Penyerang Peraih Penghargaan Penjaga Gawang Terbaik

Backpass

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Penyerang Peraih Penghargaan Penjaga Gawang Terbaik

Filsuf, sastrawan, sekaligus aktivis asal Prancis, Albert Camus, gemar bermain bola. Ketika bermain bola, posisi yang biasa ditempati Camus adalah penjaga gawang. Ini bukan tanpa alasan; Camus yang tumbuh di keluarga miskin cukup kesulitan jika harus sering membeli sepasang sepatu sepakbola sehingga ia begitu menjaga sepatu yang dimilikinya agar tidak cepat rusak. Oleh karena itulah, Camus memilih menjadi penjaga gawang. Dengan menjadi penjaga gawang, ia tidak terlalu banyak bergerak dan menendang bola sehingga sepatunya pun bisa lebih tahan lama.

Dari pengalamannya menjadi seorang penjaga gawang itu, Camus pernah melukiskan perasaan pahit getir menjadi seorang kiper. Penjaga gawang, sebutnya, adalah seorang yang paling soliter. Ia menjadi seseorang yang berada jauh dari garis riuh permainan ketika gol dicetak ke gawang lawan. Tapi di sisi lain, ia menjadi seorang yang dekat dengan ancaman ketika dirinya salah mengantisipasi tembakan lawan, sehingga berbuah gol untuk lawan, dan berujung dengan caci maki kekalahan.

Menjadi seorang penjaga gawang tampaknya memang tidak pernah mudah. Ia tidak terlibat ketika rekan-rekan satu timnya sedang asyik menyerang dan membombardir pertahanan lawan. Ia hanya bisa melihat itu semua dari kejauhan dalam kesendirian. Seorang penjaga gawang hanya terlibat sepenuhnya justru pada momen-momen genting yang mengancam gawangnya — mengancam timnya.

"Di mana penjaga gawang berjalan, rumput tak pernah tumbuh," tulis Eduardo Galeano dalam Soccer in Sun and Shadow. Pahit memang. Bahkan Galeano juga menyebut bahwa satu-satunya hiburan yang dapat dilakukan oleh seorang penjaga gawang dalam kesendiriannya adalah dengan memakai kostum warna-warni.

Jan Koller tampaknya tidak sanggup jika di sepanjang kariernya ia harus menanggung segala nestapa menjadi penjaga gawang seperti yang dilukiskan olehCamus dan Galeano tersebut. Maka dari itu, ketika di awal kariernya ia sempat berposisi sebagai seorang penjaga gawang, Koller akhirnya memutuskan untuk berpindah posisi menjadi penyerang. Pria yang lahir di Praha, Republik Ceko, pada 30 Maret 1973 itu, lebih memilih untuk menjadi seorang pembobol gawang daripada yang dibobol; lebih memilih untuk menjadi seorang yang larut dalam perayaan daripada menjadi seorang yang hanyut dibuai sepi.

Keputusannya untuk menjadi seorang penyerang ternyata tidak keliru. Di awal karier profesionalnya, ia direkrut oleh salah satu klub besar Rep. Ceko, Sparta Praha, pada musim 1994/95. Ia menjalani debutnya dengan Sparta Praha saat menghadapi SK Benesov di musim panas 1995. Ketika itu Koller masuk sebagai pengganti, ketika pertandingan tinggal menyisakan waktu 20 menit lagi. Musim pertamanya di Sparta Praha tersebut terbilang cukup baik. Dari enam penampilan yang dijalaninya bersama Sparta di Gambrinus Liga, satu gol berhasil diciptakan oleh pria berkepala plontos dengan tinggi badan mencapai 202 cm tersebut.

Musim berikutnya,Koller yang saat itu baru berumur 22 tahun, semakin berkembang dan meningkat kualitasnya. Perkembangannya ini terlihat dari semakin seringnya Koller diturunkan oleh Sparta Praha. Di musim keduanya ini, ia ditampilkan 23 kali sepanjang musim dan mencetak 4 gol. Di tahun keduanya bersama Sparta ini pula, Koller mampu mengantarkan klub berjuluk Zelezna Sparta ini menjuarai turnamen Piala Ceko 1996.

Perkembangannya yang semakin signifikan mencuri perhatian salah satu klub Belgia, K.S.C. Lokeren. Pada musim 1996/97 ia pun resmi menjadi bagian klub tersebut. Koller langsung mendapat kepercayaan di tim tersebut; kesuburannya dalam mencetak gol pun semakin meningkat. Tiga musim membela Lokeren, ia tampil sebanyak 102 kali dan mencetak 46 gol.

Penampilan baiknya bersama Lokeren membuat klub raksasa Belgia, R.S.C. Anderlecht, memutuskan untuk merekrutnya. Ia bergabung dengan Anderlecht pada musim 1999/2000. Bergabung bersama klub besar membuat Koller semakin terbantu untuk menunjukkan ketajamannya. Di musim pertamanya dengan Anderlecht, ia sukses mencetak 30 gol dari 45 pertandingan yang dijalani Anderlecht di semua ajang. Prestasi ini mengantarkannya menjadi top skor Belgian Pro League musim 1999/2000 dan dinobatkan sebagai Pemain terbaik Ceko tahun 1999.

Puncak karier Koller adalah saat dirinya dipinang oleh salah satu klub besar Bundesliga Jerman, Borrusia Dortmund. Ia bergabung bersama Dortmund di musim 2001/02. Pada musim pertamanya, Koller langsung jadi andalan lini depan Dortmund dengan tampil sebanyak 33 kali dan mencetak 11 gol di Bundesliga. Di musim pertamanya itu pula, ia turut membawa Dortmund merengkuh gelar juara Bundesliga. Koller juga sempat membawa Dortmund mencapai babak final Piala UEFA pada 2002, ia pun mencetak gol di laga tersebut. Sayang, golnya tak mampu membantu Dortmund meraih kemenangan. Dortmund kalah dari Feyenoord dengan skor 2-3.

Koller bisa dibilang merupakan tipikal pemain yang tidak bisa berlama-lama bermain untuk satu klub. Usai hengkang dari Dortmund (setelah mencetak 73 gol dari 167 pertandingan) pada tahun 2006, hingga memutuskan untuk pensiun pada tahun 2011, tecatat Koller telah bergabung bersama empat klub dari tiga negara berbeda. Empat klub yang disinggahi Koller tersebut di antaranya adalah AS Monaco di Prancis (2006-2008), FC Nurnberg di Jerman (2007-2008), Krylia Sevetov Samara di Rusia (2008-2009), dan terakhir Cannes di Prancis (2009-2011).

Ketajaman Koller di klub-klub yang pernah dibelanya, juga dirasakan manfaatnya oleh Tim Nasional Rep. Ceko. Ia membela Tim Nasional Ceko selama 10 tahun, dari tahun 1999-2009. Selama memperkuat tim nasionalnya, ia total mencetak 55 gol dari 91 pertandingan. Catatan gol Koller untuk Tim Nasional Ceko tersebut sampai sekarang belum bisa terlampaui oleh siapa pun, menjadikannya sebagai pencetak gol terbanyak Tim Nasional Rep. Ceko sepanjang masa.

Sarung Tangan Lehmann dan Kenangan yang Kembali Hadir

Pengalaman adalah guru terbaik, kata orang yang bijak bestari. Agaknya penyataan itu akan sangat diamini oleh Jan Koller. Pengalamannya dahulu sebagai penjaga gawang sangat berguna ketika di satu pertandingan yang besar dan genting, dirinya terpaksa harus (kembali) menjadi penjaga gawang.

Momen itu terjadi pada duel akbar yang masyhur dengan tajuk Der Klassiker antara Bayern Munchen dan Borussia Dortmund, pada 9 November 2002. Saat itu Koller, yang diturunkan sebagai ujung tombak Dortmund, mampu membawa Dortmund unggul lebih dulu ketika pertandingan baru berjalan tujuh menit. Ia berhasil membobol gawang Munchen yang dikawal Oliver Kahn dengan sundulan tarik usai memanfaatkan umpan Marcio Amoroso.

Namun keadaan mulai berbalik ketika salah satu pemain Dortmund, Trosten Frings, diusir wasit dari lapangan jelang akhir babak pertama karena dua kartu kuning yang diterimanya. Unggul jumlah pemain, membuat Munchen lebih mudah mengejar ketertinggalan.

Di babak kedua, tim berjuluk The Bavarians tersebut mampu menyamakan kedudukan lewat gol Roque Santa Cruz pada menit ke-62. Empat menit berselang, Munchen membalikkan kedudukan lewat gol yang dicetak Claudio Pizarro.

Saat gol kedua ini terjadi, penjaga gawang Dortmund saat itu, Jens Lehmann, menganggap Pizzaro sudah berada dalam posisi offside. Lehmann pun melakukan protes, namun wasit bergeming dan tetap pada keputusannya. Tak puas, Lehmann pun semakin keras melakukan protes hingga akhirnya wasit mengganjar sang penjaga gawang dengan kartu merah.

Ini situasi yang sulit bagi Dortmund mengingat mereka sudah melakukan tiga kali pergantian pemain. Tidak ada kesempatan memasukkan penjaga gawang cadangan. Alhasil, Koller pun ditunjuk sebagai penjaga gawang menggantikan Lehmann.

Bisakah Anda bayangkan, seseorang yang di awal pertandingan selalu berada di garis depan dan mencetak gol, tiba-tiba jelang akhir pertandingan, seketika harus berubah peran dengan berada di garis terakhir pertahanan dengan menjadi seorang penjaga gawang?

Tapi memang begitulah sepakbola. Penuh dengan kejutan yang kerap kali tidak bisa kita mengerti sepenuhnya tapi juga tidak bisa kita elakkan.

Koller berlari ke sisi lapangan menghampiri Lehmann yang sudah membuka jersey penjaga gawangnya untuk diberikan padanya. Pada momen saat Koller kembali mengenakan jersey penjaga gawang lengkap, terutama saat ia memasang sarung tangan penjaga gawang pada kedua tangannya, saya membayangkan kenangan masa lalu Koller sebagai seorang penjaga gawang perlahan hidup kembali di dalam dirinya.

Kenangan bisa hadir melalui apapun. Tak mesti melulu hadir lewat sebuah cerita, kenangan juga bisa hadir lewat benda-benda yang memiliki hubungan erat dengan masa lalu — dengan kenangan itu.

Ini persis seperti apa yang tergambar dalam salah satu sajak Joko Pinurbo yang berjudul “Ibuku”. Dalam sajak itu, terutama pada bait terakhirnya, tergambar bagaimana kenangan tentang Ibu yang dirasakan oleh “Aku-lirik”, bisa hadir lewat sebuah benda bernama buku. Beginilah bait terakhir sajak tersebut ditulis:

Ketika suatu saat aku pulang ke rumah, Ibu sudah

menjadi buku yang tersimpan manis dalam rak buku

Dalam sajak itu, tentu bukan wujud sang Ibu yang benar-benar berubah menjadi sebiji buku seperti halnya Malin Kundang berubah menjadi batu. Melainkan, buku yang tersimpan manis dalam rak tersebut, telah menjadi tanda-tanda bagi “Aku-lirik” yang dapat menghubungkannya pada kenangan tentang sosok Ibunya yang telah menghilang — atau mungkin sudah mendiang.

Jika “Aku-lirik” dalam sajak Pinurbo dapat terhubung pada kenangan tentang Ibunya melalui benda berupa buku, maka boleh kita katakan kalau Jan Koller pada pertandingan itu dapat terhubung dengan kenangan masa kecilnya saat menjadi penjaga gawang, melalui sebuah benda berupa sarung tangan Lehmann.

Dan kenangan itu terbukti hadir di pertandingan tersebut. Saat itu, Koller terlihat sangat menikmati nostalgianya menjadi penjaga gawang. Ia mampu menahan tendangan keras Michael Ballack dari luar kotak penalti, dan memotong crossing berbahaya Bixente Lizarazu. Sampai akhir pertandingan, gawang Koller tetap terjaga dari kebobolan. Bahkan penampilan gemilangnya sebagai penjaga gawang di pertandingan tersebut sempat berbuah penghargaan Goalkeeper of The Week untuk Koller dari harian Kickers.

Tidak setiap derita jadi luka — tidak setiap tanda jadi makna. Kalimat tersebut pernah dituliskan Sutardji Calzoum Bachri dalam salah satu sajaknya yang berjudul “Jadi”. Kalimat yang menggambarkan bahwa segala sesuatu sangat mungkin terjadi dalam kehidupan. Karena tidak setiap derita jadi luka, maka seseorang sebaiknya jangan terlampau pesimis ketika tengah didera kesulitan. Sebaliknya, karena tidak setiap tanda jadi makna, maka seseorang pun tidak semestinya terlampau optimis saat kehidupan memberikan isyarat-isyarat yang membahagiakan. Kehidupan memang tak ubahnya rimba belantara yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan.

Seperti itu juga gambaran kehidupan Jan Koller — penuh dengan kejutan dan kemungkinan. Di awal karier sempat menjadi penjaga gawang tetapi kehidupan pada akhirnya memilihnya untuk menjadi seorang penyerang. Dan itu belum selesai, karena pada satu masa, ketika dirinya sudah lama tidak bermain menjadi seorang penjaga gawang, kehidupan tiba-tiba memilihnya kembali untuk menjadi penjaga gawang — di sebuah pertandingan besar yang tidak main-main.

Namun satu hal yang pasti, Koller selalu mampu menyikapi segala kejutan yang diberikan oleh kehidupan kepada dirinya dengan menawan. Ketika menjadi penyerang, ia tajam dalam mencetak gol; ketika harus menjadi penjaga gawang, ia sulit dibobol.

Komentar