersabar dan berjuang selama hampir empat dekade. Menyaksikan tim nasional sendiri menyarangkan bola sebanyak 14 kali ke gawang lawan bukan hadiah yang buruk, bukan?

Skuat asuhan pelatih Marc Wilmots dengan sigap langsung menghampiri ribuan perempuan setelah pertandingan. Mereka berterima kasih atas dukungan selama hampir 90 menit penuh, membuat stadion riuh meski hanya terisi tak sampai 10% dari 75.000 total kapasitas.

Kiper utama Team Melli, Alireza Beiranvand, tak dapat menahan haru atas momen bersejarah ini. "Sekarang, keinginan terbesar saya menjadi nyata: istri saya dapat ikut berada di dalam stadion," ucap dirinya.

Kelegaan bukan hanya milik Beiranvand seorang. Bayangkan, sebelumnya, anggota keluarga perempuan para pemain bisa menjadi kriminal jika datang untuk memberikan dukungan langsung.

Ancaman tersebut yang dirasakan oleh Parastoo, salah satu suporter yang hadir dalam laga vs Kamboja. Di Stadion Azadi yang sama, satu tahun sebelumnya, Ia hampir ditangkap karena nekad menyusup untuk menyaksikan Persepolis menghadapi Kashima Antlers dalam Final Liga Champions Asia pada November 2018.

Mengenakan jaket hitam, baju dan topi merah, Parastoo menyamar sebagai seorang pria. Ia mampu melewati penjagaan pertama dan kedua, tetapi tidak yang ketiga. "Polisi melihat kami dan mengatakan bahwa perempuan tidak diizinkan dan kami harus pulang ke rumah," tuturnya seperti yang ditulis jurnalis John Duerden dalam artikelnya di Tortoise.

Parastoo masih terbilang beruntung. Ia terbebas dari hukuman dan persekusi, namun tidak demikian dengan banyak perempuan lain yang harus `mengubah` identitas diri demi hadir di stadion.

------

Sekitar 2,500 kilometer ke arah barat laut dari Tehran, Zeinab Sahafi duduk sendiri di sebuah kafe di Istanbul, Turki.

"Saya sangat sedih saya tidak bisa berada di sana (Stadion Azadi), tetapi pada saat yang bersamaan saya senang karena perempuan lain bisa hadir," ucapnya kepada Tariq Panja untuk The New York Times. "Ini seperti menanam sebuah pohon kecil, menyaksikannya tumbuh dan akhirnya berbuah. Hanya saja, orang lain yang memakan buahnya."

Sosok berusia 23 tahun tersebut tengah mengasingkan diri - atau, lebih tepatnya, mengamankan diri - dari kejaran aparat kepolisian. Ia sudah berada di Istanbul selama dua bulan. Ancaman dipenjara membuatnya harus rela jauh dari keluarga; hanya bisa menonton video adik lelakinya yang berusia tujuh bulan, Shahin, melalui ponselnya.

Sahafi adalah salah satu perempuan paling populer dalam lingkup sepakbola Iran atas keberaniannya menyamar. Akun Instagram-nya memiliki 141.000 pengikut.

https://www.instagram.com/p/BydcDGzBV2m/

Suporter Persepolis itu bukannya tidak mengetahui risiko yang dihadapi. Ia sudah diborgol dan ditahan berkali-kali sejak pertama kali hadir di stadion ketika berusia 13 tahun. Bermalam di kantor polisi, menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulang, tetapi Ia selalu melakukan hal berlawanan.

"Saya keras kepala," ucap diri Sahafi. Tak seorangpun bisa membatasi hasratnya pada sepakbola, tak sekalipun legenda hidup Iran, Ali Karimi, yang namanya abadi terajah di lengan kiri Sahafi.

Mantan pemain FC Bayern itu pernah meminta Sahafi tidak datang ke stadion ketika mereka bertemu di hotel tempat tim nasional menginap beberapa tahun lalu, namun tak diindahkan.

Hanya sekitar tiga minggu tersisa bagi Sahafi untuk bersembunyi di Istanbul-warga Iran tidak boleh tinggal di Turki lebih dari tiga bulan. Ia tahu kemungkinan besar akan dipenjara ketika kembali ke negaranya. Sementara masa depan masih nanar, Ia hanya ingin "menjalani hidup tanpa stres dan mungkin menyaksikan sedikit sepakbola".

Sahafi, yang bekerja sebagai tukang tato di kota kelahirannya, Ahvaz, tidak pernah menyangka akan menjalani kehidupan seperti aktivis. Hanya saja, Ia adalah seorang wanita, warga negara Iran, dan mencintai sepakbola. Perpaduan ketiganya adalah trisula mematikan.

Ini bukan sekadar perumpamaan. Larangan yang tidak tertulis tersebut memang sudah memakan korban: Sahar Khodayari, The Blue Girl (Sang Perempuan Biru).

-----

"Mereka memperingatkan kami untuk tidak menyebut Blue Girl," ucap salah seorang penonton, Donya, kepada Deutsche Welle selepas pertandingan di Stadion Azadi. Sebuah video menunjukkan satu perempuan hampir diusir dari tribun karena membawa poster bertuliskan "The Blue Girl", namun tidak jadi karena penonton lain yang hadir meneriakkan "Kami merindukan kehadiranmu, Blue Girl!" secara serentak.

Khodayari memiliki peran besar atas izin bagi para perempuan Iran hadir di stadion. Ia terancam enam bulan penjara setelah tertangkap menyamar sebagai pria untuk meyaksikan Derby Tehran antara Persepolis dengan Esteghlal FC-klub favoritnya-pada Maret 2019. Ia dianggap "menistakan publik karena mengabaikan aturan berpakaian bagi perempuan", sebagaimana yang tertulis dalam dokumen resmi pengadilan.

"Merupakan sebuah dosa bagi seorang perempuan untuk pergi ke stadion dan melihat pria setengah telanjang," kata jaksa penuntut umum, Mohammad Jafar Montazeri, pada Agustus lalu. "Kami tidak akan diam di hadapan mereka yang berani melawan tabu".

Khodayari menolak diberangus; membakar diri sendiri di depan gedung pengadilan sebelum sidang yang dijadwalkan pada 1 September. Ia meninggal akibat 90% luka bakar di tubuhnya enam hari kemudian. Aksinya mengundang suara perlawanan yang jauh lebih lantang ketimbang ancaman Montazeri.

Perempuan berusia 29 tahun tersebut dijuluki Blue Girl seturut dengan warna kebesaran Esteghlal, yang mengeluarkan pernyataan resmi: "Ia mendukung kita kendati politik membuatnya ilegal, tetapi apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung dirinya? TIDAK ADA SAMA SEKALI. Kita adalah para pengecut".

Rivalitas sengit antara Persepolis dan Esteghlal yang telah berlangsung sejak Iran masih berbentuk negara monarki tak menghalangi keduanya untuk bersatu dalam duka. Mereka mengheningkan cipta sebelum sesi latihan.

Para penggemar pria di kota Rasht berkumpul pada 16 September. Satu suara, bernyanyi, "Oh, Perempuan Biru Iran, namamu abadi" di pesisir Laut Kaspia.

-----

Federasi Sepakbola Iran (FFIRI) dan pemerintah tersudut pasca kematian Khodayari. FIFA mengancam akan memberi sanksi jika perempuan masih tidak diizinkan memasuki stadion per 10 Oktober - maka, hal itulah yang dilakukan.

Pun demikian, situasinya masih jauh dari kata ideal, sebagaimana yang tertulis dalam Statuta FIFA Art. 4 tentang Anti-Diskriminasi, Kesetaraan, dan Netralitas.

Para perempuan yang hadir di Stadion Azadi justru diperlakukan layaknya suporter tandang. Mereka mendapatkan tribun khusus yang terpisah dari penonton lainnya. Kuota tiket yang disiapkan juga terlalu minim.

Juru bicara pemerintah, Ali Rabiei, mengatakan bahwa "infrastruktur di Stadion Azadi telah siap untuk kehadiran perempuan". Faktanya, tidak ada toilet khusus perempuan di sana-selama bertahun-tahun, FFIRI menolak membuatkan toilet bagi perempuan dengan alasan kekurangan dana.

Kebebasan pers juga menjadi pertanyaan. Fotografer perempuan tidak mendapatkan izin untuk meliput. Menurut laporan yang diterima Commonwealth Human Rights Initiative, televisi nasional Islamic Republic of Iran Broadcasting (IRIB) menolak menayangkan pertandingan jika ada fotografer perempuan.

Bahkan, IRIB diketahui sengaja tidak menampilkan para suporter perempuan di tribun dalam Final Liga Champions Asia 2018. Sebagai informasi, sejumlah kecil perempuan diperbolehkan hadir melalui proses seleksi. Presiden FIFA, Gianni Infantino, hadir dalam pertandingan tersebut.

Itu bukan pertama kalinya Infantino menyaksikan pertandingan di Iran. Ia juga sempat menonton Derby Tehran pada Maret 2018, ketika 35 perempuan ditahan karena mencoba masuk ke dalam stadion.

Keseriusan Infantino dan FIFA menegakkan statuta mereka sendiri memang masih diragukan. Mereka telah memberi sanksi bagi banyak federasi dalam beberapa tahun terakhir. Yunani, Sudan, Pakistan, Kuwait, Sierra Leone, dan tentu saja Indonesia dihukum atas intervensi pemerintah. Namun, mereka tidak pernah benar-benar tegas terhadap Iran untuk urusan anti-diskriminasi.

Maryam Shojaei, adik dari kapten timnas Iran, Masoud Shojaei, bercerita kepada The New York Times bahwa Ia telah mengirim sedikitnya delapan surat kepada FIFA. Ia juga pernah memberikan petisi berisi 200.000 tanda tangan agar larangan bagi perempuan Iran dicabut kepada petinggi FIFA, Fatma Samoura, pada November 2018. "FIFA tidak bergerak cukup cepat dan kini Sahar telah tiada," tutur dirinya.

Ini saatnya FIFA membuktikan bahwa mereka memang(sedikit) berguna. Infantino harus memastikan permintaannya tentang "perempuan harus diizinkan masuk ke stadion sepakbola di Iran untuk seluruh pertandingan" benar-benar dipatuhi FFIRI.

Tidak sedikit yang menyangsikan, seandainya FIFA benar-benar menjatuhkan hukuman, FFIRI rela mengalah. Alih-alih, justru muncul kekhawatiran FIFA akan `dikelabui`.

Mungkin saja bagi FFIRI untuk mengizinkan sejumlah perempuan membeli tiket dan hadir langsung di stadion. Namun, selama kebebasan itu belum setara dengan yang dimiliki pria, maka inklusivitas itu hanya pura-pura belaka.

-----

Mari, sama-sama sepakat terlebih dahulu: perempuan masih menjadi warga kelas dua dalam sepakbola.

Diskriminasi tersebut hadir dalam wujud berbeda-beda di setiap negara. Di Indonesia, misalnya, tentu tidak se-ekstrem di Iran, namun tetap saja masih banyak hal menjijikan.

Anda (baca: pria) tidak perlu jadi gila untuk masuk ke toilet perempuan. Cukup jadi suporter bola. Setidaknya, hal itulah yang terjadi di beberapa sudut Stadion Gelora Bung Karno kala Indonesia menghadapi Malaysia, September lalu.

Tidak hanya para suporter perempuan, para pemain pun juga kena racun maskulinitas. Belum lama, muncul spanduk dari salah satu kelompok `oknum` suporter Arema FC yang menyamakan pesepakbola putri Persebaya Surabaya dengan-tanpa mengurangi rasa hormat-pekerja seks komersial.

Sementara, dalam laga Persija Jakarta vs Persib Bandung, para suporternya-yang tentu saja semuanya pria-sibuk baku hantam di tribun Stadion Maguwoharjo, Sleman.

Seburuk-buruknya PSSI, inisatif menggelar Liga 1 Putri seharusnya didukung secara positif. Belum banyak negara di Asia yang memiliki liga sepakbola perempuan (yang berjalan pada 2019: Australia, China, Hong Kong, Iran, Jepang, Yordania, Korea Selatan, Kyrgyzstan, Myanmar, Pakistan, Filipina, Thailand, Uzbekistan, dan Vietnam).

Jika tata kelolanya baik, bukan tidak mungkin Garuda Pertiwi mampu menjadi salah satu kesebelasan kuat, setidaknya di Asia. Apakah kalian (baca: pria) tidak lelah melihat prestasi sepakbola putra yang begitu-begitu saja-bahkan relatif jalan mundur-sejak Soeharto masih menjabat sebagai presiden republik?

Memastikan perempuan merasa aman, nyaman, dan terlindungi ketika bermain dan menonton sepakbola adalah pembuktian jargon "olahraga untuk semua" bukan sekadar manis di mulut. Hal itu tengah diperjuangkan di Iran-sewajarnya juga di Indonesia, yang sejatinya berada beberapa langkah di depan. Meski belum memuaskan, setidaknya sudah ada titik terang.

-----

Ada pepatah populer yang menggambarkan kehidupan pasca berdirinya Republik Islam Iran: “Sebelum revolusi, orang minum di depan umum dan berdoa di kamar. Setelah revolusi, orang berdoa di depan umum dan minum di kamar."

Khodayari belum lahir ketika tanah tempatnya lahir dan dikubur, Kota Suci Qum, menjadi tempat Khomeini menanam bibit-bibit revolusi. Namun, keduanya pasti sama-sama `melihat`: setelah revolusi, para perempuan juga bisa nonton sepakbola di stadion.

Jika Khomeini memantau melalui gambar wajahnya berukuran ekstra besar yang terpampang di Stadion Azadi (dalam bahasa Indonesia artinya bebas), maka Khodayari melalui langit biru Tehran.

Komentar